Suatu saat Gubernur Mesir Amru bin Al-‘Ash melapor kepada Khalifah ‘Umar bin Khattab bahwa dia telah membangun sebuah rumah khusus untuk Khalifah bila berkunjung ke Mesir, letaknya di sebelah masjid terbesar yang sudah dibangun terlebih dahulu. ‘Umar bukannya senang dengan hal ini, malah menjawab dengan sangat tajam, “Untuk apa engkau bikinkan aku rumah di Mesir sedangkan aku tinggal di Hijaz?! Ubah rumah itu menjadi pasar bagi kaum muslimin!” (dari kitab Futuh Misr karya Ibn ‘Abdul Hakam)
Lebih dari empat belas abad kemudian, kita di Indonesia merindukan ada pimpinan-pimpinan negeri, wakil-wakil rakyat yang mau mencontoh generasi terbaik hasil didikan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam seperti contoh dalam kisah tersebut di atas. Apa ada wakil rakyat di DPR yang bisa bilang begini, “Untuk apa kami dibuatkan kantor yang megah, lha wong tempat kami seharusnya bersama rakyat untuk mendengarkan suara mereka, menyelesaikan masalahnya, dan berbagi rasa penderitaannya…”
Mengapa hal yang kita rindukan tersebut tidak terjadi? di mana mulainya terjadi penyimpangan dari contoh-contoh yang begitu agung, yang kisah-kisahnya masih sering kita baca tetapi kok tidak membekas pada perbuatan kita? Lagi-lagi saya mau menyalahkan penjajah—sebagai sumber awal rusaknya sikap para priyayi hingga jaman ini. Penjajahan 4.5 abad oleh Portugis dan Belanda-lah yang membuat kita terputus dalam sikap dan budaya dari tauladan-tauladan kita, terputus dari uswatun hasanah kita beserta generasi awal umat ini yang mendapatkan pendidikan langsung dari beliau SAW.
Di masyarakat pedagang —tidak dikenal gaji dan berbagai fasilitas lain yang dibiayai oleh negara— hanya segelintir orang yang memang waktunya diambil oleh negara sepenuhnya yang kemudian digaji. Ini berbeda dengan gaji yang kemudian diberikan oleh Kumpeni kepada para priyayi, gaji dan fasilitas menjadi semacam hak—yang bahkan bisa diwariskan! terlepas dari apakah yang diberi gaji tersebut melaksanakan tugas atau tidak, terlepas dari apakah pewaris tersebut capable atau tidak. Perhatikan kesamaannya hal ini dengan kaderisasi politik berbasis keturunan yang sangat marak di negeri ini hingga kini!
Walhasil, karena kita mencontoh yang keliru ini—hampir setiap hari di media ada berita tentang gaji pemimpin dan wakil rakyat, fasilitas-fasilitasnya, gedungnya, perjalanan keluar negerinya dlsb. yang semua terkait dengan ‘hak’ mereka atas uang rakyat. Sedangkan buah dari pelaksanaan ‘kewajiban’ mereka tehadap rakyat ini yang belum kita dengar atau rasakan.
Lantas bagaimana seharusnya ini bisa diluruskan? Mudah diteorikan atau diwacanakan tetapi pelaksanaannya tentu tidak mudah. Bila kita bisa kembali ke contoh-contoh dari uswatun hasanah kita dan generasi awal umat ini, kemudian melatih sikap dan tindak kita menyerupai yang mereka lakukan —mudah-mudahan kelak akan lahir kembali generasi pemimpin atau wakil rakyat yang seperti Abu Bakar yang karena tidak meminta dan bahkan membayangkan dapat gaji saja tidak— masih berangkat ke pasar sehari setelah diangkat jadi khalifah, seperti ‘Umar yang tidak mau dibangunkan rumah di awal tulisan ini—dan segudang contoh-contoh mulia lainnya.
Bagaimana melahirkan generasi semacam ini? ya lagi-lagi meniru generasi terdahululah dalam segala aspek kehidupannya termasuk bagaimana cara mencari nafkahnya.
Contoh kongkrit untuk hal ini adalah apa yang dilakukan oleh komunitas business Tangan Di Atas, mereka memiliki visi yang mulia yaitu menjadi pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Nampaknya ini diilhami oleh hadits, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang diatas adalah tangan pemberi sementara tangan yang dibawah adalah tangan peminta-minta.” (HR. Bukhari – Muslim).
Saya sendiri berharap banyak dari anggota komunitas ini yang begitu besar, saya pernah mengisi dalam salah satu acara mereka —dan nuansa akan lahirnya generasi seperti Abu Bakar dan Umar tersebut diatas mulai terasa— nuansa seperti ini yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya ketika menjadi eksekutif perusahaan besar sekalipun.
Kita tidak pernah mendengar misalnya di Indonesia ada eksekutif di kalangan swasta, pejabat pemerintah atau wakil rakyat—yang mengalah untuk tidak menerima dahulu gajinya atau haknya yang lain, sebelum seluruh anak buahnya atau rakyatnya menerima haknya terlebih dahulu.
Sebaliknya di lingkungan para (calon) pengusaha atau pedagang seperti pada komunitas tersebut, tidak sulit misalnya menemukan anak muda berusia awal 20-an yang setiap bulannya berjuang untuk bisa menggaji karyawannya dahulu —sedangkan dianya sendiri paling akhir mengambil haknya, kadang tidak dapat juga tidak mengapa asal semua karyawannya sudah dapat gajian— dia sudah senang!
Melihat tumbuhnya komunitas seperti ini —komunitas yang sangat ingin untuk menaruh tangannya diatas— saya merasa optimis, masih ada harapan di negeri ini untuk melahirkan generasi yang membangun budaya itsar—mementingkan orang lain(saudaranya) lebih dari dirinya sendiri.
Semoga mereka bisa bersabar dan istiqamah di jalanNya, dan semoga mereka menjadi seperti generasi yang dipuji langsung oleh Allah “…dan mereka mengutamakan yang lain atas diri mereka sendiri, walaupun mereka memerlukannya (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung…” (QS. Al-Hashr [59] : 9). Aamiin.