Betapa, sekarang kita menyaksikan umat, yang tak lagi memiliki ghirah (kecemburuan ), seakan menjadi hamba yang tak mengenal akan Rabbnya.
Maka, ketika din (agamanya) diperangi, dihinakan, dilecehkan, didustakan oleh orang-orang kafir, tak sedikitpun ada ghirah dalam diri mereka.Hati, pendengaran dan mata mereka tertutup. Sehingga, tidak ada rasa keinginan melawan, memusuhi orang-orang kafir, yang terang-terangan telah memusuhi Allah, Rasulnya, dan Kitabnya.
Ghirah adalah kecemburuan yang berakar dari agama, atau ketersinggungan, karena agamanya didurhakai yang ada dalam hati seseorang. Ghirah merupakan unsur jiwa untuk menjaga kehidupan dan keshalihan hati.
Ia seperti energi panas yang bersifat naluriah untuk menjaga keberlangsungan kehidupan jasad manusia. Energi panas itulah yang mampu membakar dan mengeluarkan semua kejahatan dan sifat-sifat tercela . Ibaratnya, api menyepuh yang membuang kotoran-kotoran barang tambang, seperti besi, emas, perak, dan lainnya. Manusia yang paling mulia dan paling tinggi harga diri dan cita-citanya adalah mereka yang paling kuat ghirahnya, baik terhadap diri, oran terdekat, dan manusia umumnya.
Manusia yang tidak memiliki ghirah tak akan mampu lagi menjalani kehidupan dengan benar. Kehidupan akann selalu ‘talbiz’ dengan kebathilan. Tak jelas lagi posisinya dalam kehidupan. Karena, tidak memiliki keberpihakan atas peristiwa-peristwa yang terjadi dalam kehidupan ini. Padahal, seorang dapat memiliki sifat dan sikap sidik, amanah, saja’ah, tadhiyah, zuhud, dan wara’ adalah buah dari adanya ghirah yang ada dalam diri manusia.
Maka, manusia yang sudah hilang ghirahnya, nilainya hidupnya tidak mempunyaii apa-apa. Adanya sama dengan tidak adanya. Ibaratnya, seperti ‘mayat’, karena tak merasakan apa-apa, ketika berbagai fenomena penyimpangan, penyelewengan, kesesatan , dan kedustaan terhadap agama (din Islam), hatinya tak pernah tersentuh dan menjadi marah.
Kehidupan kaum jahiliyah diabad ini, hanyalah menampilkan sosok-sosok manusia,yang tanpa ghirah, dan tak memiliki wala’ yang kokoh terhadap Rabbnya. Mereka menjadikan ‘ilah-ilah’ selain dari Rabbnya sebagai sesembahan.
Tak heran, banyak sosok manusia yang mengejar kehidpan dunia, seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an (al-Imran : 14). Sehingga, mereka terperosok ke dalam lembah kehinaan. Sosok manusia seperti itu adalah tipe manusia yang hanya menjadikan kehidupannya untuk mencapai kenikmatan dunia, yaitu : “ Bersenang-senang dan makan, yang mirip binatang ternak”. (Yatamatta’un wa ya’kullun kal an ‘aam – al-Qur’an: Muhammad : 12). Inilah tipe masyarakat jahiliyah di abad modern. Mereka, sekarang menghadapi krisis dalam kehidupan mereka, krisis yang sangat hebat, dan menjadikan manusia yang paling hina.
Kehidupan kaum jahiliyah modern di abad ini, hanyalah menampilkan soso-sosok manusia, yang tidak memiliki sikap bara’ terhadap segala macam bentuk kekufuran. Tidak ada sikap ‘yakfur bithaghut’ (penolakan terhadap segala bentuk pengkhianatan terhadap Rabbnya), seperti perbuatan syirik, bersahabat dengan manusia yang berperilaku buruk, bersahabat dengan musuh-musuh Allah, menjadikan musuh-musuh Allah sebagai sahabatnya, berlaku nifaq, dan sikap sombong.
