Setelah ujian penyiksaan, fitnah, dan penjara dialami Imam Ahmad bin Hambal dari tiga khalifah secara berturut-turut sukses dilalui dengan kesabaran; ujian bentuk lain pun sudah menanti. Dan justru, ujian dari khalifah yang baru ini lebih berat dirasakan Imam Ahmad ketimbang ujian-ujian sebelumnya.
Setelah meninggalnya Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim, kekhalifahan pun dipegang oleh Al-Mutawakkil bin Al-Mu’tashim. Seorang khalifah yang pemahaman akidahnya sangat berbeda dengan para pendahulunya.
Al-Mutawakkil melarang seluruh penduduk, siapa pun mereka, untuk memperdebatkan atau membicarakan soal Alquran adalah makhluk. Beliau pun membebaskan seluruh ulama yang sempat masuk penjara karena fitnah dari para khalifah pendahulunya. Sebaliknya, mereka yang sebelumnya disebut sebagai ulama yang mengobarkan fitnah bahwa Alquran adalah makhluk, dipenjara seumur hidup. Dan, harta yang mereka dapatkan dari kekhalifahan sebelumnya disita tanpa syarat.
Para ulama ahlul hadits yang akhirnya mendapat pembebasan bukan saja dibebaskan tanpa syarat, tapi juga dipersilakan dan difasilitasi khalifah untuk melakukan dakwah dan taklim kepada seluruh warganya. Mereka yang pernah dipenjara pun mendapat permohonan maaf dan penghormatan secara khusus dari Khalifah. Termasuk Imam Ahmad bin Hambal.
Khalifah Al-Mutawakkil mengirim surat kepada Gubernur Baghdad untuk mengantar Imam Ahmad bin Hambal menemuinya di istana kekhalifahan.
Salah seorang putera Imam Ahmad, Abdullah, menceritakan bahwa utusan Al-Mutawakkil datang untuk menyampaikan surat undangan. Utusan itu memberitahukan bahwa khalifah sangat mengharapkan kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya.
Kemudian, berangkatlah iring-iringan utusan Khalifah yang mengantarkan Imam Ahmad berserta keluarga ke istana Mutawakkil. Sambutan meriah pun diberikan kepada Imam Ahmad. Bahkan, Mutawakkil mengucapkan sebuah kalimat kepada ibunya di saat kedatangan Imam Ahmad. “Wahai Ibunda, saat ini, rumah kita menjadi sangat bercahaya dengan kedatangan Imam Ahmad.”
Selain sambutan yang begitu meriah, Al-Mutawakkil menghadiahkan Imam Ahmad dengan berbagai fasilitas. Mulai dari uang dirham, baju kebesaran, dan lain-lain.
Imam Ahmad tidak memberikan reaksi apa pun dengan sambutan dan berbagai hadiah itu. Lama ia terdiam. Kemudian, tiba-tiba ia menangis. Seluruh yang hadir pun terkejut mendapati reaksi di luar dugaan dari Imam Ahmad.
Imam Ahmad saat itu mengatakan, ”Enam puluh tahun aku diuji dengan berbagai penderitaan. Tapi kini, di penghujung usiaku, engkau uji aku dengan yang ini.” Tak satu pun dari hadiah-hadiah itu yang disentuh Imam Ahmad.
Beberapa waktu berlalu setelah pertemuan itu, Al-Mutawakkil mengirim tunjangan bulanan kepada Imam Ahmad. Tapi, setiap kali utusan khalifah menyampaikan itu, setiap kali itu pula hadiah ditolak Imam Ahmad. Hingga akhirnya, Al-Mutawakkil menulis surat.
Surat itu berbunyi, ”Jika hadiah uang ini tidak diterima oleh Imam Ahmad, biarlah uang ini disedekahkan Imam Ahmad kepada orang lain yang berhak, walaupun tidak bersisa sedikit pun untuk beliau.”
Selain uang, Al-Mutawakkil juga mengirimkan berbagai makanan istimewa termasuk buah-buahan yang dikhususkan buat Imam Ahmad. Tapi, tak sedikit pun dari kiriman itu yang disentuh Imam Ahmad.
Al-Mutawakkil tidak putus asa untuk memberikan hadiah kepada Imam Ahmad. Melalui anak beliau yang bernama Shaleh bin Ahmad bin Hambal, Al-Mutawakkil memberikan rumah khusus yang dinilai layak untuk ditinggali Imam Ahmad.
Shaleh tidak berani menolak pemberian tulus seorang Khalifah. Dan justru, inilah konflik yang terjadi antara Shaleh dengan ayahnya. Setelah mengetahui anaknya menerima pemberian rumah, Imam Ahmad berkata kepada Shaleh, ”Kalau kamu menerima hadiah itu, maka putuslah hubungan antara aku dengan kamu.” Sejak itu, Imam Ahmad tidak pernah masuk ke rumah yang akhirnya ditinggali anaknya itu. Ia tetap tinggal di rumah lamanya yang sangat sederhana.
Begitu pun dengan anak Imam Ahmad yang lain, Abdullah. Melalui Abdullah, Al-Mutawakkil mengirimkan uang bulanan untuk dihadiahkan kepada Imam Ahmad, khususnya untuk membeli makanan-makanan yang layak dan bergizi. Tapi justru, sejak anaknya menerima hadiah dari Khalifah, Imam Ahmad tidak mau mencicipi makanan yang diberikan dari puteranya itu. Walaupun di saat beliau sedang sakit.
Namun, semua itu tidak membuat Imam Ahmad putus kontak dengan Khalifah. Beliau tetap memberikan jawaban dan pengarahan kepada Khalifah. Bahkan, hampir tidak satu pun kebijakan dari Al-Mutawakkil kecuali setelah mendapatkan persetujuan dan pengarahan dari Imam Ahmad.
Seorang murid beliau pernah meminta nasihat dari Imam Ahmad. Beliau mengatakan, ”Seorang ksatria adalah mereka yang berani meninggalkan tuntutan nafsu karena landasan takwa.”
Imam Ahmad pun pernah menyampaikan nasihat, ”Arahkanlah hidupmu untuk selalu mencari balasan akhirat. Sedikit yang kamu peroleh dari dunia, maka sedikit pula hisabmu di akhirat.”
Imam Ahmad bin Hambal meninggal dunia di usia 77 tahun. Beberapa karya besar yang beliau wariskan untuk umat ini begitu tidak ternilai. Di antaranya, Kitab Al-Musnad yang memuat 30 ribu hadits, Kitab At-Tafsir yang memuat 120 ribu hadits, An-Nasikh wal Mansukh, At-Tarikh, Hadits Syu’bah, Al-Muqaddam wal Mutaakhar fil Quran, dan lain-lain. ([email protected])