“Ya Allah. Sesungguhnya saya telah memberikan semuanya kepada fakir miskin warga Madinah secara cuma-cuma, dan memperhitungkan harganya”.
Kecintaan kepada Al-Qur’an dan pola yang diikutinya dalam beribadah, baginya bukan hanya sekedar bangun untuk mengerjakan shalat di waktu malam dan shaum di waktu siang hari saja, tetapi kemurahan juga yang sangat berlimpah dan pemberian yang tidak terbatas kepada orang-orang yang miskin. Kasih sayangnya kepada mereka tak terbatas, bagaikan lautan yang tak bertepi.
Ruh hamba Allah ini, kian kemilau, disebabkan kemampuannya untuk hidup bersahaja, dan tidak terpengaruh oleh kemewahan dunia. Dan, hal ini benar-benar diterapkan dalam kehidupannya. Kekayaan yang dimiliki yang jumlahnya tak terhingga itu, dihamburkannya dengan kanan dan kirinya, hingga tak lagi bersisa.
Sysurabil bin Muslim berkisah : “Utsman menyediakan makanan bagi kaum muslimin seperti makanan raja-raja. Padahal, ia sendiri hanya makan dengan minyak zaitun dan cuka”, ujarnya. Demikian pula, Abdullah bin Syaddat, mengisahkan : “Saya lihat Utsman berkhutbah hari Jum’at dengan memakain pakaian yang harganya empat atau lima dirham saja. Padahal, ia adalah seorang Amirul Mukminin”, ucapnya.
Demikianlah, peringai seorang hamba Allah, yang berserah diri kepada Allah. Nafsu makannya ditekan dengan jalan puasa, dihinakannya kemegahan jahiliyah dalam jiwanya, dan dicukupkannhya hanya dengan kemuliaan Islam, hingga dirinya pun menjadi mulia.
Pada suatu hari, ia marah terhadap pelayannya, ditariknya telinga pelayan itu sampai kesakitan. Ketika marahnya reda, ia menjadi gelisah karena perbuatannya itu. Sampai mengganggu tidurnya. Lalu, dipanggilnya pelayan itu, dan disuruhnya melakukan qishas terhadap dirinya dengan cara menarik telinganya. Tetapi, pelayan itu berpaling, dan tidak bersedia melakukannya. Utsman dengan gigih memaksanya. Kemudian, pelayan itu, akhirnya mau menarik telinga Utsman. “Keraskanlah tarikannya, hai Gulam?”, perintah Utsman. “Karena, qishas di dunia ini lebih ringan, dibandingkan qishas di akhirat nanti”, tambahnya.
Demikian, keadaan hamba Allah yang tak dirinya tak terpisahkan dari Khaliqnya. Kita temui ia pada peristiwa ini, dan sebagaimana kita jumpai dalam peristiwa lainnya. Sekrang marilah masuk ke dalam masjid Madinah untuk menemui seorang laki-laki mulia dan berwibawa. Anehnya, ia tidur diatas batu kerikil dilantai masjid, sementara jubahnya dijadikan bantal. Tatkala ia terbangun dari tidurnya, terlihat bekas-bekas kerikil itu dipinggangnya…
Siapakah laki-laki itu?
Ternyata ia adalah seorang hamba ahli ibadah, dan zuhud yang telah menyerahkan dirinya yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah Azza Wa Jalla. Dia tiada lain adalah Utsman bin Affan, seorang milyader, yang kaya raya, dan harta tak terhingga, baik sebelulm maupun sesudah masuk ke dalam Islam. Peristiwa ini mengingatkan kita kepada Abdullah bin Umar mengenai dirinya (Utsman), yakni perkataan yang diucapkannya setelah membaca surah Az-Zumar. “Apakah kalian yang lebih beruntung hai orang-orang musyrik? Ataukah orang yang beribadah di tengan malam dengan sujud dan berdiri, disebabkan karena takuktnya kepada (siksa) akhirat, dan harapannya akan rahmat Rabbnya..”
Kata Abdullah bin Umar, yang dimaksudkan dengan ayat ini, tak lain, adalah Utsman bin Affan.
Kisah kasih sayangnya Utsman, sangatlah menakjubkan. Merasuk pada seluruh relung kehidupannya. Dan, sama sekali tak dapat dipungkiri lagi, sejak dari perbuatan yang kecil dan biasa, sampai tindaknnya yang penting. Kasih sayangnya benar-benar telah menjadi motive utama yang melatar belakangi segala tindak dan perbuatannya.
Di tengah malam, Utsman yang telah menjad Khalifah, tidak tega membangunkan pelayannya, agar menyediakan air wudhu. Padahal, waktu itu usianya sudah sangat lanjut, dan badannya sudah mulai udzur.
Utsman menolak berlindung kepada orang lain dalam menghindarkan diri dari tebasan pedang para pembunuhnya. Ia tidak mau kebebasannya harus ditebus dengan cucuran darah dari tubuh seorang muslim yang tiada bersalah. Tatkala Zaib bin Tsabit masuk untuk mendapatkannya, dilihatnya kaum pemberontak telah berhimpun sesamanya dan sudah mengepung rumahnya. Maka, Tsabit berkata kepada Utsman, “Wahai Amirul Mukminin, mereka (orang-orang Anshar) s edang menunggu di depa pintu. JIka Khalifah menghendakinya, kami bersedia menjadi Anshar (pembela) untuk keduakalinya”, ucap Tsabit. Tetapi, Khalifah Utsman menjawab, “Kalau untuk berperang, saya tidak setuju”, jawabnya.
Kepada para sahabatnya hyang sedang berkumpul di sekeliling rumahnya dalam rangka menghadapi kaum pemberontak, diserukannya, “Sesungguhnya orang yang teramat saya perlukan diantara tuan-tuan sekarang ini adalah orang yang dapat menahan tangan dan senjatanya”, seru Utsman. Tatkala Abu Hurairah menghunus pedang dengan semangat dan amarah yang bernyala-nyala, dipanggilnya ia, lalu berkata: “Apakah engkau hendak membunuah semua umat? Padahal, saya berada di tengah-tengah mereka ..? Demi Allah. Seandainya engkau membunuh salah seorang diantara mereka, berarti engkau membunuh seluruh ..!”, seru Utsman.
Tatkala dilihatnya serombongan pemuda Islam yang dipimpin oleh Hasan, Husein, Ibnu Umar, Ibnu Zubeir telah menggantikan pada sahabat tadi, dan mereka telah menghunus pedang pula, maka hatinya pun amat sedih dan pilu. Diapanggilnya mereka, kemudian Utsman berkata : “Atas nama Allah. Saya minta dan saya mohon kepada kamu sekalian agar tak ada darah tertumpah karena saya”, ucapnya.
Utsman rela menyerahkan nyawanya. Ia lebih suka mati dengan kesetiaannya terhadap kasih sayang. Daripada hidup dengan kehilangan kedudukan sebagai pelopor dari orang yang budiman yang penuh dengan kasih sayang. Sahabat Ali bin Abi Thalib, menyatakan : “Orang yang paling memperhatikan ikatan silaturrahmi di antara kita adalah Utsman”, ucapnya.
Begitu indahnya kehidupan yang dicontohkan oleh sahabat Utsman bin Affan, yang menjadi contoh bagi kehidupan kaum mukminin, yang ingin meniti dijalan Rabbnya. Wallahu’alam. (ms)