Wahai manusia! Mengapa engkau berlaku sombong di muka bumi ini. Tak ada yang berhak sombong. Karena, hakekat awal manusia terbuat dari ‘nuthfah’ (air mani), air yang hina, menjadi segumpal darah, dan berbentuk daging, dan kemudian berwujud manusia dalam rahim wanita. Itulah proses penciptaan manusia. Semua itu hanya lah menunjukkan kemahakuasaan Allah Rabbul Alamin.
Tak berhak siapapun berlaku sombong di muka bumi ini. Apalagi, menyamai kemahakuasaan Penciptanya.Karena hakekatnya manusia atau makhluk, pasti memiliki keterbatasan yang melekat. Terbatas umurnya. Terbatas kemampuannya. Terbatas kekuasaan yang dimilikinya. Terbatas akal kecerdasannya.
Dalam sejarah pernah ada seorang makhluk, karena kekuasaannya yang demikian besar, lalu menyatakan dirinya sebagai: “Ana rabbukumul a’la”. (Saya adalah tuhan tertinggi). Tapi, makhluk itu begitu ringkih dan lemahnya, dan tak mampu menolong dirinya, ketika musibah datang.
Dapatkah Fir’aun menolong dirinya? Dapatkah ia menyelamatkan dirinya di Laut Merah? Orang yang mengaku dirinya: “Ana rabbukumul a’la”, tak mampu melawan makhluk yang lemah yaitu air. Ketika laut Merah menenggelamkan dirinya, ia tak dapat menolong dirinya. Ia tenggelam di dasar laut Merah. Di mana kesombongan Fir’aun? Di mana kekuasaan Fir’aun? Di mana Kemahaperkasaan Fir’aun?
Dalam sejarah, yang sangat dikenal, al-Watsiq, pemangku jabatan Khalifah sesudah al-Mu’tasim. dia adalah seorang yang kejam, lalim, dan tak kenal ampun. Dialah yang memenggal kepala Ahmad bin Nashr al-Khuza’i, ulama yang masyhur, salah satu pimpinan tertinggi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan termasuk ulama terkemuka, serta penulis kitab al-I’tishaam bil-Kitaab was – Sunnah.
Suatu hari beliau menghadap dan menemui Al-Watsiq, dan menyuruhnya mengakui bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk. Tetapi, al-Khuza’i menolak dengan tegas. Dia tidak mau memenuhi permitaan Khilafah yang lalim itu. Dia menentang dengan keras, keinginan al-Watsiq, yang menyuruh dia menyatakan al-Qur’an itu makhluk. Lalu, al-Watsiq maju dengan sebilah pisau kecil, menusukkan kedadanya. al-Watsiq menyembelih ulama termasyhur itu, seperti menyembelih seekor kambing.
Ketika ajal menghampiri al-Watsiq, dan saat menjelang sekarat, seperti yang dituturkan As-Suyuthi dalam Taariikul – Khulafaa’ menyebutkan: “Begitu mereka membaringkannya setelah ia meninggal dan menyerahkan ruhnya kepada Allah Ta’ala, datanglah seekor tikus yang mengoyak matanya dan memakan kedua matanya”. Peristiwa itu hanyalah sebuah kisah yang ingin diperlihatkan oleh Allah Ta’ala kepada orang yang sombong dan lalim.
Dalam episode sejarah yang lain disebutkan, betapa seorang ulama terkemuka bernama Thawus, yang berasal dari Yaman, datang menghadap Abu Ja’far al-Manshur. Abu Ja’far al-Mansur adalah orang yang kejam. Dia seorang yang sangat cerdik dan pemberani. Al-Mansur telah memenggal kepala para raja, pangeran, dan menteri. Akhirnya dia meninggalkan dunia yang fana, dan iatak dapat mengalahkan takdir. Kehebatannya tak berarti apa-apa, ketika sakaratul maut menjemputnya.
Ketika, Abu Ja’far al-Mansur masih hidup selalu lalat menghinggapi hidungnya. Lalat yang kotor itu selalu menghinggapi pucuk hidungnya. Al-Mansur mengusirnya, tetapi lalat itu selalu datang lagi.
“Untuk apa Allah menciptakan lalat, wahai Thawus?”, tanya al-Mansur.
“Untuk menghinakan kesombongan para tiran dan durjana”, jawab Thawus.
Mendengar jawaban Thawus itu, Abu Ja’far al-Mansur, terdiam. Lalu, dia bangkit minta Thawus mengambil tinta. “Tolong ambilkan tempat tinta itu!”. “Tidak.Demi Allah, kalau yang akan tuan tulis adalah kebathilan, saya tidak akan membantu tuan untuk sebuah kebhatilan”, jawab Thawus. Kemudian, Thawus bangkit dan pergi meninggalkan Abu Ja’far al-Mansur. Inilah sebuah contoh seorang ulama yang bertakwa, ketika berhadapan dengan para penguasa.
Ibn Abi Dzi’b di datangi oleh al-Mahdi di masjid Nabawi. Al-Mahdi adalah seorang Khalifah, putra Abu Ja’far al-Mansur. Orang-orang berdiri, kecuali Ibn Abi Dzi’b. “Mengapa engkau tidak berdiri menyambut kami, seperti yang dilakukan orang-orang itu?, Tanya al-Mahdi. Ibn Dzi’b menjawab: “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sebetulanya saya mau berdiri menyambutmu. Tetapi, saya teringat firman Allah: “Yaitu pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam”. (al-Muthaffifiin – 6). “Karena hari itulah saya urung berdiri”, ujar Abi Dzi’b.“Duduklah! Demi Allah. Semua rambut di kepalaku berdiri mendengarnya”, sahut al-Mahdi. Begitulah kisah para generasi dahulu. Mereka adalah para penguasa Islam yang sangat luar biasa jasanya terhadap Islam, tapi tetap saja mereka tidak terlepas dari kematian.
Al-Mui’tashim adalah panglima militer yang menaklukkan Amuria dengan sembilan puluh ribu prajurit..Dia seorang Khalifah dan panglima perang yang gagah, dan memiliki badan yang sangat kuat. Dia masih muda. Usianya, baru empat puluh tahun. Tapi, keperkasaan dan kekuasaannya, tak dapat menghalangi datangnya ajal.
Manusia tak lagi berhak berlaku sombong. Karena manusia makhluk yang lemah. Betapapun, kadang-kadang dia berlaku sombong dan lalim. Wallahu ‘alam.