Debu-debu bertebangan. Mengepul diudara. Derap ribuan kuda dan balatentara yang terus berlari menuju arah musuh. Dengan suatu tekad kemenangan. Tak peduli. Terik matahari yang membakar. Mereka terus menuju medan perang. Menghadapi pasukan Konstatinopel. Diujung pandang mata mereka melihat kekuatan musuh.
Dan, pasukan Islam dipimpin Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Di tengah-tengah pasukan Islam itu, ada seorang terkenal pemberani, yang bernama Abu al-Miqdam Raja’ bin Haywah rahimahullah. Mereka ingin menebus kekalahan yang mereka derita.
Ketika menjelang petang pasukan Islam membuat kemah di tanah datar yang penuh dengan rerumputan di bumi Qinsirin (Syria). Hari Jum’at Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, yang mengenakan pakaian sutera hijau, dan bercermin di depan kaca, dan bergumam : “Wallahi. Aku seorang raja yang masih muda”. Lalu, Sulaiman pergi shalat. Orang-orang pun melakukan shalat Jum’at. Usai shalat, Sulaiman tak segera pulang, karena sakit. Ketika sakitnya kian berat, ia menulis surat kepada anaknya, yang belum dewasa.
Ketika Sulaiman sedang menulis surat, masuklah Raja’ bin Haywah rahimahullah menemuinya. “Apa yang engkau lakukan, wahai Amirul Mukminin?”, tanya Raja’. Sulaiman yang dalam kondisi sakit itu, menjelaskan kepadanya. Dan, Raja berkata : “Diantara hal yang dapat melindungi khalifah di dalam kuburnya adalah menyerahkan jabatan khalifah kepada seorang pria shaleh untuk memimpin kaum muslimin”, ungkap Raja’. Selanjutnya, Khalifah Sulaiman berkata : “Kalau begitu akau akan beristhikarah terlebih dahulu kepada Allah dan memikirkannya”.
Setelah beberapa hari Khalifah membakar surat yang telah ditulisnya, yang pernah akan diberikan kepada anak yang belum baligh. Dan, Khalifah Sulaiman memanggil Raja’ bin Haywah, yang sedang berada di kemah. “Bagaimana menurutmu tentang Dawud bin Sulaiman?”, tanya Khalifah Sulaiman. “Dia tidak ikut bersamamu ke Konstantinopel, dan engkau tidak tahu apakah dia hidup atau mati?”, jawab Raja’ bin Haywah. “Kalau begitu, siapa menurutmu?”, tanya Sulaiman. “Terserah kepadamu, wahai Amirul Mukminin”, jawab Raja’. Raja’ tida mau menjawab dengan tegas, karena ingin mengetahui siapa yang akan disebut oleh Khalifah Sulaiman. “Bagaimana kalau Umar bin Abdul Aziz?”, tanya Sulaiman.”Yang aku ketahui, demi Allah, dia orang yang sangat baik, memiliki keutamaan dan muslim”, ujar Raja’ bin Haywah. Lalu, Khalifah Sulaiman berkata :”Wallahi. Ia memang seperti itu”.
Namun, Sulaiman tak ingin Umar bin Abdul Aziz sebagai pemimpin, sementara Sulaiman tidak mengangkat penggantinya. Ia takut akan adanya fitnah dan bencana. Mereka tak ingin Umar bin Abdul Aziz berkuasa selamanya. Maka, Sulaiman mengangkat Yazid bin Abdul Malik,sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, lalu Sulaiman menulis surat : “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Abdullah Sulaiman bin Abdul Malik Amirul Mukminin untuk Umar bin Abdul Aziz. Sesungguhnya, aku telah mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku. Setelah itu, Yazid bin Abdul Malik. Dengarkanlah dan patuhilah serta bertaqwalah kepada Allah. Janganlah kalian berselisih, karena kalian akan menjadi mangsa”. Usai menulis surat itu, ia menyuruh Ka’ab bin Hamid al Abasi, Kepala Kepolisian untuk mengumpulkan seluruh keluarganya.
Berkumpulah seluruh keluarganya. “Kami akan segera datang dan mengucapkan salam kepada Amirul Mukminin”, ujar Raja’ bin Haywah. Keluarga Sulaiman itu satu demi mereka berbaiat. “Hendaklah kalian memba’iat orang yang aku sebutkan di dalamnya”, ujar Sulaiman.Sulaiman berkata sambil menoleh kepada Raja’ yang memegang surat wasiat itu. Setelah keluarga dan orang-orang bubar, datanglah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dan kepada Raja’ bin Haywah, ia berkata : “Aku takut bahwasanya aku akan dibebani tugas itu.
