Seral Ekonomi Islam (5)
Al-Qur’an menjelaskan tentang pendistribusian kekayaan ini sebagai sesuatu yang paling penting dalam upaya membangun dan menciptakan sebuah tatanan ekonomi yang sehat, dimana hal tersebut merupakan prasyarat bagi kondusifnya dunia usaha. Sistem distribusi kekayaan dalam Al-Qur’an ini berbasiskan pada instrumen infak, yang akan memberikan garansi bagi terdistribusikannya kekayaan secara merata dan luas. Sistem ini adalah sebuah antitesa dari praktek-praktek riba, dimana dalam praktek ini, kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, dan pada saat yang bersamaan terdapat perlakuan eksploitatif terhadap masyarakat yang kurang mampu. Dua konsep ini sangat bertentangan secara diametral, tujuan dan konsekuensinya. Ilustrasi paling baik tentang adanya perbedaan antara dua konsep ini, dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 3, dimana orang-orang yang bertakwa, dioposisikan dengan orang-orang yang melakukan riba dengan dasar bahwa yang pertama, orang-orang beriman,membelanjakan harta kekayaannya demi kepentingan orang lain, sedangkan yang kedua, yakni para pemakan riba, menggerogoti secara tidak adil kekayaan orang lain. [1] Al-Qur’an mencanangkan kewajiban bagi para pemilik harta agar menyisihkan sebagian harta yang dimilikinya untuk orang-orang yang berhak menerimanya. [2] Walaupun pada saat yang sama, Al-Qur’an juga memberikan kebebasan bagi para pemilik harta itu untuk menggunakannya demi kepentingan dan kepuasan dirinya serta anak-anaknya. [3] Penggunaan harta seseorang untuk dirinya dan anak-anaknya ini juga merupakan salah satu sarana proses distribusi. S.M Yusuf menyatakan bahwasanya, “menyimpan harta (saving) dengan cara menyalahi penggunanaan dalam kenikmatan yang wajar, akan menghambat proses distribusi dan menghentikan roda pembangunan. [4]
Perintah Al-Qur’an mengenai distribusi kekayaan dapat kita lihat dalam ayat-ayat berikut;
“Dan dirikanlah shalat, serta tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 110)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang berada dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60).
“Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman pada Allah sebagai pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya akan memperoleh balasan(nya) di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Muzammil : 20).
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz-Dzariyaat : 19).
“Dan berikanlah haknya kepada keluarga-keluarga yang dekat, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Al-lsraa’ : 26).
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Al-Israa’ : 29).
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah : 34)
1. Urgensi Infak
Agar sirkulasi dan distribusi kekayaan terealisasi, Al-Quran menekankan penggunaan harta itu untuk diberikan pada orang-orang yang miskin dan fakir serta orang-orang yang tidak beruntung di dalam masyarakat demi terwujudnya pemerataan kesejahteraan. [5] Orang kaya yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, mendapat jaminan penuh, bahwa harta mereka tidak akan berkurang karena dikeluarkan dijalan Allah. Di samping ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, masih banyak hadits-hadits Rasulullah saw yang menganjurkan manusia untuk berinfak. [6] Melalui cara ini pemilik harta diingatkan bahwa hanya penggunaan yang benar serta infak yang benar saja yang akan mendapat keuntungan, dan Allah sangat senang melihat pemberian rahmat-Nya ditampakkan oleh hamba-Nya. [7]
Penekanan Al-Qur’an akan arti pentingnya zakat dapat dilihat dari ancaman bagi orang yang tidak menunaikan zakat. Dalam pandangan A1-Qur’an, mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat dianggap sebagai orang yang mendustakan agama. [8] Menurut Al-Qur’an, al-birr (salah satu nilai utama kebaikan tertinggi) ada di dalam infak. [9] Hanya dengan infaklah keutamaan tertinggi dapat dicapai dan diperoleh. [10] Al-Quran menegaskan bahwa dengan menginfakkan harta di jalan Allah, berarti seseorang telah membangun hubungan dengan Allah dalam bisnis mereka, dan pahala mereka akan berlipat ganda. [11] Rasulullah menyatakan bahwa seluruh manusia adalah satu “keluarga” Allah, dan manusia yang paling dekat kepada Allah adalah orang yang paling baik terhadap “keluarga”Nya. [12]
