Sebuah kisah yang sangat mengharukan. Mengharukan bagi siapa saja, yang masih memiliki setetes iman. Hanya setetes iman, itu sudah cukup untuk memahami perubahan kehidupan yang terjadi. Peristiwa yang penuh dengan keniscayaan.
Adalah Abdul Hamid bin Muhammad mendengar Muhammad bin As-Sammak berkisah, “Sesungguhnya Musa bin Sulaiman Al-Hasyimi adalah anak muda paling kaya, dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya. Dia selalu mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati berbagai macam kelezatan, dalam makanan, minuman, pakaian, wewangian, dan dayang-dayang yang cantik. Sulaiman, tak pernah lepas dari pikirannya, bagaimana menikmati kelezatan hidup.
Musa merupakan pemuda yang tampan, wajahnya bulat seperti rembulan, jernih, putih kemerah-merehan, dan rambutnya hitam legam, hidungnya mancung, matanya bercelak sangat hitam dan lebar, seperti mata kijang, dan mampu menyihir orang yang memandangnya. Kelopaknya tinggi, kedua alisnya sejajar, bagaikan dilukis dengan pensil alis, mulutnya mungil, kedua bibirnya tipis, gigi seri putih cemerlang, lisahnnya fasih, bicaranya manis, suaranya lembut, dan memang dia mendapatkan nikmat dari Allah yang sempurna.
Penghasilannya dari perkebunan dan ladangnya setiap tahunnya berkisar tiga juga dirham. Semua kinikmatan ini berlanjut, tanpa pernah putus, sehingga membuatnya terpesona akan dirinya sendiri. Masa mudanya dan dunianya yang dapat memenuhi semua yang yang diinginkannya.
Musa mempuyai balkon yang tinggi tempat dia duduk di waktu sore sambil mengawasi orang-orang dibawahnya. Balkon itu mempunyai beberapa pintu yang menghubungkan jalan raya dan beberapa pintu yang menghubungkan ke perkebunannya. Selain itu, dipasang kubah gading gajah yang dibubut dan dilapisi dengan perak dan emas, lalu ditutup dengan kain tenun berwarna hijau dan dilapisi dengan kain sutera yang halus.
Dari atas kubah itu, digantungkan rantai yang diuntai dari permata dan intan, serta disinari dengan batu yakut merah, batu zabarjad (sejenis zamrud) hijau dan batu akik berwarna kuning. Masing-masing permata itu sebesar buah kenari. Pada masing-masing pintu diberi tenda yang ditenun dengn benang emas, dan di sekitar kubah itu diletakkan tiga puluh lilin yang dipasang di tiga puluh tempat lilin yang terbuat dari perak.
Sedangkan berat masing-masing lilin perak itu senilai seribu dirham,dan di setiap lima tempat lilin perak terdapat seorang pelayan yang berdiri memegang pemotong dari emas seberat seratus miskal. Para pelayan itu memakai pakaian warna-warni dan ikat pinggang yang ditaburi dengan batu permata. Di setiap pintu bagianlluar dari jendela digantungkan lampu-lampu yang diikat dengan rantai dari perak dan minyaknya terbuat dari air raksa murni.
Musa berada diatas tempat tidur memakai pakaian dalam yang ditenun garis-garis, kepalanya dihiasi dengan mahkota. Dia ditemani oleh beberapa orang kerabatnya, dan tempat pembakar dupa dipasang untuk mendatangkan asap yang harum. Di dekat kepala berdiri para pelayan yang memegang kipas dan tempat air, para penyanyi wanita berada di depannya, sambil menyanyikan lagu-lagu, yang meninakbobokkannya.
Tak pernah ketinggal dayang-dayang yang sangat cantik, tak beranjak dari tempat tidurnya. Dia terus bermain dengan teman-temannya, tak pernah melaksanakan shalat. Menikmati permainannya dengan dadu, dan minum-minum, tak sedikitpun mengingat kamatian, dan sepanjang hari, siang dan malam, hanyalah tertawa-tawa, penuh dengan kegembiraan, sambil mendengarkan cerita-cerita yang lucu, terkadang konyol.
Suatu ketika Musa ditengah malam, dia mendengarkan suara yang aneh, lalu menyuruh pembantunya mencari suara itu. Suara itu mampu menggelitik hatinya. Diatas kubahnya itu, Musa melihat keluar, dan ingin mendengarkan suara-suara yang menyentuh hatinya itu. Ternyata suara itu datang dari pemuda yang kumal, bernama Kamal, yang badannya kurus, berleher kecil, berkaki kuning, bibirnya kering, rambutnya acak-acakan, perutnya menempel ke punggungnya kempis kurang makan, memakai dua helai pakaian yang sudah usang dan tidak memakai alas kaki.
