Laki-laki tua itu bertepekur. Merenungi dirinya. Kehidupan panjang telah dilaluinya. Ia selalu bertanya-tanya terhadap dirinya. Masih adakah sisa kebaikan yang ada pada diriku? Ia tahu masih tak cukup ibadah dan amal shaleh yang dilakukannya. Di usianya yang sudah menginjak 90 tahun itu. Ia tetap gelisah. “Ya Rabb masih adakah kebaikan yang ada pada diriku?”, ujarnya. Ia terus melakukan muhasabah. Setiap malam menjelang tidur, ia terus merenung, sambil menitikkan air mata.
Ia tak lupa tentang hadist yang diriwayatkan Syadan bin Aus, berkata Rasululllah Saw : “Al-kayyis (sang perkasa) adalah orang yang bermuhasabah dan berbuat sesuatu amal kebaikan ntuk setelah kematian. Adapun, al-ajiz adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada hawa nafsunya, tetapi berangan-angan kepada Allah agar mendapatkan pahala”. Maka, ia selalu memeriksa dirinya, apakah ia masuk golongan al-kayyis atau golongan al-ajiz. Sepanjang waktu selalu gundah. Memikirkan dirinya. Masihkah ada kebaikan yang dapat menolong dirinya agar masuk ke dalam golongan al-kayyis. Ia tak ingin menjadi al-ajiz yang dapat mencelakakan dirinya di akhirat nanti. Kadang-kadang kebimbangan itu merasuk ke dalam jiwanya. Semuanya itu, tak lain, karena rasa takutnya terhadap Allah Azza Wa Jalla.
Ia tak lupa tentang Imam Ahmad yang meriwayatkan dari Umar bin Khaththab, bahwa ia berkata : “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Karena yang demikian itu akan lebih ringan bagi kalian besok bila sekarang kalian berhitung diri. Dan berhiaslah untuk sebuah pertunjukkan besar hari itu, karena semua akan dipertontonkan tidak ada satu pun yang tersembunyi”. Ia ingat dengan apa yang dikatakan Imam Ahmad yang meriwayatkan dari al-Hasan, yang berkata : “Tiada seorang mukmin (sejati),melainkan selalu menghisab dirinya. Adapun orang yang durhaka tidak akan mundur dari kejahatan dan tidak pula menghisab dirinya”.
Laki-laki tua lebih bertepekur lagi. Ketika, mendengar kabar, bagaimana Khalifah Umar ibn Khaththab menghukum seorang gubernur, dan seorang gubernur itu adalah ahli hadhist. Siapa ahli hadhist itu? Tak lain, adalah Abu Hurairoh. Ia diangkat Umar menjadi gubernur di wilayah Bahrain. Konon, rakyatnya melihat hidupnya menjadi kaya. Padahal, ia tak mencuri uang negara. Ia tak menggelapkan uang negara. Ia tak pernah menerima upeti. Ia tak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Ia sangat jujur. Ia kaya, karena berdagang. Tak ada kesalahan yang ia lakukan. Menurut Abu Hurairoh, ia menjalankan pemerintahan dengan benar. Berita tentang dirinya menjadi kaya sampai kepada Khalifah Umar ibn Khaththab. Mendengar khabar itu Khalifah Umar marah. Abu Hurairoh dipanggil untuk menghadapnya. Gubernur yang ahli hadhist itu menghadap Khalifah Umar. Ketika menghadap Khalifah Umar, ia nampak terbata-bata. Ia cepat menangkap bahwa Khalifah Umar marah. Rona wajahnya memerah, ketika melihat Abu Hurairoh.
“Wahai Abu Hurairoh dari mana kekayaan yang kamu miliki itu?”, tanya Khalifah Umar. “Dari usahaku berdagang Khalifah”, sahut Abu Hurairoh. “Kamu saya suruh memimpin dan menjaga rakyatmu. Bukan untuk berdagang”, sahut Khalifah Umar. “Kamu telah bersalah”, tambahnya. “Kamu saya pecat. Dan, seluruh harta yang kamu miliki aku rampas, dan menjadi milik baitulmal”, tegas Khalifah Umar. Umar takut diakhirat nanti akan dimintai pertanggungan jawaban atas apa yang ia pimpin. Maka, ia tak membiarkan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, melakukan kesalahan. Kesalahan yang dapat membuat murka Allah Azza Wa Jalla, kelak diakhirat nanti.
Sesudah peristiwa itu, lalu Umar ibn Khaththab menulis surat kepada seluruh gubernur : “Hisablah diri kalian saat berada dalam kelapangan sebelum kesusahan. Karena, sesungguhnya barang siapa menghitung dirinya pada masa kelapangan sebelum masa kesusahan, maka akan membuat dirinya ridha dan berlapang dada (bila kesempitan datang). Barang siapa yang dibuat lalai oleh hidupnya, dibuat sibuk oleh hawa nafsunya, pasti akan mendatangkan penyesalan dan kerugian”. Tak hanya menulis surat yang dilakukan Khalilfah Umar. Ia sering memanggil para gubernur. Setiap saat ia selalu mengunjungi wilayah-wilayah, yang menjadi kekuasaannya. Ia sering memanggil para gubernur, ketika mendapatkan laporan dari rakyatnya. Tak mau membiarkan, apa yang menjadi keluhan rakyatnya. Ia sangat takut. Takut akan membebaninya nanti diakhirat, keluhan rakyatnya yang tak mendapatkan keadilan dari para pejabatnya. Sungguh sangat luar biasa kehidupan Khalifah Umar.
Al-Hasan berkata : “Seorang mu’min ibarat tiang penopang dirinya, menghisab dirinya karena Allah. Perhitungan hari kiamat menjadi ringan bagi kaum yang menghitung diri mereka di dunia. Beratnya hisab suatu kaum di hari kiamat, karena mereka membiarkan urusan mereka tanpa perhitungan. Sesungguhnya,seorang mu’min (sejati) bila sesuatu yang menakjubkan menghampirinya akan berkata : “Demi Allah aku berhasrat kepadamu,sesungguhnya engkaulah keinginanku, akan tetapi demi Allah aku tidak akan sampai kepadamu.Ada halangan antara engkau dan aku”. Pada saat itu ia kembali kepada dirinya dan berkata : “Apa yang engkau mau dari itu? Apa untungnya bagimu? Demi Allah aku tidak akan menolehnya lagi untuk selama-lamanya.
Khalifah Umar ibn Khaththab saat ajalnya tiba, ketika itu ia sedang menlankan shalat Shubuh berjamah dan menjadi imam shalat Subuh, dan beliau ditikam seorang ajam. Ketika, orang-orang sedang menggotongnya Khilafah Umar ibn Kaththtab bertanya : “Sudah selesaikah aku shalat Shubuh?”. “Belum’, jawab mereka. Lalu, beliau pingsan. Tatkala pipinya diletakkan diatas bantal, ia malah berkata : “Angkatlah bantal ini dari bawah kepalaku! Letakkan kepalaku diatas tanah. Semoga Allah merahmatiku.
Semoga Allah merahmatimu …memuliakan jasadmu … mengangkat derajatmu. Engkau telah bertindak sebagai seorang ‘shadiq’, seperti penuturan Ibn Mas’ud ra. Masuknya engkau ke dalam Islam adalah kemenangan , hijrahmu adalah penaklukan, dan pemerintahanmu adalah rahmat”. Sementara itu, laki-laki tua itu,hanya tertunduk sambil memandangi jasad Khalifah Umar ibn Khaththab yang terbujur. Wallahu ‘alam.