Inilah yang menjadikan sosok-sosok manusia di abad ini, terjerumus ke dalam kekacauan, dan berbagai perbuatan yang merusak dan menghancurkan kehidupan mereka. Karena, kehidupan mereka dipenuhi dengan segala bentuk kedurhakaan terhadap Rabbnya. Malapetaka yang kini menyeret manusia ke dalam lembah kenestapaan dan kesengsaraan, tak lain adalah pilihan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
Kumpulan manusia yang tanpa ghirah ini, berkumpul dan berkerumun ditempt-tempat yang mereka ciptakan sendiri, dan terus bertambah banyak, yang akhirnya akan dihancurkan oleh Allah Azza Wa Jalla, seperti yang sudah dikisahkan dalam al-Qur’an oleh umat terdahulu. Semua ini akibat tidak adanya lagi ghirah di dalam diri umat itu.
Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam adalah manusia yang paling kuat ghirahnya, diantara umatnya, sedangkan Allah Ta’ala jauh lebih kuat dibandingkan dengan ghirah Rasulullah. Seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhori, beliau bersabda : “ Apakah kalian kagum dengan ghirahnya Sa’at? Sungguh aku lebih kuat ghirahnya, ketimbang Sa’at dan Allah jauh lebih kuat ghirahnya dari pada aku”, ucap Rasulullah shallahu alaihi wa salam.
Dalam hadist lain, ketika Beliau khutbah shalat gerhana matahari, Beliau bersabda : “ Wahai umat Muhammad, tidak ada yang lebih tersinggung (ghirah) melebihi Allah, ketika seorang hamba laki-laki dan perempuan berzina”. Dalam hadistnya yang lain, Baginda Rasulullah shallahu alaihi wa salam bersabda : “ Tidak ada yang lebih tersinggung (lebih kuat ghirahnya) melebihi Allah Azza Wa Jalla, karena itu, Ia mengharamkan hal-hal yang keji yang tampak dan yang tersembunyi.
Dan tidak seorang pun yang lebih mencintai alasan suatu perbuatan (udzr) melebihi Allah. Oleh karena itu, Ia mengutus para Rasul untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan (sebagai alas an bagi Allah untuk meminta pertanggungjawaban mausia). Tidak ada seorangpun yang lebih mencintai pujian melebihi Allah, karena itu, Ia senantiasa memuji diri-Nya”.
Hadist Rasulullah memberikan ibrah (pelajaran) ini menyatukan antarra ghirah yang akarnya kebencian terhadap segala bentuk keburukan dari orang-orang yang memusuhi al-haq, Allah, Rasul, dan Kitabnya. Dua hal ini, mengharuskan sebuah konsekuensi kesempurnaan keadilan, kasih saying, dan perlakuan yang baik oleh manusia.
Kehancuran hari ini disebabkan umat dan para pemimpinnya sudah kehilangan ghirahnya. Sehingga, tidak ada lagi ‘furqan’ antara yang haq dan yang bathil. Semuanya, menjadi talbiz, campur aduk, tidak jelas lagi kehidupan umat, sehingga kemasiatan ada di mana-mana, tanpa merasa berdosa. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran umat.
Ingatlah Allah mengadzab kaum Yahudi, karena diantara mereka tidak ada saling menasehati, dan bahkan menjadikan rahib-rahib sebagai sesembahan dan berlaku berlaku bathil. (al-Qur’an : at-Taubah:31)
Mereka lebih suka bermaksiat terhadap Allah Azza Wa Jalla, dibandingkan dengan beribadah menyembahnya.Aisyah Radhiyallahu ‘anha bersaksi, betapa Rasulullah shallahu alaihi wa salam, di malam hari, tak pernah berhenti beribadah, meskipun Beliau adalah ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa). Sedangkan umat dan para pemimpin di zaman jahiliyah ini, banyak ma’siyat dan dosa, tapi sangat sedikit beribadah. Wallahu ‘alam.