Muhammad as Syaibani bin Hambal. Lahir di masa pemerinyahan Muhammad al Mahdi, dinasti Bani Abbasiyah, bulan Rabiul Awwal 164 Hijriyah (780 Masehi). Keadaan kecilnya tak banyak beda dengan Imam Syafei, yatim.
Di antara empat Imam madzab, beliau tergolong bungsu dan terakhir. Sudah menjadi sunatullah, setiap orang besar dan berderajad tinggi di sisi Allah, niscaya mendapatkan ujian berat. ujian itu sengaja turun dari hadirat-Nya, untuk manusia, supaya terbukti di tengah khalayak, apakah ia loyang atau emas. Jika emas, sekalipun tersuruk di comberan, ia akan tetap sebagai emas yang kemilau.
Ujian yang menimpa Imam Hambali tergolong berat, dan jarang yang menyepadani. Ujian itu bermula dari seorang ulama rasionalis, bernama Basyar al Marisy. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an itu termasuk makhluk. Waktu itu kekhalifahan Bagdad di pegang oleh baginda Harun al Rasyid. Pendapat itu ditentang oleh baginda, karena sangat berbahaya bagi aqidah dan meresahkan. Beliau sempat mengancam, kataya, “Sekiranya Allah memberikan panjang usiaku dan aku sempat bertemu Basyar, niscaya ia akan aku hukum bunuh dengan pembunuhan yang tak pernah aku jatuhkan atas orang lain.”
Kemudian Syekh Basyar al-Marosy lari menyembunyikan diri selama 20 tahun. Baru sepeninggal Harun al rasyid, Syekh Basyar berani menampakkan diri dan menyiarkan pendapatnya di tengah masyarakat ramai, bahwa al-Qur’an itu sesungguhnya makhluk. Orang pun ramai memperbincangkan masalah itu. Baginda al Amin selaku pengganti Harun al Rassyid masih bisa meredam gejolak yang timbul. Ia masih meneruskan usaha syahadatnya dan masih memberikan ancaman berat kepada orang yang sependapat dengan Syeikh Basyar.
Setelah jabatan jatuh ke tangan Baginda al Ma’mun, kebijaksanaan pemerintah Bani Abbasyiah berubah drastis. Golongan mu’tazillah mendapat lampu hijau dan dukungan dari belia. Pemikiranpemikiran mereka mulai banyak berpengaruh dalam menentukan kebijaksaan pemerintah. Termasuk juga pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk (barang yang diciptakan oleh Allah).
Baginda al Mukmin terpengaruh berat dan beliau berusaha agar pendapat itu diakui oleh seluruh rakyatnya. Beliau menginginkan keyakinannya itu mendapatkan dukungan yang luas, utamanya dari para alim ulama. Tindakan baginda terlalu jauh. Beliau malah memerintahkan kepala intelejen agar mencatat siapa-siapa di kalangan ulama yang berani berbeda pendapat dengan pemerintah. Mereka niscaya akan masuk black list) (daftar hitam).
Ulama besar yang berani lantang mengatakan bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk ialah Imam Hambali. Beliau menegaskan bahwa al -Qur’an kalamullah (firman Allah), bukan makhluk.
Saat itu juga Imam Ahmad dipanggil menghadap, bersama tiga ulama yang lain, yaitu Imam Muhammad bin Nuh, Imam Ubaidilah bin Umar dan Imam Hasan bin Hammad. Kedua orang yang belakangan tatkala ditanya, menyatakan sependapat dengan pemerintah. Sedang Imam Hambali an Imam Muhammad bin Nuh tetap pada pendiriannya.
Berbeda pendapat dengan pengusasa berarti menentang negara. Menentang negara berarti mengganggu stabilitas. Oleh karena itu perlu diamankan, alias dipenjarakan.
Sementara Imam Hambali dan kawannya mendekam dalam penjara, ada permintaan melalui surat dari orang-orang yang tak suka kepada keduanya, agar mereka diarak ke kota Tharsus. Pada suatu hari, permintaan tersebut dikabulkan oleh penguasa. Kedua Imam tersebut diikat dengan rantai dan dibawa ke kota Tharsus disaksikan orang banyak. Berikutnya dimasukkan penjara lagi.
Maimmun bin al Ashbagh berkisah, “Saya datang menghadiri majelis pengadilan negara yang akan memeriksa perkara Imam Ahmad. Di majelis pengadilan terlihat pedang-pedang telah dihunuskan, tombak-tombak telah dicadangkan, panah-panah telah dibusurkan, dan cambuk cemeti siap dilepaskan untuk Imam Ahmad. Datanglah baginda al Ma’mun, lalu duduk di atas kursi yang telah tersedia di balai persidangan. Imam Ahmad dipanggil menghadap, baginda berkata, ‘Atas nama saya sebagai kerabat Rasulullah saw saya akan memukul engkau dengan cemiti sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau engkau menyatakan seperti apa yang saya katakan.'”
