Wajahnya pucat. Pipinya cekung. Meski, matanya tak pernah redup, dan selalu bercahaya. Badannya kurus. Tulang-tulangya menonjol. Sepintas orang melihat pasti iba. Janggutnya memanjang. Pakaiannya sederhana. Badannya terbalut, hanya dengan baju yang kusam, tak menampakkan keindahan, yang bisa menimbulkan kesombongan.
Ia selalu berpuasa di siang hari. Bekerja. Di tengah terik matahari padang pasir. Mencari ilmu tak henti-henti. Ia tak pernah puas dengan ilmu. Selalu dahaga. Ibadahnya tak pernah terlupakan. Keindahan malam, yang senantiasa ia nikmati, perjumpaan dengan kekasihnya Allah Azza Wa Jalla. Ia kalahkan hawa nafsunya. Tak mau hidupnya dipasung dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Makanpun, ia membatasinya. Tak mau sepanjang hidupnya dengan kekenyangan. Perut yang kenyang, hanya menyebabkan kelalaian, kemalasan, dan tak mampu beribadah dengan khusuk. Maka, sepanjang hidupnya, ia hanya makan makanan yang terbatas, lima biji korma, sepotong roti, dan segelas air. Cukup.
Laki-laki itu lahir beberapa tahun setelah masa kekhilafahan Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhum. Ia menghimpun ilmu dari para sahabat besar. Ia mengambil riwayat dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, Addi bin Hatim, Samurah bin Jundub, dan lainnya. Tapi, laki-laki itu, selalu merasa belum cukup, dan terus mencari ilmu. Sepanjang hidupnya, tak pernah ada jeda mencari ilmu, sampai suatu kematian menjemputnya.
Ia pergi dari satu negeri ke negeri yang lain. Sepanjang tahun. Berpindah-berpindah. Bertemu dengan para ulama. Dari waktu ke waktu terus mengarungi negeri demi negeri. Beribu-ribu mil perjalanan yang dilalui. Sepertinya, penderitaan itu, semuanya ia lupakan. Ia merasa sangat bahagia, ketika bertemu dengan seorang ulama, dan kemudian mendapatkan ilmu darinya. Suatu kali ada orang yang menanyakan kepadanya, bagaimana cara ia mendapatkan ilmu itu. “Aku tidak penduli dengan segala penderitaan. Penderitaan bagiku adalah kehabagiaan, yang tak ternilai, ketika aku berjumpa dengan ulama. Aku mengembara ke banyak negeri. Aku sabar seperti burung dara, serta bergegas seperti bergegasnya burung gagak”, ujar laki-laki itu. Gambaran semangat laki-laki itu, sungguh luar biasa dalam mencari ilmu.
Laki-laki itu melakukn perjalanan yang sangat panjang. Dari ujung negeri Syam ke ujung negeri Yaman. Perjalanan yang begitu panjang tidaklah sia-sia. Namun, jika ia melangkahkan kaki untuk mencari dunia atau hanya untuk memenuhi hawa nafsunya, dan pergi keluar masjid, berarti kepergiannya itu adalah sebuah kesia-siaan, dan siksaan. Tapi, hatinya tak pernah lalai, selalu hatinya, ia niatkan untuk mencari ilmu, dan beribadah kepada Rabbnya. Perjalanan yang penuh dengan penderitaan, tak berarti apa-apa, dari ujung Syam sampai ke ujung Yaman, karena ia dapat memenuhi dahaganya. Tidak menjadi kesia-siaan. Karena, ia selalu berniat mencari ilmu, dan mendapatkan keridhaanNya.
Laki-laki itu sangatlah tawadhu’. Tak menyombongkan diri. Tak merusak hatinya dengan keramaian dunia. Dunia adalah musibah bagi dirinya. Karena itu, ia selalu ‘beristighfar’ memohon ampunan dari Allah Ta’ala. Tak mau hatinya tergores dan ternoda oleh bisikan setan, menjadi sombong, ujub, riya’, karena ilmu yang dimilikinya. Tak banyak orang yang tahu, bahwa laki-laki itu adalah orang yang sangat alim, ilmunya bagaikan samudra, yang luas.