Dalam membahas ajaran Al-Qur’an tentang infak, Maududi menyimpulkan bahwa kekayaan itu tidak boleh ditahan karena kikir, juga tidak boleh pula digunakan untuk pos-pos yang tidak benar. Sebaliknya, harta ini harus selalu beredar dengan sirkulasi yang konstan sehingga masyarakat dapat mengambil keuntungan dari sirkulasi harta itu. [13] Bahkan Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk menginfakkan barang yang paling disenanginya. [14] Mengomentari ayat ini (QS. 3:92), ‘Awdah menyatakan, jika seseorang dengan mudah mengeluarkan harta yang paling disenanginya di jalan Allah, maka untuk mengeluarkan yang lebih kecil dari itu tentu akan lebih ringan. [15] Membelanjakan harta hendaknya memiliki tujuan yang jelas dan tidak boleh dilakukan dengan cara yang ngawur. Seseorang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah pada hakikatnya akan mengantarkan dirinya pada kebahagiaan di hari Akhir dan juga demi memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang miskin. [16]
Perintah Al-Qur’an tentang infak ini demikian tegas namun persuasif, yaitu seorang mukmin diserukan untuk memberi infak kepada orang lain tanpa menghiraukan kepentingan pribadinya. Perilaku yang sangat dermawan (itsaar) dari para sahabat tentang hal ini, telah direkam Al-Qur’an. [17] Tak kurang dari sebelas ayat dalam Al-Qur’an, yang memerintahkan kaum Mukminin untuk mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah. Penting untuk dicatat, bahwa dalam keseluruhan perintah itu – kecuali satu saja – Al-Qur’an menyebutkan harta lebih awal baru setelah itu menyebut jiwa. Hal ini merupakan indikasi yang jelas bahwa dalam pandangan Al-Qur’an, mengorbankan harta itu lebih utama daripada mengorbankan jiwa. [18]
2. Al-Qur’an Mencela Orang yang Tamak, Kikir dan Gila Harta
Al-Qur’an sangat mencela sifat tamak, kikir dan gila harta. Sisi ini berada dalam dua sisi mata uang yang sama, karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yang kita sebut dengan distribusi kekayaan dan pemberantasan kemiskinan.
Rasa cinta yang berlebihan pada dunia sangat dikutuk karena ini adalah sumber sifat tamak dan kikir. Riba selain dikecam, juga dilarang karena merupakan embrio dari sifat tamak dan kikir. [19] Kecaman Al-Qur’an pada para penimbunan harta dapat disaksikan dari pernyataan-pernyataan Al-Qur’an baik secara eksplisit maupun implisit. [20] Mufti Muhammad Syafi’ mengatakan bahwa terkonsentrasinya harta pada segelintir orang merupakan sesuatu yang terkutuk dan dosa yang sangat memalukan, sementara riba adalah instrumen utama yang melahirkan koridor kejahatan ini; sedangkan pelarangan riba adalah sebuah garansi yang akan sanggup menggempur konsentrasi dan penimbunan harta menuju distribusi kekayaan yang merata. [21]
Alasan lain mengapa penimbunan harta itu dikutuk adalah karena disamping dapat menghambat sirkulasi dari distrubusi kekayaan, ia juga merupakan tindakan yang dilakukan karena adanya rasa takut akan jatuh miskin karena dibisiki syetan. [22] Penimbunan harta juga dinilai sebagai kejahatan karena menimbulkan hambatan bagi sektor produksi, konsumsi dan perdagangan. Dengan kata lain, ia menghambat jalannya roda perekonomian nasional. [23]
Islam memandang sumber-sumber produksi, seperti pertambangan, minyak, gas bumi, kehutanan, sawah ladang, sungai dan laut, juga kekayaan alam yang lain sebagai kekayaan bersama umat manusia. Sikap Al-Qur’an yang demikian, dapat mencegah terjadinya konsentrasi kekayaan sejak awal. Pernyataan bahwa setiap manusia, siapapun, boleh mengambil manfaat dari sumber-sumber alam, akan mencegah munculnya tindakan monopoli maupun oligopoli dalam aktivitas perekonomian nasional, dimana hal tersebut merupakan antitesa dari adanya distribusi kekayaan secara adil. [24]
Tanpa mengurangi penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, Al-Qu’an telah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana kemungkinan yang bisa dilakukan untuk pendistribusian harta kekayaan melalui beberapa cara sebagai berikut :
- Al-Qur’an menekankan perlunya infak.
