Kota Madinah masih gelap. Diselimuti malam. Malam masih belum mulai beranjak pagi. Suasananya sepi. Penduduknya terlelap oleh buaian tidur. Hanya suara angin gurun pasir menerpa pohon dan bangunan disertai udara dingin yang menusuk.
Seorang laki-laki berjalan sendirian dikegelapan. Menelusuri lorong-lorong rumah penduduk Madinah. Mungkin ini tak lazim. Tak lazim bagi orang yang tak memiliki tujuan. Langkah kakinya terus menembus kegelapan malam. Tak menghiraukan dinginnya udara malam. Apa yang dicari laki-laki itu? Adakah malam itu begitu penting bagi laki-laki itu? Malam terus beranjak. Sampai laki-laki itu berhenti dan berdiri di dekat sebuah rumah yang kecil.
Laki-laki itu mendengar suara wanita. Dialog antara ibu dan anaknya. Wanita tua itu menyuruh anaknya mencampur susu yang akan dijual dengan air. “Ibunda. Amirul Mu’minin melarang perbuatan seperti itu”, tukas anaknya. “Tetapi, Amirul Mu’minin tidak ada bersama kita”, sahut ibunya. “Kalaupun Amirul Mu’minin tidak melihat kita, bukankah Allah selalu mengawasi kita”, tegas anaknya. Laki-laki yang berdiri dekat rumah itu tercenung, ketika ia mendengar dialog ibu dengan anaknya.
Laki-laki yang berjalan digelapan malam, dan menelusuri lorong-lorong kota Madinah, tak lain adalah Khalifah Umar Ibn Kaththab. Ketika orang-orang terlelap tidur dan istirahat di malam hari, justru ia mengelilingi Madinah, ingin mengetahui keadaan rakyatnya. Tak puas hanya dengan laporan para pejabatnya. Khalifah Umar ingin melihat langsung keadaan rakyatnya. Masih adakah rakyatnya yang tak dapat tidur di malam hari, karena perutnya lapar? Adakah rakyat yang memerlukan bantuan? Wanita-wanita tua, janda, dan anak-anak yatim, tak boleh mereka lapar. Umar rela tak tidur di malam hari. Ia takut kalau-kalau rakyatnya ada yang kelaparan.
Khalifah Umar Ibn Kaththab yang sangat mencintai rakyatnya itu, pikirannya terus dibayangi dialog antara ibu dengan anaknya. Umar benar-benar tersentuh ucapan anak perempuan itu. Kemudian, di pagi hari ia mengumpulkan seluruh anak laki-lakinya, dan menceritakan perihal dialog antara ibu dengan anaknya, yang ia dengar kepada anak-anaknya, ketika ia melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk di malam hari. Umar menyuruh di antara anak laki-lakinya menikahi anak perempuan itu. Lalu, salah seorang anaknya bernama Ashim, menunjukkan tangan, menyatakan keinginannya menikahi anak wanita itu “Kalau begitu, pergilah dan nikahlah dengannya. Alangkah baiknya engkau datang dengan seorang penunggang kuda yang menguasai bangsa Arab”, ujar Umar.
Ashim menikahi anak perempuan yang bertaqwa dan berbakti itu.Kedua suami-isteri itu menjalani kehidupannya. Lalu, Allah azza wa jalla menakdirkan keduanya mempunyai seorang anak, anak wanita yang diberi nama Layla. Anak perempuan begitu cantik dan lembut. Selanjutnya, Layla menapaki kehidupan, dan mendapat asuhan dan bimbingan dari kedua orang tuanya, yang shaleh, putra Umar Ibn Kaththab. Ketika, Layla mencapai usia nikah, ia dilamar oleh Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam, seorang pembesar dari bani Marwan setelah saudaranya Abdul Malik bin Marwan. Usai akan nikah, Layla dibawa ke istana oleh suaminya, Abdul Aziz, dan bergabunglah antara kemuliaan dan ketaqwaan. Sepasang suami-istteri (Layla-Abdul Aziz) oleh Allah azza wa jalla, dianugerahi seorang anak laki-laki yang lembut, cerah, tampan, dan amat menyenangkan yang memandang. Mereka sepakat memberi nama dengan nama kakeknya al-Faruq Umar Ibn Khaththab radhiyallahu ‘anhu.Akhirnya, di pelataran kehidupan dunia ini, lahir seorang anak laki-laki bernama Umar bin Abdul Aziz, yang terhimpun pada dirinya kemulian dari dua orang, ayah dan ibu, yang masih keturunan Umar Ibn Kaththab.
