إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ ﴿٥٤﴾
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ ﴿٥٥﴾
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (QS. Al-Qamar: 54-55)
Itulah bacaan Alquran terakhir yang dilantunkan Ibnu Taimiyah sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada malam Senin, tanggal 20 Dzulqa’dah tahun 728 Hijriyah. Penulis Kitab Majmu’ Al-Fatawa ini meninggal dunia dalam usia 67 tahun di sebuah penjara dalam benteng Damaskus.
Sebelumnya, begitu banyak ujian yang dialami Ibnu Taimiyah yang kerap berujung di hinaan dan penjara penguasa. Tapi semua itu, sedikit pun tidak mengubah keteguhan dan kesabaran beliau untuk selalu menyatakan yang benar adalah benar, dan yang batil adalah batil. Walaupun, hal tersebut harus ia sampaikan kepada para pembesar dan penguasa saat itu.
Pada tahun 705 Hijriyah, Sultan Mesir waktu itu, memindahkan paksa Ibnu Taimiyah dari Iskandariyah menuju Kairo. Masyarakat waktu itu begitu sedih karena harus kehilangan tokoh panutan yang senantiasa sabar membimbing mereka kepada jalan kebenaran Al-Islam.
Ibnu Taimiyah sendiri tidak paham maksud pemindahan dirinya ke Kairo. Setibanya di tempat tujuan, di benteng Shalahuddin, ternyata Ibnu Taimiyah dihadirkan dalam sebuah majelis para fuqaha dan penguasa yang akan mengadili Ibnu Taimiyah. Mereka secara bergantian mencerca Ibnu Taimiyah tanpa sedikit pun memberikan kesempatan kepada beliau untuk menjawab.
Ketika ada kesempatan Ibnu Taimiyah untuk memberikan jawaban, si pembawa acara langsung menegaskan, “Kamu hanya boleh menjawab singkat, bukan berceramah!”
Tidak puas dengan acara penghakiman itu, para pejabat pun memenjarakan Ibnu Taimiyah di suatu menara. Lalu, pada malam Idul Fitri, Ibnu Taimiyah dipindahkan ke sebuah penjara yang bernama Al-Jubb. Ia dipenjara selama delapan belas bulan.
Pada bulan Rabiul Awal tahun 707 H, ada seorang raja Arab yang bernama Hasamuddin Mahna bin Isa datang ke Mesir. Ia meninjau beberapa penjara, termasuk penjara di mana Ibnu Taimiyah tinggal. Saat itu, Ibnu Taimiyah pun dilepas atas permintaan raja Arab tersebut.
Ibnu Taimiyah kembali bermukim di Kairo. Beliau membuka majelis ta’lim yang diikuti begitu banyak murid. Umat Islam akhirnya bisa kembali mereguk keluasan ilmu penulis 18 kitab besar yang di antaranya Muqaddimah fi ‘Ilm At-Tafsir.
Beberapa hari pun berlalu seiring dengan kesibukan Ibnu Taimiyah mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada umat di Mesir waktu itu. Tiba-tiba, ada aliran sufi yang mengadukan Ibnu Taimiyah kepada hakim. Mereka menuduh Ibnu Taimiyah telah menghina Ibnu Arabi dan ulama tasawuf lainnya.
Hakim pun akhirnya memutuskan untuk memberikan dua pilihan kepada Ibnu Taimiyah: pindah ke Damaskus dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Atau, masuk penjara. Tanpa banyak pertimbangan, Ibnu Taimiyah langsung memilih masuk penjara.
Keputusan ini pun langsung dihalangi oleh orang-orang terdekat Ibnu Taimiyah. Mereka memohon agar Ibnu Taimiyah lebih memilih pindah ke Damaskus daripada masuk penjara. Ibnu Taimiyah pun akhirnya setuju.
Sayangnya, orang-orang yang memang tidak suka dengan perjuangan Ibnu Taimiyah langsung melobi penguasa untuk tidak membiarkan Ibnu Taimiyah pergi ke Damaskus. Benar saja, keesokan harinya, Ibnu Taimiyah akhirnya dikembalikan ke Kairo. Kemudian, beliau dimasukkan ke penjara Mahkamah.
Waktu itu, Mesir di bawah kekuasaan Raja Al-Muzhaffar Baibras Al-Jasynakir, salah seorang murid tokoh sufi, Nashr Al-Munbaji yang juga fanatik dengan Ibnu Arabi.
Keputusan tidak mengenakkan lainnya pun menyusul. Ibnu Taimiyah diasingkan di Iskandaria pada malam terakhir dari bulan Shafar tahun 709 H.
Suatu kali, ketika masuk ke sebuah penjara, Ibnu Taimiyah mendapati banyak para tahanan yang bermain catur dan dadu, serta berbagai permainan lainnya. Sementara, shalat mereka tidak terurus.