Pemuda kumal itu berdiri pada salah satu sisi masjid sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka para pelajan Musa mengeluarkan dari masjid, dan membawanya pergi tanpa mengatakan apapun kepadanya sampai dihadapan Musa. Maka, Musa memandangnya, seraya berakata, ‘Siapa ini?”, tanyanya. “Pemilik alunan suara yang anda dengar tadi”, jawab pelayan. “Di mana kalian menemukannya?”, tanya Musa “Di masjid sedang berdiri bersembahyang dan membaca do’a”, jawab pelayan itu. Kemudian, Musa bertanya kepada pemuda itu, “Wahai pemuda, apa yang kau baca?”, tanya Musa. “Perdengarkan aku dengan suara alunanmu”, kata Musa.
Maka pemuda itu mengalunkan suaranya, “Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) diatas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minuman khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi, danuntuk yang demikian itu hendaknya orangt berlomba-lomba. Dan, campuran khamar murni itu adalah dari tasnim, (yaitu) mata air yang minum daripadanya orang-orang yang didekatkan kepada Allah”. (Al-Qur’an :88 ;22-28)
Kemudian, pemuda yang kurus dan lusuh itu berkata, “Wahai orang yang terlena, sesungguhnya kenikmatan surga itu berbeda dengan kediaman, balkon dan pembaringanmu itu. Sesungguhnya pembaringan di surga itu adalah dipan-dipan yan digelari dengan permadani yang terangkat tinggi terbang”, ucap pemuda itu. Selanjutnya, pemuda itu menambahkannya, “Wali (kekasih) allah akan memperoleh kehormatan dari surga itu atas dua mata air yang mengalir dari dua surga”, tambahnya.
Mendengar alunan suara (ayat-ayat al-Qur’an) itu, lalu Musa memeluk pemuda yang kurus dan lusuh itu, sambil terus menangis yang tiada henti-hentinya. Besok paginya ia melaksanakan tobatnya. Musa al-Hasyimi terus di masjid, sambil beribadah, tiada putus menangis, menyesali dirinya yang penuh dengan dosa dan maksiat, serta tak pernah mengingat Rabbnya. “Wahai Tuhanku, aku tidak pernah mempertahikan-Mu dalam kesunyianku. Wahai Tuhanku, syahwatku telah tiada dan tinggallah kini pertanggungjawabanku. Mak neraka Wail bagiku pada hari aku bertemu dengan Mu, nereka Wail karena hari-hari ku penuh dengan kejahatan dan kesalah-salahan”, tangisnya.
Keesokan harinya seluruh harta bendanya, yang dia miliki dijual, berupa emas, perak, permata, pakaiannya, perkebunan, ladang, serta budak-budaknya yang cantik-cantik, semuanya dijualnya, dan hasilnya disedekahkan seluruhnya kepada fakir miskin.
Lalu, diakhir hidupnya yang sudah miskin itu, ia pergi haji dengan berjalan kaki, tanpa alas kaki, berjalan kaki menelusuri padang pasir yang panas terik, sebagai bagian dari penebus dosanya. Ia pergi ke Makkah, hanya berjalan kaki, tanpa alas. Sungguh, tak ada bandingnya penyesalan atas dosanya itu. Sampailah Musa di kota Makkah. Dan, setiap hari ia hanya beribadah dan memohon ampun kepada Allah Azza Wa Jalla, sambil mengilingi Ka’bah. Di waktu malam ia terus mengelilingi Ka’bah, dan masuk ke Ijir Ismail, seraya mengucapkan tobatnya :
“Ya Rabb, Engkau mengetahui segala perbuatanku. Ya Rabb, kepada siapakah aku lari, kecuali hanya kepada Mu. Dan, kepada siapakah aku berlindung, kecuali hanya kepada Mu. Ya Rabb, sesungguhnya aku memang tidak layak mendapatkan surga Mu, namun aku memohon dengan kedermawanan Mu dan kemuliaan Mu, agar sudilah Engkau mengasihiku dan memaafkanku”, tangis Musa. Sambil ia terduduk di depan Ka’bah.
Wajahnya penuh dengan kerut, seakan sudah sangat tua, dan hidupnya selalu dipenuhi dengan kepedihan mengingat dosa di waktu muda itu. Di saat munajatnya, yang dengan hati yang tulus itu, Musa al-Hasyimi kembali kepada Rabbnya. Wallahu ‘alam.