- Al-Qur’an melarang pemborosan harta dan penggunaannya dalam hal-hal yang dilarang.
- Al-Qur’an telah melarang riba, penimbunan, monopoli, oligopoli, kikir, tamak dan semua bentuk kejahatan dan aktivitas ekonomi yang tidak adil. [25]
(bersambung)
Referensi:
- Lihat Sayyid Qutb, Fii Zhilal Al-Qur’an, 8. 52-53
- Al-Qur’an : 9 : 34 : 35, 60. Lihat Mufti Syafi’, Islam ka Nizham-i Taqsim-i Dawlat. 76-47
- Al-Qur’an : 65 : 7
- S. M. Yusuf, Economic Justice in Islam, Sh. Muhammad Asyraf, Lahore, hlm.57
- Al-Qur’an : 2 : 177, 195, 219, 254, 267-68, 270-72, 5 : 13; 6 : 141 : 8 : 60 : 14 : 31: 16 : 90 : 17 : 27 : 28 : 76-77 : 30 : 38-39 : 51 : 19 : 57 : 10, 11, 18 : 59 : 8-9.
- Lihat, Mahmud Muhammad Babilli, Al-Maal fiil Islam, Daar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, hlm. 30-31.
- Untuk mendapat pembahasan yang lebih luas serta teks-teks hadits itu, lihat S. M. Yusuf :, op.cit., 57.
- Al-Qur’an : 107 : 1-3. Lihat juga M. Hussain, Motivation for Economic Achievement in Islam, All Pakistan Islamic Education Congress, 1974.
- Al-Qur’an : 3 : 92.
- Al-Qur’an : 3 : 92.
- Al-Qur’an : 30 : 39;2 : 45;57 : 11, 18,; 64 : 6 ; 73 : 20. Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, Bibliotheca Islamica, Chicago, 1980, hlm. 40.
- Lihat teks hadits ini, M. Hussain, op.cit., 38, yang mengutip dua hadits ini dari Misykat al-Mashabiih, dan satu lagi dari hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani. Lihat juga Babili, op.cit., 103
- Abul A’la al-Maududi, Capitalism, Socialism and Islam, Islamic Book Publisher, Kuwait, 1977, hlm. 115.
- Al-Qur’an : 3 : 92.
- Abdul Qaadir ‘Awdah, Al-Maal wa al-Hukm fii al-Islam, Al-Mukhtaar al-Islamiy, Kairo, 1977, hlm. 52.
- Lihat Mufti Muhammad Syafi’, op.cit., 14.
- Al-Qur’an : 59 : 9, Lihat Ibrahim At-Thahawi, Al-Iqtishad Al-Islami, Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, Kairo, 1974, hlm. 214
- Lihat Ath-Thahawi, op.cit., 214
- Lihat Babilli, op.cit., 126
- Al-Qur’an : 59-7.
- Mufti Syafi’, op.cit., 35.
- Al-Qur’an : 2 : 268. Lihat Babilli, op.cit., 22.
- Lihat Babilli, op.cit., 63
- Al-Qur’an : 59 : 7. Lihat Mufti Syafi’, op.cit. 18.
- Lihat Maududi, op.cit., 89-93