Ibnu Taimiyah pun langsung meluruskan penyimpangan yang mereka lakukan. Dan, mengajak mereka untuk shalat, berdzikir, memperbanyak amal shaleh, istighar, dan doa. Ibnu Taimiyah pun mengajarkan kepada mereka ilmu Alquran dan Sunnah.
Menariknya, hanya dalam waktu singkat, penjara yang semula penuh dengan kelalaian, berubah menjadi majelis ilmu. Para penghuni penjara begitu sibuk dengan kajian, hafalan, tilawah, zikir, dan lain-lain. Bahkan, mereka yang sudah diperbolehkan untuk bebas, lebih memilih untuk berada dalam penjara karena ingin menimba ilmu lebih banyak dari Ibnu Taimiyah.
Ketika Sultan Nashir memimpin Mesir, kebijakan utamanya adalah membebaskan Ibnu Taimiyah dari penjara. Sultan memberikan kebebasan kepada Ibnu Taimiyah untuk mengajar ilmu di tempat mana saja yang ia pilih. Ibnu Taimiyah pun dipersilakan berkunjung ke mana pun. Masyarakat pun menyambut kebijakan Sultan dengan begitu gembira.
Suatu hari, Ibnu Taimiyah mendaftar sebagai tentara relawan untuk bergabung dengan tentara Mesir dalam berjihad melawan pasukan Tartar. Dalam kesempatan itu, beliau mampir ke Baitul Maqdis dan berangkat menuju Damaskus. Ibnu Taimiyah tiba di Damaskus pada awal Dzulqa’dah tahun 712 H.
Ibnu Taimiyah pun pergi menuju Syam, di tempat ini, beliau kembali mengajar, menulis kitab, dan menyampaikan beberapa fatwa kepada umat. Di luar dugaan, salah satu fatwa tersebut ternyata tidak disukai beberapa tokoh dan penguasa.
Ibnu Taimiyah pun dihadapkan dalam sebuah majelis yang dihadiri banyak tokoh, dan penguasa. Di situ, beliau dihakimi, dicerca, dan akhirnya dimasukkan kedalam penjara. Pada tanggal 24 Rajab 720 H, atas perintah Sultan, Ibnu Taimiyah dikeluarkan dari penjara yang telah mengurungnya selama lima bulan.
Keluarnya Ibnu Taimiyah dari penjara, ternyata kembali menyulut ketidaksukaan tokoh-tokoh dan para pejabat saat itu. Mereka pun kembali melobi raja untuk kembali menjebloskan Ibnu Taimiyah kedalam penjara.
Pada tanggal 7 Sya’ban 726 H, keluarlah perintah raja untuk memenjarakan Ibnu Taimiyah di benteng Damaskus. Bukan itu saja, murid-murid utama beliau pun ikut ditangkap. Mereka disiksa dan dipertontonkan kepada masyarakat. Termasuk di antara mereka, Ibnul Qayyim.
Walau dipenjara, Ibnu Taimiyah memanfaatkan momen itu untuk menulis kitab dan fatwa-fatwa kepada masyarakat yang kemudian disebarkan melalui orang-orang yang menjenguk beliau di penjara.
Hal inilah yang membuat geram penguasa waktu itu. Akhirnya, pada tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, dikeluarkan kebijakan baru untuk melarang apa pun yang keluar dari penjara. Ibnu Taimiyah pun dilarang membaca dan menulis.
Hal yang bisa dilakukan Ibnu Taimiyah adalah berdzikir dan melantunkan tilawah Alquran yang memang sudah melekat dalam hafalannya. Tidak kurang selama setiap sepuluh hari, beliau mengkhatamkan tilawahnya. Selama dua tahun beberapa bulan dalam penjara, sudah 81 kali Ibnu Taimiyah mengkhatamkan tilawah Alquran.
Di penjara tesebut, Ibnu Taimiyah sakit. Seorang menteri minta izin untuk menjenguk beliau. Dalam pertemuan itu, sang menteri memohon maaf atas ketidakmampuannya mengeluarkan Ibnu Taimiyah dari penjara. Tapi, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan bahwa semua ini bukan karena kesalahan sang menteri. Dan beliau memaklumi posisi menteri tersebut.
Ibnu Taimiyah pun mengatakan, “Aku telah memaafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepadaku, kecuali mereka yang telah menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya.”
Salah seorang murid beliau, Ibnu Katsir, menuturkan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah meninggal dunia pada malam Senin, tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H di dalam penjara. Dan kalimat terakhir yang diucapkan adalah tilawahnya di Surah Al-Qamar ayat 54-55.
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ ﴿٥٤﴾
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ ﴿٥٥﴾
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.”
([email protected]/Min A’lam As-Salaf/Syaikh Ahmad Farid)