Walaupun di Mekkah merajalela keberhalaan, dan penyimpangan aqidah, serta berbagai bentuk kesesatan lainnya, namun di kota ini masih ada kaum yang memiliki warisan kemuliaan, berupa akhlaq dan moral.
Mereka membela nama dan kehormatan, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang teraniaya, dan membebaskan orang-orang yang terbelenggu dalam perbudakan.Bahkan, seorang majikan telah biasa membebaskan budak mereka, hanya karena si-budak itu, tidak lagi sanggup menunaikan tugasnya. Pernah seorang majikan menyampaikan kepada hamba sahayanya : “ Jika kmu berhasil membawa seorang tamu ke sini, maka kamu menjadi bebas”, ujar sang majikan. Begitu kisah yang ada di masa lalu, sebelum Islam membasuh jazirah Arab dengan cahaya iman dan Islam.
Masyarakat mereka telah melahirkan tokoh-tokoh yan banyak, diantaranya seperti, Umru-ul Qeis, Zuheir bin Abi Sulma, Nabighah Dzub-yani, Tharafah bin ‘Abd, Umaiyah bin Abish-Shalt, LUbeid bin Rabi’ah, Ka’ab bin Zuheir, Qus bin Sa’idah dan Sahban bi Wail.
Abu Bakar, hatinya senantiasa dipenuhi dengan berbagai bisikan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang melingkupi kehidupannya. Lalu, tergambarlah keutamaan-keutamaan kaumnya dalam bentuk yang paling megah. Mereka adalah bangsa yang jujur, yang dalam kehidupan dan perilaku mereka tidak kenal kebohongan dan kepalsuan. Mereka jujur baik dalam hal yang bakal menguntungkan maupun dalam yang bakal merugikan. Kehidupan mereka terang seperti terangnya pada pasir yang mereka diami, secercah langit yang menaunginya.
Dari sifat mulia inilah mereka mendapatkan hikmah. Mereka mampu mencari jejak dan menangkap isyarat dari barang-barang beku dan makhluk yang ada disekitarnya. Tetapi, anehnya tak seorangpun diantara mereka yang mengakui dirinya Nabi. Padahal, keimanan, kesucian, dan perilaku mereka akan menyebabkan umat menerima dan mempercayainya.
Nah, kenapakah tak seorangpun diantara tokoh-tokoh itu yang berani mengakuinya? Jawabannya, karena mereak adalah orang-orang jujur. Bahkna, seorang Arab awam pun takkan berani berdusta, walaupun hanya kepada seekor unta. Inilah ungkapan yang keluar dari mulut seorang awam kepada untanya yang sedang kehausan :
“ Saya sebenarnya ingin member harapan, bahwa engkau akan minum hingga, kamu tidak gelisah lagi. Tapi, saya tak akan sampai hati dan adalah suatu aib bila bernai mendustaimu dan menyalahi janji”, ujar orang awam itu.
Betapa, seoran awam Arab saja sudah merasa malu untuk membohongi untanya, apalagi tokoh-tokoh suci yang berkpercayaan tahuhid, takkan mungkin berani berdusta kepada Allah Ta’ala. Dan, bukankah Nabi itu seorang yang jujur? Tiada alasan untuk menolak apa yang tertera di dalam kita suci Al-Qur’an. Bisikan halus yang selau bolak-balik dalam hati dan pikiran Abu Bakar. Dan, sekarang, karena urusannya di Syria sudah selesai, mak aiapun bersiap-siap untuk me mbali ke negerinya.
Beberapa hari menjelang kepulangannya, ia bermimpi : “Dilihatnya bulan telah meninggalkan tempatnya di ufuk tinggi, turun ke Mekkah, kemudian ia terpecah-pecah yang tersebar ke semua geung dan rumah. Kepingan-kepingan tadi kembali bersatu dan utuh, sebagaimana semula, kemudian bertengger di bilik Abu Bakar. Lalu, Abu Bakar terbangun karenanya, dan mimpi itu terus mengusik fikirannya. Ia segera pergi dan mengunjungi seorang pendeta, yang telah dikenalnya dengan baik, kemudian menceritakan mimpinya itu. Wajah pendeta itu pun tampak berseri-seri, lalu berkata :
“Rupanya telah datang saat baginya … “.
“Siapakah yang anda maksudkan?”, Tanya Abu Bakar.
“Apakah nabi yang sedang kita tunggu-tunggu itu?”, tambahnya.
“Benar”, ujar pendeta itu.
“Dan, anda akan beriman kepadanya, dan akan menjadi orang paling bahagia karenanya”, ucap pendeta itu.
Maka, apabila Abu Bakar masuk Islam dan beriman, itu bukan karena mimpinya, tapi karena hasil proses yang selam ini ia pikirkan dan renungkan. Pantaslah ia sebagai orang yang mendapatkan karunia dari Allah, dan sebagai orang pertama yang menerima hidayah dan petunjuk-Nya.
Bersamaan dengan datangnya waktu subuh, Abu Bakar berangkat menuju Mekkah bersama khafilahnya. Dengan riang gembira mereka jalani perjalanan, unta-untanya berlari-lari, seakan-akan merek sedang berpesta-pora. Bau harum berhembus kearah rombongan itu dengan membawa wewangian taman-taman Syria, seolah-olah merupakan ucapan selamat jalan dari negeri yang molek yang banyak meninggalkan kenangan.
“Ya Rabbi, janganlah Engkau jadikan daku mempersekutukan-Mu untuk selama-lamanya ..
dan, jadikanlah keimanan mengisi relung hatiku untuk masa yang tak habis-habisnya,
Aku berlindung hanya kepada-Mu, Yang menjadi tujuan dari orang-orang yang berkunjung ke tanah suci,
Dan, kepada Dzat yang menjadi tumpuan harapan orang-orang yang membina sendi-sendi agama Ilahi,
Yakni orang-orang yang berserah diri kepada-Mu di saat mereka menunaikan haji,
Orang-orang yang tak hendak memperjual-belikan pahala Allah dengan harta atau nilai materi …”
Kemudian, Abu Bakar bertemu dengan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wasalam, dan masuk Islam, dan kenengan yang tak aka pernah pupus sampai mati.
Kenangan Abu Bakar, ketika ia masuk Islam, dan beriman, serta menjadi pengikut Rasulullah Shallahu alaihi wassalam. Perjumpaan yang tak bernilai dalam hidup yang tak akan pernah ia lupakan. Wallahu ‘alam.