Sifat tawadhu’ itu hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang jujur dan shaleh. Laki-laki itu adalah orang yang jujur dan shaleh. Laki-laki itu tak mau menjawab, pertanyaan yang ia tidak tahu. Ada seseorang ulama yang menanyakan sesuatu kepadanya, lalu ia menjawab dengan : “Allahu ‘alam”. (Allah Yang Maha Tahu). Ia tidak suka menyampaikan fatwa, berdasarkan pendapat pribadinya atau hawa hafsunya. Semua pendapat pribadinya, selalu ia jauhkan. Ia hanya mau berpendapat dan berfatwa, berdasarkan nash-nash yang ‘syorih’ (jelas). Dalam sebuah pertemuan yang dihadhiri para ulama, salah seorang yang hadhir, meminta kepada laki-laki itu, agar ia mau menjawab dengan pendapatnya. Maka, laki-laki itu mengatakan : “Apa yang engkau perbuat dengan pendapatku? Kencingi (buang) saja pendapatku”. Sungguh, sebuah ketawadhu’an yang sangat luar biasa. Suatu ketika ada orang yang berseru kepadanya : “Wahai ahli fiqh!”. Lalu, jawab laki-laki itu, “Aku bukanlah ahli fiqh. Aku hanyalah orang yang pernah mendengar hadisth, lalu mengamalkan ilmunya”, jawab laki-laki itu. Sungguh, laki-laki itu adalah orang yang memiliki derajat yang luhur.
Laki-laki itu pernah menyampaikan : “Apa yang mereka ceritakan kepada mu dari para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambilah, dan apa yang mereka sampaikan dengan ra’yu (pendapat) mereka, maka buanglah”, ucap laki-laki. Tidak diragukan lagi, orang seperti itu pasti hatinya bersih, pandangannya jujur, dan kecerdasannya tajam. Dan, laki-laki itu pernah menceritakan tentang dirinya : “Aku tidak menulis yang hitam pada yang putih, dan tidaklah seseorang menyampaikan satu hadits kepadaku melainkan aku memeliharanya”, tukas laki-laki itu.
Laki-laki yang pernah mengarungi samudera pandang pasir, berjalan menelurusuri luasnya padang pasir, dari ujung Syam sampai ke ujung Yaman itu, begitu mendalami al-Qur’an. Ia menyelami detil-detil serta mu’jijat al-Qur’an. Laki-laki melakukan perenungan terhadap al-Qur’an dengan ilmu. Ia mengeluarkan mutiara kata tentang firman Allah Azza Wa Jalla : “Ini adlah penjelasan bagi manusia, pentunjuk dan mauizh ah (pelajaran) bagi orang-orang yang bertaqwa”, tegasnya. Maksudnya, al-Qur’an itu adalah penjelasan bagi manusia dari kebutaan (kegelapan), petunjuk kesesatan, dan pelajaran yang membebaskan manusia dari kebodohan”, tambahnya.
Renungilah. Kalimat-kalimat yang diungkapkan laki-laki itu. “Kenakanlah pakaian yang dengannya engkau tidak dihina oleh orang yang dungu dan tidak dicela oleh yang berilmu”. Dibagian lainnya, laki-laki itu berkata : “jika engkau benar sembilan puluh sembilan kali, dan salah satu kali, pasti mereka akan mengambil yang ssalah dan membuang yang sembilan puluh sembilan”, ungkapnya. Lalu, tambahnya : “Jika kebaikan seseorang menguasai kejelekannya, berarti ia seorang yang sempurna. Bila keduanya seimbang banyaknya, ia orang yang dapat mengendalikan diri. Sebaliknya, siapa saja yang kejahatannya mengalahkan kebaikannya, ia adalah orang yang terkoyak kebaiknya”, kata laki-laki itu.
Siapa laki-laki itu? Laki-laki itu adalah Amir bin Syarahil asy-Sya’bi. Di usia yang sudah lanjut itu, ia melantunkan syair : “Sahabat sejati bukanlah ketika ridha, tetapi ketika meluapnya amarah “. Asy-Sya’bi rahimahullah adalah orang yang turu merasa sakit, ketika orang lain merasa sedih. Suatu kali, ia menghadap Umar bin Hubairah, seorang penguasa Iraq, untuk membela dan membebaskan orang yang ditahan Umar. Asy-Sya’bi berkata kepada Umar :”Wahai Amir, jika engkau menahan mereka karena kabathilan, kebenaran akan mengeluarkan mereka. Jika engkau menahannya karena kebenaran, maafkanlah mereka”, kata ulama itu. Umar sangat tertarik dengan keindahan bahasa Asy-Sya’bi, dan akhirnya ia membebaskan orang yang ditahan itu.
Asy-Sya’bi tak pernah gentar dalam membela kebenaran. Ia berada di ujung paling depan, ketika menegakkan kebenaran. Tak ragu-ragu dengan apapun.Langkah-langkah kakinya, hanyalah untuk mencari ridha dari Rabbnya. Tak mencari keridhaan manusia. Perjalanan panjang kehidupannya, hanyalah sepenggal langkah, yang akan memudahkan dirinya menuju ke alam akhirat yang abadi, dan bertemu dengan kekasihanNYa, yang maha rahman dan maha rahim. Wallahu’alam.