“Sungguh aku telah berjanji kepada Allah, untuk tidak mengambil upah dari Alquran!”
Itulah ucapan Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah ketika masih sangat belia. Ucapan itu sebagai jawaban dari hadiah yang diberikan guru Alqurannya karena Ibnu Taimiyah telah begitu tekun menekuni ilmu Alquran.
Hadiah berupa uang sebesar empat puluh dirham itu sedianya akan diberikan rutin tiap bulan. Dan uang tersebut sebenarnya berasal dari ayah Ibnu Taimiyah sendiri yang menitipkan hadiah itu kepada gurunya.
Dunia begitu hina dalam pandangan Ibnu Taimiyah, bahkan sejak beliau masih sangat belia. Allah telah menyingkapkan baginya tirai kehinaan hiasan dunia. Walau itu sangat mungkin, tak pernah sekali pun hasrat duniawi itu terlontar dari Ibnu Taimiyah.
Malam-malam baginya merupakan momen yang paling indah untuk bisa bercengkerama dalam cinta bersama Yang Maha Sayang, Allah swt. Hampir seisi malam tak luput bagi guru Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ini untuk shalat, zikir, dan membaca Alquran.
Salah satu kebiasaan Ibnu Taimiyah usai shalat Subuh berjamaah adalah zikir panjangnya yang ia lakukan sendirian. Dengan suara yang hanya ia dengar, ia terus menikmati zikir hingga datang waktu dhuha. Dan itulah yang didapati Ibnul Qayyim dalam keseharian gurunya.
“Aku tidak meninggalkan zikir, kecuali untuk istirahat agar jiwaku bisa segar kembali untuk melakukan zikir selanjutnya,” ucap Ibnu Taimiyah ketika muridnya itu menghampiri.
Selain ibadah dan zikirnya yang luar biasa, tawadhunya pun sudah menjadi kekaguman tersendiri bagi murid-murid Ibnu Taimiyah. Al-Bazzar pernah mengungkapkan kesaksian dari rekannya, “Ketika Ibnu Taimiyah keluar rumah untuk menemui murid-muridnya yang sudah menunggu di majelis ilmu, tak seorang pun muridnya yang boleh membawakan kitab-kitab referensi beliau. Semua ia bawa sendiri.
“Aku pernah minta maaf karena tidak membawakan sebagian kitab itu. Tapi, Ibnu Taimiyah justru mengatakan, ‘Seharusnya, kitab-kitab ini aku letakkan di atas kepalaku, aku hanya ingin membawa lembaran tulisan yang di dalamnya terdapat sabda-sabda Rasulullah saw.”
Begitulah Ibnu Taimiyah. Ia duduk dalam majelis di tempat sebagaimana hadirin duduk. Tidak ada tempat istimewa. Tidak ada kursi khusus, karpet indah dan sebagainya.
Al-Bazzar menambahkan, Ibnu Taimiyah juga begitu hormat dengan murid-murid yang belajar bersamanya. Tak ada kata-kata kasar, sombong, dan lainnya. Ia begitu serius mendengarkan pertanyaan, dan menjawabnya dengan wawasan yang jauh lebih luas dari masalah yang ditanyakan. Sehingga orang-orang seringkali mendapatkan ilmu yang jauh lebih berharga dari jawaban yang diinginkan.
Begitu pun dengan kedermawanannya. Suatu kali, ketika melewati suatu jalan, seorang fakir berteriak-teriak memanggil nama Ibnu Taimiyah. Beliau paham betul maksud panggilan itu. Ketika menghampiri, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan, Saudaraku, aku memahami maksud panggilanmu. Aku tidak punya uang untuk kuberikan kepadamu. Ambillah pakaian luarku ini. Silakan kau jual berapa pun, untuk kau ambil uangnya.
Satu hal lagi, selain ilmu dan ibadah, yang sulit lepas dari Ibnu Taimiyah adalah perang di jalan Allah. Inilah kekhasan beliau yang jarang dimiliki ulama-ulama lain sezamannya. Ia bukan hanya berani, tapi juga begitu terampil memainkan senjata dan strategi perang.
Suatu kali, dalam Perang Syaqhab, melawan pasukan kafir yang telah menaklukkan Damaskus, Ibnu Taimiyah menghampiri panglima perang muslim. “Bawa aku seperti kau membawa orang mati ke depan sana,” ucapnya. Padahal, pasukan musuh yang begitu banyak sudah tampak mengalir seperti aliran banjir bah.
Sang panglima pun terperanjat. “Ini akan mengantarkanmu pada kematian. Sebaiknya jangan!” Tapi, Ibnu Taimiyah tetap memaksa. Setelah di depan, sang panglima melihat Ibnu Taimiyah menengadah ke langit sambil berucap sesuatu. Ia pun bangkit dan maju ke medan perang.
“Aku tidak melihatnya lagi, sampai Allah memberikan kemenangan pada umat Islam yang berhasil masuk ke kota Damaskus!” ucap sang panglima muslim.
Tidak heran jika para perwira tentara muslim kerap menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai rujukan strategi perang ketika berada di medan pertempuran. Ibnu Taimiyah juga begitu sibuk memberikan semangat kepada prajurit yang mulai lelah dan gentar dengan jumlah dan persenjataan musuh.
“Seseorang tidak takut kepada selain Allah, kecuali ada penyakit dalam hatinya. Ada seorang lelaki yang mengadu kepada Ahmad bin Hambal tentang ketakutannya pada sebagian penguasa. Maka Ahmad bin Hambal mengatakan, ‘Jika hatimu sehat, kamu tidak akan takut selamanya,” ucap guru Ibnu Katsir ini suatu kali. bersambung.([email protected])