Peradaban Barat = peradaban bersih?
Citra bahwa peradaban Barat adalah peradaban yang serba bersih dan teratur sudah melekat erat di benak setiap orang, sebagaimana sebaliknya jika menampilkan gambaran negeri atau komunitas muslimin, maka justru citra jorok dan kumuh sengaja dilekatkan dengan berlebihan. Gambaran masyarakat pesantren misalnya, selalu dengan lampu remang-remang, surau yang berkarpet butut dan kolam wudhu yang kotor.
Citra bersih atau kotor diidentikkan dengan teratur, tanpa kotoran yang terlihat dan serba licin mengkilap. Kamar mandi yang menjadi tempat pembuangan yang kotor menjadi cerminan tingkat kebersihan sebuah rumah. Jika kamar mandi (toilet)nya bersih maka berarti pemilik rumah orangnya resik apik bersih.
Sebagaimana kita ketahui bagi umat Islam, sholat yang wajib dilaksanakan 5 kali sehari haruslah dilengkapi dengan bersuci. Dalam kitab-kitab tentang fikih ibadah bab bersuci ini diletakkan paling awal; dan diantara yang paling awal dari bab ini adalah zat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci. Jika ingin bersuci, kita harus terlebih dahulu mencari air, sebelum akhirnya menggunakan batu atau tanah. Jika air masih dapat ditemukan, maka penggunaan bahan yang lain menjadi tidak sah.
Entah sejak kapan budaya Barat dikenal terbiasa menggunakan tisu (tissue) gulung sebagai pembersih istinja di toilet mereka. Tisu terbuat dari kayu dan kayu termasuk yang nomer sekian setelah air dalam urutannya sebagai pembersih. Selama beberapa hari berkelana di negeri kanguru tersebut, kami merasakan kesulitan setiap kali harus berurusan dengan toilet. Dapat dimaklumi jika toilet umum di mal-mal atau gedung umum/public di sana menyediakan hanya tisu sebagai pembersih. Namun ketika rumah-rumah kaum muslimin pun tidak menyediakan kemudahan penggunaan air untuk istinja’, maka penulis bertanya dalam hati: bagaimana selama ini istinja’nya dapat dinilai bersih/ cukup?.
Sebagian lagi, di masjid atau rumah-rumah kaum muslimin mereka menyediakan semacam ceret untuk digunakan istinja dengan air yang diambil dari wastafel, namun masih terasa sulit sebab seringkali ceret yang disediakan tidak mudah diisi dari keran wastafel. Meskipun masih merepotkan, namun cara ini sudah memenuhi syarat, jika saja airnya tepat sasaran.
Setelah beberapa hari pertama selalu kesulitan jika ke toilet, akhirnya kami berdua mengembangkan kebiasaan membawa-bawa botol air mineral dalam tas. Lucunya, kawan yang mengantar kami-pun menceritakan bahwa ia dan istrinya lebih sering beli air mineral diperjalanan hanya untuk istinja’!
Ada sedikit cerita lucu, ketika kami sedang mampir ke sebuah Mal dan kebetulan ingin ke toilet. Dengan perasaan yang sudah cukup terdesak sementara saat itu lupa membawa botol air, suami-pun kebingungan mencari solusi. Kawan kami segera berinisiatif: ”Sebentar Ustadz, saya belikan air dulu.” Maka iapun melesat pergi mencari mesin penjual minuman. Ketika kawan tersebut kembali, ia berkata dengan agak bingung: ”Wah, sorry Stadz, salah pencet sehingga yang keluar malah air soda!” Maka apa boleh buat air soda tersebut harus di buang di toilet agar dapat menggunakan botolnya. Begitulah cerminan kerepotan-kerepotan kecil namun menjengkelkan ketika kita sedang berkelana di negeri orang kafir.
Bersihkah cara membersihkan dengan tisu saja? Secara fiqih harus dijawab oleh ahlinya, namun secara ilmu kebersihan yang diusung oleh peradaban barat, saya yakin jawabannya Tidak. Sebab tisu yang digunakan pun bukan tisu sanitasi yang mengandung antiseptik misalnya. Berarti bakteri dan kuman masih tetap menempel di badan kita sebab tidak dibilas dengan air.
Mungkin pembaca merasa heran dan kurang setuju kami mengangkat persoalan yang hanya terjadi di ruang tertutup dan bersifat sangat pribadi. Namun penulis teringat bahwa Nabi Saw tidak malu menerangkan tentang junub, mandi janabat, istinja’ secara detil. Demi terlaksananya syari’at tentang thaharah atau bersuci ini. Dengan bersuci kita siap untuk melaksanakan ibadah shalat dan lain-lain. Jika kita tidak cukup bersih ketika bersuci, apakah shalat kita akan diterima Allah SWT? Allah Maha Pengampun dan Maha Bijaksana. Jika sekali dua kali kita khilaf dan ternyata tidak terlalu bersih dalam bersuci, kita masih dimaafkan dan kemudian tidak mengulang kesalahan pada shalat kita berikutnya. Namun jika selama bertahun-tahun, selama hidup dirantau di negeri orang, kita selalu saja minta kemaafan untuk sesuatu yang sebenarnya merupakan tantangan untuk dihadapi, maka kita tidak heran jika ummat Islam masih saja selalu terpojokkan di mata peradaban masa kini.
Citra peradaban bersih juga menjadi ironi jika memperhatikan bagaimana mereka memandang masalah sex. Jika di dalam Islam sex merupakan persoalan pernikahan dengan hukum halal haram yang ketat, maka peradaban barat sekuler menganggap persoalan sex merupakan persoalan pilihan pribadi. Seseorang (menurut peradaban Barat) berhak menentukan ia akan menjalin hubungan dengan siapapun (atau apapun) dan bagaimanapun ”cara” berhubungannya, bahkan di manapun.
Yah begitulah makna ”kebebasan” menurut mereka, termasuk tulisan yang kami temukan di toilet umum ini:
Bagi kita orang Timur, apalagi Muslim, hal seperti ini tentu dipandang ”jorok”, dan menjijikkan, dan bagi standar kebersihan kitapun akan memandang perilaku yang ”diperbolehkan” menurut pengumuman ini merupakan perilaku yang mengandung resiko tertular berbagai macam penyakit terutama penyakit menular sexual (pms) yang mengerikan seperti AIDS dan Syphilis.
Belum lagi berbagai ke-mudharat-an dalam ”kebebasan” dalam berganti-ganti pasangan.
Jika kita memandang soal kebersihan dengan bandingan seperti ini, masihkah kita menganggap budaya Barat lebih baik dan lebih bersih dari budaya Islam?