Di ujung senja Kota Madinah begitu indah. Ufuk barat yang memerah. Menjelang tenggelamnya matahari. Dedaunan korma masih nampak. Udara mulai terasa dingin. Orang-orang lalu-lalang menikmati udara sore hari. Sebagiannya bersiap menuju tempat masjid. Di antaranya ada remaja yang sangat tampan. Dan, ia terlahir di kota itu, dan belajar serta menikmati ilmu, sampai menjelang dewasa.
Di halaman rumah yang rindang, bau bunga-bunga pohon yang wangi semerbak dari pangkalnya. Begitu. Lingkungan yang indah bagi mereka. Tak ada kegalauan. Tak ada kerisauan. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa ingat kepada Allah azza wa jalla. Di kota yang merupakan pertama kali Baginda Rasulullah hijrah, bersama para Sahabat, membangun bangunan da’wah, ketika periode ta’sis (awal da’wah) di mulai. Tak banyak yang ikut. Mereka lah yang menjadi cikal bakal lahirnya peradaban dunia. Sampai hari ini. Islam memancarkan cahaya ke seluruh pelosok dunia. Di kota ini pula lahir Zainal Abidin.
Zainal Abidin, tak lain adalah cucu Ali bin Thalib, yang kakeknya Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Ia mereguk ilmu dari kakek-kakeknya, dan ia tak pernah puas-puas dengan ilmu yang telah didapatinya. Cucu Ali ini benar-benar menjadi ‘zainal abidin’ (penghias para hamba). Ia menjadi orang yang paling banyak beribadah. Imam Malik pernah menyatakan, bahwa “Dia dinamakan Zainal Abidin, karena ibadahnya”. Ia menjadi tanda bagi umat manusia dalam hal ibadah yang menjadi tujuan orang-orang yang bertakwa.
Alangkah irinya kelak orang-orang di yaumul jaza’ (hari pembalasan).Kelezatan yang dirasakan Zainal Abidin dalam beribadah bermunajat kepada Allah Ta’ala, sampai mendorongnya untuk melakukan shalat sehari seamalam seribu raka’at. Sungguh luar biasa. Dan, hal itu terus dikerjakannya sampai wafatnya. Wahai kaum muslimin! Perhatikanlah apa yang dilakukan Zainal Abidin. Dan, tidak mungkin lagi, terjadi di era ini. Di mana manusia hanya disibukkan oleh urusan dunia. Cucu Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam memandang sangat jijik kehidupan dunia, seperti ia memandang seekor lalat.
Suatu ketika, Zainal Abidin pergi menunaikan ibadah haji. Ketika berihram dan untanya berdiri tegak, warna kulitnya berwarna kuning, badannya gemetar. “Mengapa engkau tak mengucapkan talbiyah?”, tanya orang-orang di sekelilingnya. “Aku takut, ketika mengucap labaik, dan Allah menjawab: “engkau tidak Aku sambut”, dan ketika itu, ia jatuh pingsan, serta Zainal Abidin jatuh dari untanya. Cucu Ali it terus menerus mengalami kondisi seperti itu, sampai selesai haji. Betapa lembutnya hati Zainal Abidin, dan merasakan ma’iyatullah (kebersamaan dengan Allah). Hati yang lembut karena ketaatan dan mujahadah kepada Allah. Zainal Abidin tak pernah meninggalkan shalat malam sekalipun. Baik ketika di rumah atau ketika ia bepergian.
Said Ibn Mussayyib memuji Zainal Abidin, menyatakan: “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih wara’selain dia!”, ujar Said. Seorang ulama lainnya, berujar: “Ali Zainal Abidin bin Husien, karena kekerabatannya dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa salam tidak pernah makan dengan uang lebih dari satu dirham”. Zainal Abidin sangat zuhud terhadap dunia.Ia menolak kehidupan dunia, dan selalu memperbaiki kehidupan akhiratnya. Suatu ketika, Mukhtar bin Abu Ubaid, memberinya uang sebanyak 100.000 dinar. Dia menolaknya. Tapi, dia takut, karena Mukhtar, sebagai pejabat yang terkenal bengis dan kejam.Ketika Mukhtar terbunuh, Zainal Abidin memberitahukan kepada Abdul Malik bin Marwan tentang uang itu. Abdul Malik mengutus utusan, dan menyuruh berkata kepada Zainal Abidin: “Wahai putra pamanku, ambillah uang itu. Aku telah merelakannya untukmu”. Zainal Abidin mengambil uang itu, lalu mendermakannya sampai habis.
Suatu hari, Zainal Abidin menjenguk Muhammad bin Usamah bin Ziad rahimahullah yang berbaring sakit. “Mengapa engkau menangis?, tanya Zainal. “Aku banyak mempunyai utang”, jawabnya. “Berapa banyak?”, tanya Zainal. Muhammad menjawab: “Tujuh belas ribu dinar”, jawabnya. Lalu, Zainal mengatakan:”Biarlah aku yang menanggungnya”. Begitulah kedermawanan Zainal Abidin.
Ketika ia hendak pergi haji, Sulaimah binti Husien memberikan bekal perjalanan, tapi malah uang yang ia terimanya sebanyak 100 dirham, dibagi-bagikan kepada orang fakir miskin. Banyak penduduk Madinah yang mendapatkan tunjangan. Tapi, tidak tahu darimana tunjangan itu asalnya. Mereka baru tahu, ketika Zainal Abidin wafat, dan tunjangan itu berhenti. “Kita tidak pernah kehilangan sedekah rahasia, sampai Zainal Abidin Ali wafat”, ungkap mereka.
Pribadi cucu Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam ini, betapa sangat santunnya, sampai suatu saat, ia menjamu para tamunya. Dan, seorang pelayan sedang membawa sate, pelayan itu jatuh, dan menimpa putranya, sampai putranya itu meninggal. Karena pelayan itu tergesa-gesa. Zainal Abidin tidak marah. “Engkau merdeka. Engkau melakukannya tidak sengaja”, tegasnya.
Bagaimanapun Zainal Abidin adalah pribadi yang sangat indah. Nasehatnya kepada penduduk Iraq: “Wahai penduduk Iraq, cintailah kami dengan cinta Islam. Jangan mencintai kami dengan cinta berhala. Cinta kalian tetap ada pada kami sampai menjadi suatu noda atas kami”.
Kegalauan yang sangat menyedihkan dan merusak di negeri 1001 malam, tak lain karena cinta kepada berhala, bukan cinta kepada Rabbnya. Mereka saling membunuh dan porak-poranda, karena mengasihi sesuatu yang tidak layak, dikasihi dan dicintai. Wallahu ‘alam.