Wajahnya bersih. Klimis. Bibirnya kemerah-merahan. Pakaiannya selalu trendy dan nampak ‘charming’. Biasanya menggunakan merk terkenal atau barang branded. Seleranya tinggi. Gaya hidupnya nyaris sempurna. Flamboyan.
Pergaulannya kalangan papan atas. Gaya bicaranya hanya bisa dipahami kalangan tertentu. Tak suka bergaul dengan orang ‘udik’. Konon, tetangganya meninggal pun, tak berkenan takziyah, karena yang meninggal orang tak ‘berkelas’.
Bicaranya memukau siapa saja. Retorika dan pilihan katanya menarik. Menyihir orang-orang yang ada didekatnya. Mereka sangat ta’jub. Kecerdasannya diakui banyak kalayak. Ingatannya luar biasanya. Apa saja bisa dibicarakan. Dari yang ringan sampai yang rumit. Dari soal agama sampai soal politik global. Semua faham. Posisinya amat menentukan. Banyak orang bergantung kepadanya. Semua yang diucapkan dan dilakukannya menjadi perhatian. Menjadi perhatian siapa saja. Anjuran dan arahannya diikuti. Ia menjadi sebuah ‘icon’ di lingkungannya, dan memiliki magnitute yang luar biasa.
Mungkin ia membaca teori-teori kepribadian dari berbagai ahli. Ahli kepribadian Barat. Kehidupannya menyesuaikan dengan ritme baru. Tak menggambarkan lagi sebagai orang lama. Orang yang konservatif. Orang yang tak berubah. Orang yang dalam terminologi lama disebut: ‘puritan’. Bersahaja. Kehidupan lama sudah tidak sesuai lagi. Ia tinggalkan semua yang berbau lama. Kaidah-kaidah lama tak lagi menguntungkan. Tak lagi dapat memberi kenyamanan. Kenyamanan kehidupan pribadinya.
Karena semua berubah. Ia harus ikut berubah. Menyesuaikan. Kaidah-kaidah kehidupannya ikut berubah. Lingkungan pergaulannya menjadi luas. Tak terbatas. Tidak lagi sebatas orang-orang yang se-jenis. Dalam berbagai hal. Termasuk ideologi. Lebih luas. Lebih kosmopolitan. Lebih menjangkau seluruh kelompok-kelompok dan golongan. Tak ada sekat lagi.
Tak lagi suka menggunakan idiom-idiom agama. Karena akan menyusahkan hidupnya. Agama hanya akan menjadi penghalang cita-citanya. Agama hanya akan menjadi tembok ‘barrier’ bagi karirnya. Menggunakan idiom agama adalah malapetaka. Menggunakan agama dapat di tuduh fundamentalis dan teroris. Agama harus dibuang jauh-jauh. Agama akan mengacaukan dukungan terhadap dirinya atau lingkungannya. Agama harus menjadi masa lalu.
Tak lagi suka ceramah di masjid-masjid. Karena tak dapat memberikan ‘benefit’ apa-apa. Kecil. Lebih suka bertemu dengan kalangan-kalangan atas. Politisi, birokrat, atau pengusaha. Di kafe-kafe. Di lobi-lobi hotel berbintang. Nilai lebih tinggi. Sekali ‘deal’ sudah dapat digunakan, memuaskan hasratnya yang obsesif dengan kekuasaan. Kekuasaan sudah menjadi ‘ghoyah’ tujuan. Kekuasaan adalah di atas segala-galanya. Tak lagi peduli. Tak peduli dengan kritik. Semua harus diarahkan dan diajak menjangkau kekuasaan. Betapapun mahal.
Pikiran, tenaga, dan seluruh potensi harus diarahkan menjangkau kekuasaan. Mimpi-mimpi yang dibangun adalah mimpi kekuasaan. Jangan mimpi yang lain. Ingatan kolektifnya adalah kekuasaan. Tak boleh yang lain. Seluruh lingkungan kolektifnya harus mengikutinya. Tak boleh ada yang melakukan interupsi. Kekuasaan harus segera direngkuh. Berkuasa menjadi keniscayaan. Ia yakin bisa terwujud. Yakin akan menjadi fakta kenyataan. Betapa heroiknya. Heroik yang disertai dengan daya khayal yang ambisius.