Suatu hari, Umar Ibn Kaththab bangun tidur dengan perasaan yang bahagia. Lalu, ia berkata:”Alangkah bahagianya sekiranya ada dari keturunanku yang mengisi dunia ini dengan keadilan, sebagaimana dunia ini dipenuhi dengan kedzaliman”, gumamnya. Dalam perjalanan hidupnya, pemuda Umar bin Abdul Aziz, tumbuh di tengah keharuman iman, dan kesemerbakan ilmu. Kala itu, kota Madinah yang suci, masih ada Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa salam. Sehingga, Umar bin Abdul Aziz, masih sempat menimba ilmu dari mereka. Umar bin Abdul Abdul Aziz masih bertemu dengan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. “Wahai ibuku, aku ingin menjadi seperti pamanku – yakni Abdullah bin Umar rahdiyallahu ‘anhuma”. Mendengar ucapan anaknya itu, betapa bahagia ibunya. “Engkau tentu akan menjadi seperti pamanmu. Engkau tentu akan menjadi seperti dia!”, jawab ibunya.
Ketika itu, Umar bin Abdul Aziz menjadi Gubernur Madinah, dan ruangan tamunya, selalu ditepnuhi oleh orang-orang yang shaleh, para ulama yang jujur dan ahli syariat. Ruangannya selalu diisi dengan dzikrullah dan diskusi ilmu yang bermanfaat. Sampai, suatu hari pelayannya mengantarkan hendak memukul pelayannya, sebelum dipukul pelayan itu berucap: “Wahai Umar! Ingatlah kepada malam yang paginya menjadi kiamat”, ucap sang pelayan. Kala mendengar ucapan pelayan itu, Umar bin Abdul Aziz, lalu berubah total. Seluruh hidup berubah. Ia tinggalkan segala bentuk kemewahan. Makanan yang lezat, pakaian yang indah, yang terbuat dari sutera, ia tinggal kenikmatan duniawi.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan sebuah hadist: “Sesungguhnya, Allaha Tabaraka wa Ta’ala akan membangkitkan pada setiap seratus tahun oran yang memperbaharui (mujaddid) terhadap agama bagi umat ini”. Selanjutnya, Imam Ahmad menyatakan: “Kami melihat seratus tahun pertama, ternyata Umar bin Abdul Aziz”, tambahnya.
Umar telah menthalak dunia dengan talak tiga (talak ba’in). Ia telah meninggalkan sebab yang mengantarkannya kepada kesenangan dunia. Ia telah memuntahkannya. Ia tidak membuat bangunan, dan tidak menyusun batu bata di atas batu bata yang lain. Ia orang yang sangat lembut hatinya. Lekuk matanya terus mengalir bulir-bulir air mata. Umar selalu inga akan kematiannya. Muqatil bin Hayyan rahimahullah bercerita: “Aku pernah shalat di belakang Umar bin Abdul Aziz. Ketika ia membaca ayat “Dan berhentikanlah mereka. Sesungguhnya, mrekaakan ditanya “. Dan, ayat itu diulang-ulang, sampai Umar tak mampu melanjutkan bacaannya, karena menangis.
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sangatlah pendek. Hanya kurang dari dua tahun. Tapi, seluruh negeri mendapatkan keadilan. Bahkan, ketika menjelang usainya ramadhan, tak lagi ditemukan di seluruh negeri, rakyatnya yang berhak mendapatkan zakat. Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah yang alim, adil, dan ahli zuhud.
Ketika ia meninggal hanya meninggalkan dua potong baju, yang ia pakai, dan sebuah hambal, yang ia gunakan menerima tamu. Padahal, dia seorang khalifah. Wallahu ‘alam.