Sosok pembentuk jiwa sang penakluk
Potret al Fatih tidak lepas dari peran keluarga dan guru yang hebat. Ayahnya sultan Murad ke 2 adalah pemimpin kekhalifahan Utsmani yang besar. Diceritakan bahwa sang sultan pada awalnya sempat merasa sedih melihat al-Fatih kecil. Kehidupan kerajaan yang mewah ternyata membuat anaknya menjadi bandel dan tidak mau menuruti perintah yang diberikan gurunya. Namun beliau tidak berputus asa atas hal ini. Dan kesabaran sang Ayah inilah yang mengawali kebesaran putranya di kemudian hari.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Al-Imran 159)
Akhirnya datanglah seorang Ulama Sufi terkemuka bernama Aaq Syamsuddin. Di tangan beliaulah Muhammad al-Fatih dirubah jiwanya yang semula anak yang manja dan susah diatur, menjadi seorang panglima terbaik yang memimpin pasukan terbaik pula.
Sang syeikh memulai pendidikan sang sultan dengan berbagai macam ilmu dasar Islam yang cukup seperti tafsir Al Quran, fikih, sirah Nabawiyah dan ilmu ilmu dasar lainnya. Selain memperkaya dengan keilmuan fardhu ain, sang guru juga memberikan anak didiknya dengan perbekalan ilmu fardhu kifayah seperti ilmu matematika, ilmu falak, sejarah, dan berbagai macam bahasa asing. Integralisasi kedua ilmu inilah yang menjadi bekal utama sang penakluk dalam kepemimpinannya kelak.
Peran sang Ayah dalam pemantapan pendidikan juga tidak kalah penting. Beliau sering mengajak sang anaknya untuk ikut serta dalam peperangan besar, sehingga pengetahuan tentang strategi berperang Muhammad al-fatih banyak diwarisi oleh sang Ayah. Untuk melatih kepiawaian dalam mengatur pemerintahan, sang Ayah juga tidak segan-segan untuk memberikan amanah jabatan kepala Negara kepadanya, tentu dengan tahapan dan pengawasan yang baik. Sejak usia belia, sang Ayah sudah berusaha mencetak anaknya agar menjadi seorang panglima dan pemimpin Negara.
Hanya karena sudah ada Syekh Aaq syamsuddin sebagai guru anaknya, tidak lantas membuat Sultan Murad lupa atas kewajibannya dalam ikut serta dalam pedidikan anaknya.
Kedua orang inilah yang terus menerus mendorong sang sultan menjadi panglima terbaik dalam sabda Nabi. Semangat serta ilmu yang terus mengalir dari seorang guru dan ayah adalah tenaga terbesar utama untuk menjebol tembok konstantinopel.