Idiom-idiom baru terus disampaikan. Sebagian orang tak paham. Sebagian orang menolak. Sebagian orang menentang. Semua yang tak sepaham, akhirnya luruh dan pergi. Memang. Agar tujuan dapat diwujudkan, tak perlu ada perbedaan. Apalagi, ada orang yang menolak dan menentang. Harus homogin. Semuanya harus satu kata dan satu tujuan. Kekuasaan. Dibenaknya kekuasaan pasti akan memberikan segalanya. Harapan yang diimpikan, pasti akan terwujud. Tak ada lagi yang tak dapat diwujudkan. Kemuliaan. Penghormatan. Harta. Semua fasilitas akan terpenuhi. Kemewahan akan dinikmati.Lalu, orang-orang melihatnya menjadi tertegun. Seakan melihat sebuah keajaiban. Seakan tak percaya. Seakan melihat bayangan dalam mimpi. Inilah generasi baru yang membuat banyak orang menjadi terpana.
Kini. Keterbukaan dan koalisi adalah ‘aqidah’ baru. Tak lagi berani menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Assalamu’alaikum diganti dengan pekik ‘merdeka!’. Kondisi menuntutnya seperti itu. Tak ada sekat lagi antara agama dan nasionalisme. Kaum agama dan kaum nasionalis bisa bersama-sama. Tak ada sekat lagi antara Islam dan Kristen. Tak ada sekat lagi partai yang berbasis agama dengan partai sekuler. Semua sama. Semua dalam satu cita-cita nasional. Pengorbanan harus dilakukan.
Tak perlu terlalu menampakkan identitas atau jati diri. Berteman dengan siapapun tidak masalah. Berteman dengan golongan apapun tidak masalah. Karena rakyat ini tidak homogin. Tidak mengklaim kelompok yang paling benar dan ideal. Dan, tak aneh kalau kadang-kadang mengikuti selera rakyat. Rakyat suka yang ‘dilarang’ agama, harus diikuti selera mereka. Rakyat suka berjoget. Rakyat harus dipuaskan. Asal semua mendukung dan memilihnya. Kekuasaan harus direngkuh dengan cara apapun. Tak peduli. Melanggar atau tidak. Bukan lagi perdebatan pokok. Agama tak lagi menjadi penentu ‘mizan’ dalam beramal.
Kini. Semua yang melihatnya tertegun. Bagaikan tak percaya. Harapan yang dibawa pupus. Berharap akan ada alternatif. Berharap solusi masa depan mereka. Berharap akan lebih baik. Belum lagi genap sepuluh tahun harapan itu memudar. Hampa. Tak ada kebanggaan yang padu. Tak ada kepercayaan yang tersisa. Setiap orang semua menunduk malu. Seakan melihat semua tontonan yang tak pantas ditonton. Pertunjukkan di panggung yang ‘absurd’. Satu-satu penonton meninggalkan panggung. Tak tertarik lagi dengan ajakan sang ‘aktor’. Karena para pengunjung malu dan merasa jijik.
Memang. Masih berstatus sebagai muslim. Masih melaksanakan shalat. Masih berpuasa. Mungkin juga sering ke Timur Tengah, dan pergi umroh. Tapi, tak lagi berani menyatakan diri sebagai muslim. Tak percaya lagi. Tak yakin lagi. Tak merasa perlu berjuang bersama Islam. Islam sudah masa lalu. Realitas hari ini tak mendukung bagi kepentingan dan kebutuhan yang diinginkan. Komunitas ini harus menjadi besar dan kuat. Kalau mau menjadi besar dan kuat, tak harus mengandalkan kepada Islam. Inilah logika orang-orang yang sudah terobsesi dengan kekuasaan. Agama Islam is ‘nothing’.
Tapi, dalam sejarah ada orang-orang yang memberikan kebanggan, yang tak ada habis-habisnya. Namanya, terus menjadi diingat, tak putus-putus oleh waktu. Hasan al-Banna mati ditembak. Sayyid Qutub mati ditiang gantungan. Ali Audah mati ditiang gantungan. Syeikh Ahmad Yasin mati oleh rudal Israel. Mereka semuanya tetap berpegang dengan keyakinan dan keimanannya.
Mereka tak pernah berubah oleh waktu dan keadaan. Padahal, mereka semua mempunyai kesempatan mereguk kenikmatan dunia. Kesempatan mendapatkan segala yang menjadi ambisi manusia. Tapi, semua yang nisbi itu, dilupakannya.
Coba renungkan yang disampaikan oleh Allah Azza Wa Jalla di bawah ini:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”. (al-Qur’an: 43: 36-37).
Wallahu ‘alam.