Oleh Syekh Abdul Hamid Al Bilali
Salah seorang tabi’in Abu Muslim Al Khaulani, pada suatu hari memasuki sebuah masjid. Ia melihat sekelompok orang berkumpul yang kelilhatannya hendak berzikir kepada Allah. Beliau ikut duduk bersama mereka. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka mengatakan,” Anakku tidak datang, rupanya ia terkena ini dan itu” dan yang lainnya berkata “ Anakku sudah menyiapkan ini dan itu.”
Seusai menatap mereka, tabi’in agung ini berkata,” Subhanallah tahukah kalian, permisalan antara diriku dan kalian? Yaitu seperti seseorang yang tertimpa hujan yang sangat lebat. Ketika ia menoleh dilihatnya dua pintu rumah yang sangat besar, lalu ia berucap, ”Sebaiknya aku masuk rumah ini hingga hujan reda”. Lalu ia masuk, ternyata rumah itu tidak beratap. Kemudian aku ikut duduk bersama kalian dan aku berharap kalian berada dalam zikir dan kebajikan, ternyata kalian adalah ashab ad-dunya pecinta dunia.
’Amalan-amalan ibadah, seperti shalat, shaum haji dan yang lainnya bagi kebanyakan orang sudah menjadi gerakan rutinitas yang biasa mereka kerjakan tanpa merasakan maknanya lagi. Betapa banyak orang yang shalat namun shalatnya tidak mampu lagi mencegah dari kekejian, kemungkaran dan kelaliman. Hal itu tidak lain karena kesibukan mengurus urusan dunia dan ambisi duniawi yang telah menguasai mereka sehingga kekhusuan tidak berbekas dalam dirinya. Selain itu karena yang ada dalam diri mereka hanya urusan duniawi semata. Mereka itu juga bicara hanya seputar dunia sekalipun mereka masih berada di masjid, pemakaman, atau rumah sakit dan tempat-tempat yang dapat mengingatkan kehidupan akhirat.
Pembicaraan manusia adalah cerminan dari ambisi yang menguasai mereka. Jika mereka ambisi pada hal-hal duniawi, maka mereka akan selalu membicarakan dunia. Sebaliknya jika orientasi mereka adalah akhirat maka pembicaraan mereka akan selalu berkaitan dengan akhirat.
Berkumpul dengan orang-orang yang berorientasi duniawi seperti itu akan dapat melemahkan hati dan membuatnya penat. Karena itu dalam biografi Abu Muslim Al Khaulani ra terdapat keterangan, “Bahwa beliau tidak mau memperhatikan orang yang selalu membicarakan urusan duniawi, bahkan beliau berpaling darinya.” (Ll)