Nama asli beliau Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Panggilan akrab ulama yang lahir di Baghdad 164 Hijriyah ini adalah Abu Abdillah. Nama itu merupakan sandingan dengan nama salah seorang putera beliau yang bernama Abdullah.
Sejak belia Ahmad bin Hambal telah hidup yatim. Di usia tiga puluh tahun, ayahnya yang seorang walikota meninggal dunia. Sejak saat itu, kehidupan keluarga Ahmad kecil ini dalam keadaan yang sangat sederhana.
Ibu Ahmad bin Hambal sangat bersikeras anaknya kelak menjadi orang yang berilmu. Ia sengaja melahirkan dan membesarkan anaknya di Baghdad, bukan kota di mana suaminya pernah menjadi pejabat nomor satu, hanya untuk mengkondisikan puteranya menjadi dekat dengan para ulama dan jauh dari kehidupan glamour seperti umumnya anak-anak pejabat.
Kegigihan dan keseriusan Ahmad bin Hambal muda memang luar biasa dalam menuntut ilmu. Kerap kali, Ibu Ahmad bin Hambal menyampaikan usul agar anaknya bisa berangkat mencari ilmu setelah adzan Subuh. Tapi, Ahmad muda tetap menunjukkan keseriusan itu. Sebelum adzan Subuh, Ahmad bin Hambal sudah keluar rumah untuk mendatangi para ulama.
Beberapa kota yang ia datangi untuk menemui para ulama yang ia jadikan sebagai guru, di antaranya, Kufah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, Maroko, Al-Jazair, Al-Faratin, Persia, dan Khurasan.
Suatu kali, pernah Ahmad bin Hambal ingin belajar dari seorang ulama di Shan’a yang bernama Abdurrazaq. Sebelum ia berangkat ke Shan’a, sebuah daerah di Yaman yang menempuh sekitar satu bulan perjalanan dari Baghdad, ia bertemu sang guru itu di Mekah dalam ibadah haji.
Seorang teman beliau mengusulkan agar belajarnya di Mekah saja dan tak perlu lagi ke rumah beliau yang begitu jauh. Tapi, tetap saja, Ahmad bin Hambal berangkat ke rumah gurunya itu untuk mendapatkan ilmu.
Dalam sebuah perjalanan menuntut ilmu, ketika berada di sebuah rumah tempat ia menginap, semua perbekalan Ahmad bin Hambal dicuri orang. Si pemilik rumah menceritakan itu ke Ahmad bin Hambal.Tapi, Ahmad tidak menanyakan soal perbekalannya. Ia hanya bertanya, apakah buku catatannya masih ada.
Di rumah Abdurrazaq, Ahmad bin Hambal sudah kehabisan perbekalan. Abdurrazaq menghadiahkan uang dirham yang cukup untuk perbekalan ke tempat lain yang akan dituju Ahmad. Tapi, ia menolak. Ketika Abdurrazaq mengatakan bahwa uang itu sebagai pinjaman, Ahmad pun tetap menolak. Keesokannya, Abdurrazaq mendapati Ahmad bin Hambal mencari perbekalan dengan berkerja.
Imam Syafi’i yang hidup sezaman dengan Imam Ahmad bin Hambal sangat mengagumi sosok ulama ini. Ia mengatakan, aku belum pernah menemukan seorang pemuda seperti Ahmad bin Hambal yang begitu alim dan tsiqah.
Tidak kurang dari satu juta hadits telah dihafal Ahmad bin Hambal. Ia mendirikan sebuah sekolah yang bernama Al-Hanabilah. Setiap kali ada taklim, tidak kurang dari lima ribu orang hadir untuk menyimak apa yang disampaikan Imam Ahmad bin Hambal.
Selain soal keilmuan, orang mengenal Ahmad bin Hambal karena kezuhudannya yang luar biasa. Rumahnya sangat sederhana, walaupun begitu banyak orang yang ingin membantunya untuk memugar rumah yang dianggap sudah tidak lagi layak huni itu.
Seorang pejabat yang begitu menghormati beliau pernah menghadiahkan uang sebesar 3000 dinar atau senilai 4,2 milyar rupiah. Uang itu dimaksudkan sebagai bantuan untuk memugar rumah dan biaya kebutuhan sehari-hari untuk keluarga Ahmad bin Hambal.
Tapi, Imam Ahmad bin Hambal menolak. Ia mengatakan bahwa keluarga sudah sangat berkecukupan. Begitu pun ketika Khalifah Al-Mutawakkil memberinya uang bulanan sebesar 4000 dirham atau senilai 160 juta rupiah untuk mencukupi kebutuhan Imam Ahmad dan keluarga. Uang itu ia tolak.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Wahai paman, berapa tahun lagi sisa umur kita? Kenapa kau lakukan ini? Sesungguhnya, anak-anak kami hanya makan bersama kami dalam masa yang sangat sebentar. Seandainya Allah membukakan tirai penglihatan manusia, maka ia akan tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka akan bersabar sebentar untuk mendapatkan balasan pahala yang panjang. Sesungguhnya, semua ini adalah fitnah.”
Ketika Ahmad bin Hambal menghadiri sebuah taklim, beberapa muridnya telah menyiapkan karpet dan bantal untuk beliau duduk. Imam Ahmad bertanya, ”Kenapa kalian perlakukan aku seperti ini? Singkirkan karpet dan bantal ini.” Dan, beliau merasa lebih nyaman duduk di atas tanah seperti hadirin yang lain.
Imam Ahmad bin Hambal pernah tidak mau masuk rumahnya. Hal itu setelah ia tahu kalau anaknya yang bernama Abdullah menerima bantuan dari pemerintah untuk memugar rumah beliau. Begitu pun ketika beliau sakit. Ulama penulis kitab Al-Musnad ini tidak mau mencicipi bubur dari anaknya yang bernama Shaleh, setelah ia tahu kalau anaknya menerima uang bantuan dari pemerintah.
Allah swt. menguji ulama yang luar biasa ini dengan empat rezim. Mereka adalah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tashim bin Al-Makmun, Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil. (bersambung)
([email protected]/Min ’Alam As-Salaf