Karena itu, aku meminta kepadamu karena Allah, demi cinta dan kehormatanku, beritahukanlah tentang urusan itu kepadaku supaya sekarang juga aku mengundurkan diri, sebelum datang satu akibat buruk yang tidak sanggup aku rasakan, karena ketidak mampuanku menanggung tugas itu”, ungkap Umar. Kemudian Raja’ bin Haywah menjawabnya : “Wallahi. Aku tidak akan memberitahukan isi surat itu kepadamu sekalipun satu hurup”. Sampai akhirnya Umar bin Abdul Aziz pulang dengan rasa jengkel.
Tak lama Khalifah Sulaiman mangkat. Berkumpullah kaum muslimin di masjid Dabiq untuk mendengarkan isi surat yang ditulis Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, berkenaan dengan khalifah penggantinya, yang belum diketahui namanya, selain Raja’ bin Haywah rahimahullah. Kemudian, surat itu dibacakan, dan orang-orang mengetahui pengganti Khalifah Sulaiman adalah Umar bin Abdul Aziz, kedua kelompok mereka merasa terpukul oleh isi surat itu. Kelompok pertamaadalah kelompok bani Marwan yang jabatan kekhalifahan lepas dari tangannya. Kelomok kedua, ialah Umar bin Abdul Aziz yang tidak menginginkan jabatan itu.
egitulah sikap pemilik keshalehan.Mereka tidak menyukai jabatan karena tanggung jawab yang dipikulnya sangat berat.
Keputusan itu sungguh sangat memberatkan Umar bin Abdul Aziz. Sampai-sampai ia tidak mampu bangun dari tempat duduknya, sehingga ia harus dipapah oleh Raja’ bin Haywah untuk naik mimbar, ini sebagai awal babak baru sejarah perjalanan kaum muslimin. Umar bin Abdul Aziz adalah ahli ibadah, zuhud, dan wara’. Sungguh babak yang paling mengesankan dalam sejarah kaum muslimin. Alangkah indahnya akhir perjalanan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Itu adalah kebaikan yang paling agung. Karena ia dapat menyerahkan kekuasaannya kepada orang yang shaleh, yang memiliki sifat-sifat seperti ahli ibadah, zuhud, dan wara’. Semuanya itu, tak lepas dari jasa-jasa dari Abu Miqdam Raja’ bin Haywah al Kindi al Azdi.
Tentu, yang tak kalah pentingnya, pribadi dari Raja’ bin Haywah, yang sangat shaleh. Bersyukur Khalifah Sulaiman mempunyai seorang pejabat (wazir), yang amat thaat kepada Allah Azza Wa Jalla. Raja’ bin Haywah merupakan pemimin penduduk Syam. Ibnu Aun mengatakan : “Tiga orang yang tidak akau jumpai seperti mereka,bertemu lalu saling memberi wasiat, ‘Ibnu Sirin di Iraq, Al-Qasim bin Muhammad di Hijaz, dan Raja’bin Haywah di Syam”. Nuaim bin Sallamah menempatkan Raja’ bin Haywah dalam barisan para imam, panutan dan pemilik aneka keistemewaan serta sifat-sifat terpujji. Nuaim berkata : “Tak ada seoranngpun dari penduduk negeri Syam yanglebih aku sukai untuk aku teladani selain Raja’ bin Haywah.
Suatu pagi Raja’ bin Haywah berada di Istana Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Ketika Alla’ bin Ru’yah menghadapnya, Raja’ bin Haywah bergegas menyambutnya, lalu berkata : “Amirul Mukminin hari ini telah mengangkat Ibnu Muahib sebagai hakim. Sekiranya aku disuruh memilih antara menjabat jabatan itu dengan digotong ke kuburan (mati), aku lebih memilih digotong ke kuburan”, ujar Raja’ bin Haywah. Pernyataan Haywah ini membuat Khalifah Sulaiman menjadi tercenung, ketika mengangkat Muahib.
“Adakah pilihanku ini benar-benar orang yang amanah?”, kata Sulaiman.
Bandingkan dengan kehidupan orang-orang sekarang yang berlomba mengejar kekuasaan, yang dengan segala cara, tanpa mempedulikan akhlak Islami. Padahal, kekuasan yang dikejar itu, tak ada artinya apa-apa dibandingkan dengan kehidupan yang telah dijanjikan oleh Allah Rabbul Alamin. Tapi, manusia masih terus berkerumun di sekitar kekuasaan, tanpa dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan yang sudah dimilikinya. Wallahu ‘alam.