Beliau bernama Abu Ali Al-Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud bin Bisyr At-Tamimi Al-Yarbu’i. Ulama yang senantiasa begitu akrab dengan Masjidil Haram ini dikenal dengan nasihat-nasihatnya yang begitu menyentuh hati. Matanya memancarkan cahaya keteduhan dari kedekatannya kepada Allah swt.
Ulama yang seangkatan masa hidupnya dengan Imam Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Abdullah bin Al-Mubarak ini lahir di Samarkand pada sekitar tahun 105 Hijriyah dan tumbuh dewasa di kota Abyurd, antara daerah Sarkhas dan Nasa. Setelah belajar hadits di Kufah, beliau menetap di Makkah.
Abu Ali, begitu panggilan akrab Fudhail bin Iyadh, selalu akrab dengan lingkungan Masjidil Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masyarakat sezamannya yang ingin mendapatkan nasihat dan ilmu hadits dari beliau tidak begitu sulit mencari keberadaan beliau. Di dua tempat itulah beliau selalu berada.
Ciri khas lain dari Fudhail adalah wajahnya yang menampakkan seperti bekas menangis karena kesedihan yang teramat dalam. Fudhail bin Iyadh seperti digambarkan oleh Abdullah bin Al-Mubarak, “Jika aku melihat Al-Fudhail, muncul rasa sedih dalam diriku. Kesedihan yang tiba-tiba kurasakan begitu lain dari yang lain. Aku tiba-tiba seperti benci terhadap diriku sendiri. Maka saat itu juga, aku tidak bisa lagi membendung isak tangisku.”
Apabila Al-Fudhail menyebut nama Allah, atau ada seseorang yang menyebutkannya nama Allah, atau mendengar ayat-ayat suci Alquran dibacakan seseorang, maka akan terlihat perubahan wajahnya yang tiba-tiba menampakkan kesedihan. Air matanya langsung berlinang, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terharu.
Sosok Fudhail memberikan sebuah cerminan tentang kelembutan dan kejernihan hati seseorang yang terus terpoles dengan kekhusyukan zikrullah. Hatinya begitu sensisitif dengan alunan tilawah Quran dan kekhusyukan ibadah. Tak ada respon lain dalam dirinya kecuali isak tangis yang tak lagi tertahan.
Seorang ulama yang bernama Ishaq bin Ibrahim Ath-Thabari pernah menuturkan. “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih memperlihatkan rasa takutnya kepada Allah dan tidak berharap sesuatu kepada manusia, selain Al-Fudhail. Ketika beliau membaca Alquran, dibacanya firman Allah itu dengan lambat, syahdu, dan begitu menyentuh hati. Seolah, beliau sedang berbicara dengan seseorang. Ketika beliau membaca ayat-ayat tentang surga, beliau baca ayat itu berulang-ulang, seraya memohon doa kepada Allah untuk bisa mendapatkannya.”
Seseorang pernah berkunjung kepada Al-Fudhail untuk mendapatkan nasihat. Beliau pun mengungkapkan, “Kosongkan hatimu dari yang lain kecuali rasa takut dan tangismu kepada Allah swt. Jika keduanya sudah bersarang di hatimu, maka takut dan tangis itu akan membentengimu dari melakukan maksiat dan menjauhkanmu dari api neraka.”
“Jika kamu merasa begitu berat untuk menunaikan qiyamul lail dan berpuasa di siang hari, maka ketahuilah, sesungguhnya dirimu telah terbelenggu oleh dosa dan maksiat yang kamu perbuat.”
Nasihat lain yang pernah beliau sampaikan adalah Tidak perlu dikhawatirkan seseorang jika telah berkumpul tiga hal dalam dirinya. Ia bukan ahli bid’ah, tidak mengumpat dan mencela ulama salaf, dan terakhir, tidak bersekutu dengan penguasa.
Jika malam mulai datang, Al-Fudhail bin Iyadh biasa menggelar sejadahnya untuk menunaikan qiyamul lail. Ia terus dalam keadaan shalat, hingga rasa kantuk yang tak tertahankan. Ia pun berbaring sebentar di atas sajadah itu, untuk kemudian kembali shalat. Ketika lagi-lagi datang kantuk yang tak tertahankan, ia kembali berbaring sebentar. Kemudian, ia pun kembali dalam keadaan shalat. Begitulah seterusnya, hingga datang waktu Subuh.
Ulama yang wafat di Makkah pada tahun 186 Hijriyah ini pernah menyampaikan sebuah nasihat yang begitu dalam.
”Manusia paling berdusta adalah mereka yang mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Manusia paling bodoh adalah mereka yang menunjukkan amal kebaikannya. Manusia yang paling dekat dengan Allah adalah mereka yang paling takut kepada-Nya. Manusia tidak akan sempurna sehingga agamanya mampu mengalahkan nafsunya. Dan, manusia tidak akan binasa sehingga nafsunya mengalahkan agamanya.”
[email protected]
sumber: Min A’lam As-Salaf, karya Syaikh Ahmad Farid.