Mendengar untaian kata-kata doa kuli itu, Pangeran Ali berlinang air matanya, dan menangis sejadi-jadinya, lalu berkata kepada kuli itu. “Seandainya kamu menerima sesuatu pemberian dariku?”. Lalu, dijawab oleh kuli itu, ‘Saya tidak menginginkannya, yang saya inginkan hanyalah agar anda melapaskan saya’. Dan, kuli itu dibiarkan pergi, meninggalkan istana.
Kuli itu bekerja dari pagi hari usai shalat shubuh, hingga sore hari, menafkahi ibunya yang sudah lumpuh, dan selalu menyertainya, di waktu malam hari. Kuli senantiasa berpuasa, dan berbuka bersama ibunya, dipetanghari. Terkadang kuli itu menggendong ibunya, ketika ia ingin keluar melihat matahari.
Kuli itu hidup sangat bersahaja dipedalaman Iraq. Setiap hari berjalan kaki, mencari pekerjaan untuk menghidupi ibunya. Di malam hari ia tetap shalat malam, tanpa henti. “Apakah diwaktu malam kamu tidak istirahat?”, tanya Pangeran Ali. “Bila saya biarkan diriku istirahat di waktu malam, maka ia akan meninggalkan aku di hari kiamat dalam keadaan miskin”, ucap kuli itu.
Di suatu malam, Pangeran Ali membandingkan makanan yang dimakan kuli, yang hanya roti kering, yang ditaburi dengan garam serta bumbu wewangian, dan tulang-tulang yang dagingnya sedikit, dan sudah kering, itulah yang dimakan kuli itu. Sedangkan yang dimakan Amirul Mukminin, Al-Makmun, hidangan yang bermacam-macam, hidangan roti yang sangat putih, bersih dan halus, yang disaring kain, dan yang tersisa hanya tinggal sarinya. Dan, roti itu dibakar dan diasapi dengan kayu qomary, yang baunya sangat harum, disertai beraneka daging, yang sangat lezat, tak ada bandingannya.
Di kemudian hari, suatu pagi, Pangeran Ali pergi meninggalkan istana, naik perahu pergi ke Basrah, dan pengawalnya disuruh pulang. Sejak itu, Pangeran Ali hidup layaknya gelandangan. Ia mengenakan pakaian yang kasar guna menutupi kulitnya yang bersih, lalu membeli talam yang bentuknya seperti kuli itu, dan meletakkan diatas pundaknya. Dia bekerja sesuai dengan kemampuannya, dan membawa tulang belulang, yang dimakannya setiap hari, dan roti kering, yang sudah lama.
Pangeran Ali disiang hari ia berpuasa, sambil berpuasa, dan tidak pernah meninggalkan shalat saatnya tiba. Putra Khalifah al-Makmun, yang paling disayangi itu, hidup dan tidur dari masjid ke masjid, berjalan tanpa alas kaki, meskipun terik matahari, yang membakar, dan kakinya pecah-pecah. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, sampai ia jatuh sakit. Disaat ia merasa ajalnya akan tiba, maka ia tinggal disebuah penginapan. Sebelum meninggal, ia memanggil pemilik penginapan itu.
‘Berikan cincin ini kepada gubernurmu, kalau ia sedang lewat’. Tak lama, Pangeran Ali meninggal, saat itulah gubernur Basrah lewat, dan diberikan cincin dari Pangeran Ali itu. Dan, Gubernur Basrah mengetahui bahwa cincin itu, milik Pangeran Ali.
Disertai iringan para pengawal, jasad Pangeran Ali dibawa ke Istana, kemudian dimandikan, serta dikafankan kembali. Ketika dimakamkan Khalifah al-Makmun, berkata dengan lirih : “Wahai anakku, semoga Allah mengasihimu dan mengabulkan harapan dan cita-citamu. Sesungguhnya aku sangat berharap, semoga Allah memberikan kebahagiaan kepadamu”, ucap Khalifah al-Makmun. Lalu, Khalifah al-Makmun memerintahkan menutup kuburnya dengan tanah.
Beberapa hari sesudah kematian putranya, Khalifah al-Makmun, membuka gulungan wasiat putranya Pangeran Ali, dan memanggil Muhammad bin Saad untuk membacakan surah al-Fajr, sedangkan Khalifah al-Makmun menangis sampai pada ayat : “Sesungguhnya Tuhan-mu benar-benar mengawasi“, maka disuruhnya Saad berhenti.