Islam menjadikan seorang budak menjadi mulia. Tidak ada agama yang dapat memuliakan budak, kecuali Islam. Orang yang mula-mula hina menjadi mulia. Islam telah mengubah kehidupan. Islam telah menjadikan sesuatu yang hina menjadi mulia.
Inilah yang terjadi di jazirah Arab, sesudah datangnya Islam. Mereka yang dahulunya terhempas dalam kehinaan, kemudian meninggalkan kehidupan masa lalunya bersama Islam, dan mendapatkan sesuatu yang tidak pernah didapatkan sebelumnya, kehormatan dan kemuliaan.
Lelaki budak itu berniat ingin menyempurnakan agama, sesudah ia dibebaskan oleh majikannya Anas bin Malik radhillahu anha, dan ini merupakan dambaannya yang telah lama dipendamnya. Ketika majikannya Anas membebaskannya, tak ayal lagi, ini merupakan hari, di mana ia akana merasakan kehidupan baru. Lelaki itu ahli pembuat periuk.
Lelaki budak, yang bernama Sirin, menjatuhkan pilihan budak wanita Abu Bakar Ash-Siddiq yang bernama Shafiyah. Sirin ingin menjadikan Shafiyah menjadi pendamping hidupanya. Shafiyah yang menjadi budak Abu Bakar Ash-Siddiq, wanita muda yang memiliki wajah yang cantik, dan nampak cerah. Wanita itu sangat baik hati, dan disayangi penduduk Madinah, yang rata-rata mengenalnya. Gadis-gadis lainnya dan orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama, bahwa Shafiyah adalah seorang wanita yang cemerlang dan berbudi luhur.
Ketika hari telah direncanakan, kemudian Sirin menghadap Khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq, dan mengutarakan keinginannya untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar menyelidiki lelaki yang ingin meminang Shafiyah. Khalifah layaknya seorang ayah terhadap putrinya sendiri. Tidak aneh kedudukan Shafiyah ini, di mata Abu Bakar sama dengan putrinya sendiri.
Disamping Abu Bakar merasa bahwa Shafiyah adalah amanah Allah yang harus dijaganya. Maka Khalifah Abu Bakar meniliti dengan sangat cermat terhadap lelaki itu.
Maka, suatu ketika, Abu Bakar meminta pendapat Anas bin Malik ra. Ketika ditanya, Anas menjawab, “Nikahkanlah ia dengan budakmu wahai Amirul Mukminin, dan janganlah Anda mengkawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya melainkan bahwa dia seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain lyang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat beruntungkan mendapatkan dia”, ujar Anas.
Akhirnya Abu Bakar Ash-Siddiq menikahkan Shafiyah dengan Sirin, dan kemudian diselenggarakan walimah pernikahan seperti halnya walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat langka dinikmati oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.
Pernikahan Sirin dengan Shafiyah itu disaksikan oleh banyak Shahabat utama, diantaranya terdapat 18 shahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka’ab penulis wahyu Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam diminta untuk mendoakannya sementara hadirin mengamininya.
Pengantin wanita dirias oleh tiga ummahatul mukminin untuk suaminya. Diantara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua puluh tahun kemudian menjadi satu diantara ulama yang tersohor, dan dialah Muhammad bin Sirin.
Muhammad bin Sirin yang menginjak remaja, ketika itu mendapati masjid Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, dipenuhi dengan para shahabat dan tokoh thabi’in, seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Husien, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Abu Hurairah. Betapa melihat banyaknya para shahabat itu, Muhammad bin Sirin sangat antusias, bagiakan orang yang kehausan melihat air yang jernih. Diserapnya ilmu-ilmu dari Kitabullah, di dalaminya masalah fiqh, dan riwayat-riwayat hadist Rasulullah.
Tak lama remaja yang mulia pindah ke Basrah, kota yang dibangun oleh al-Faruq Umar ibn Khatthab. Basrah sangat terkenal kota yang menjadi pusat pasukan Islam, tetapi juga menjadi pusat ilmu, karena banyaknya ulama yang bersama dengan pasukan Islam, dan sambil mendakwahkan agama Allah. Para ulama yang ikut dalam pasukan Islam itu, mereka mengajari para penduduk Irak, yang baru masuk Islam, dan mendidik mereka untuk mengenal Islam.
Ketika hidup di Basrah, Muhammad bin Sirin, ketika menjelang matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Basrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Al-Qur’an dengan sepenuh jiwa, sampai menangis, karena takut kepada Allah. Sampai-sampai keluarganya, tetangga, dan shahabat-shahabat merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.
Setiap kali beliau pergi ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan manusia akan kehidupan akhirat dan menjelaskan tentang hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada manusia cara mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu agar manusia menjauhkan dari kehidupan yang tamak yang akan membawanya kepada bencana.
Ketika Umar bin Hubairah al-Farazi diangkat menjadi Gubernur Irak, pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya di rumahnya yang sangat megah, dan kemudian beliau menemuinya bersama saudaranya. Sang Gubernur menyambutnya dengan sangat hormat, dan selanjutnya bertanya tentang agama dan dunia.
Umar Hubairah bertanya : “Dalam kondisi seperti apa Anda akan meninggalkan kota Basrah, wahai Abu Bakri?” Kemudian, Abu Bakri menjawab : “Akan aku tinggalkan kota Basrah, di mana kezaliman telah merajalela sedangkan Anda tak menghiraukannya”, jawabnya.
Tak hak bagi seorang mukmin yang shaleh tetap tinggal di suatu tempat di mana kezaliman merajalela, sementara itu penguasanya diam, dan membiarkan kezaliman itu, sehingga kehidupan menjadi penuh dengan fitnah dan kerusakan. Maka, jawaban Muhammad bin Sirin terhadap Gubernur Umar bin Hubairah itu, pertanda ketaqwaan seorang ulama.
Itulah seorang yang mula-mula hina sebagai budak, dan kemudian menjadi manusia yang mulia, dan menjadikan kehidupan ini terang benderang dengan ajaran Islam yang dibawanya, bahkan tidak segan-segan bersikap dengan jujur ketika berhadapan seorang penguasa. Wallahu’alam.