Kepada algojo tukang pukul baginda berkata, “Ambillah orang itu dan pukullah.” Algojo melaksanakan perintah dengan cekatan. Imam Hambali diseret lalu dipukul dengan cemeti. Pukulan pertama telah mengenai sasaran. Beliau tenang tanpa sesambat, dan berucap lirih, “bismillah”. Pukulan cemeti kedua beliau mengucapkan kata “La qaula wala quwwata illabillah”. Pada getaran cambuk yang ketiga dengan lantang beliau berguman, “al Qur’ab kalamullabi ghairu makhluqin.”
Kemudian pada pukulan cemeti yang keempat beliau sempat dendangkan kalam Ilahi “Qul lan yushibana illa ma kataballah lana”(9:51).
Algojo tukang pukul kerajaan itu tak sedikitpun merasa iba. Ia terus-menerus mengayunkan cemetinya ke sekujur tubuh mulia Imam Ahmad. Terhitung 29 kali cambukan menimpanya. Sekujur tubuh beliau berlepotan darah segar. Betapa sakitnya. Itukah yang meski kau bayar demi mempertahankan sebuah keyakinan yang haq indallabi?
Di kala itu juga tali celana yang beliau pakai putus terkena sabetan cambuk. Nyaris aurat beliau terbuka. Beliau merasakan hal itu. Dalam suasana sepedih itu beliau masih sempat berpikir bagaimana jika auratnya terbuka. Bukankah hal itu kurang berkenan di hadirat Allah? Untuk membenahinya jelas sulit, maka beliau tiba-tiba mengangkat tangan dan melepaskan pandangan matanya ke arah langit, sembari komat-kamit menggerakan bibir menyuarakan kalimat do’a. Seketika celana melorot yang hampir lepas itu kembali seperti sedia kala. Aurat pun terselamatkan dari musibah malu di muka orang. Sesudah hukum cambuk dirasa cukup, maka beliau dibawa masuk ke dalam penjara lagi dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Berselang beberapa bulan berikutnya baginda al Ma’mun wafat. Sebelum wafat, beliau berpesan agar kebijaksanaan dan pendiriaanya terhadap al-Qur’an tetap diteruskan oleh penggantinya. Siapa saja, tak peduli alim ulama, jika melawan, harus didera dan dipenjarakan. Terhadap Imam Hambali, selama belum bergeming, masih harus mendekam dalam penjara dan dihukum berat.
Pesan al Ma’mun yang sejelek itu oleh penggantinya, al Mu’tashin, dilaksanakan dengan baik. Imam Hambali mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana sebelumnya. Suatu hari beliau dipanggil menghadap baginda. Imam Ahmad diminta beradu argumentasi dengan sejumlah ulama pemerintah. Di antaranya bernama Ahmad bin Abi Daud, ketua majelis ulama kerajaan yang dipandang paling pandai dan berbobot dalam keilmuan. Seorang ulama yang fatwanya selalu mendukung kebijaksanaan kerajaan. Dalam perdebatan itu Imam Ahmad berpenampilan tenang, tak mengada-ada. Beliau gagah dan berdiri kokoh di atas dasar kebenaran yang selalu berpihak kepada Allah swt. Tak ada sedikitpun terlintas di raut wajahnya ambisi memenangkan perdebatan. Sebab beliau yakin, kebenaran akan kelihatan sekalipun penguasa dunia berusaha mengebirinya. Kebenaran selalu bersandar kepada Sang Sumber kebenaran itu sendiri, Allah swt. Satu demi satu argumentasi Ahmad bin Abi Daud dipatahkan dengan telak dan meyakinkan. Namun demikian dasar penguasa dzalim, al Mu’tashim tetap bersikukuh hendak memaksakan pendapatnya.
Imam Hambali sebagai alim ulama besar dan arif yang memegang Qur’an dan Sunnah dengan tegasnya mengemukakan jawaban kepada baginda al-Mu’tashim, “Wahai amirul mu’minin, berikan dan ajukanlah kepadaku suatu alasan yang terang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, biar nanti aku sadar dan insaf, lalu aku ikut mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Bagaimana aku harus mengikuti pendapat dan pendirian orang lain yang tidak didasari alasan yang benar?”
Imam Hambali tetap meringkuk dalam penjara sampai matinya baginda al Mu’tashim. Yang menggantikan dan pemegang tampuk kekuasaan untuk selanjutnya anak mahkotanya sendiri yang bernama al Warsiq billah. Perlakukan kepada Imam Hambali tak mengalami perubahan sedikitpun. Imam masih juga dibiarkan menghuni penjara samapi al Watsisq wafat.
Demikianlah secara berlarut-larut yang mulia Imam Hambali menempati rumah tahanan. Terkadang di penjara beliau mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Pernah beberapa kali punggungnya didorong dari belakang dengan tongkat kayu, bahkan pernah dengan pedang dan sebagainya. Beliau sering jatuh terjerembab di lantai saat didorong-dorong. Maklum usia beliau waktu itu sudah lanjut. Biasanya beliau jatuh pingsan jika sudah begitu. Badan beliau tidak memungkinkan menanggung beban hukuman berat seperti itu. Badannya mulai rapuh dimakan usia. Hanya aqidah dan pendiriannya tak pernah rapuh. Bagai batu karang keras yang seolah tak bergeming sama sekali saat ombak ganas menerpa.