Bagian pertama
Baru-baru ini kami berdua berkesempatan mengunjungi Australia, sebuah negeri ”Barat” yang terdekat dengan negeri ini.
Disebut ”Barat” sebab sistem dan budaya yang berlaku di sana mengacu pada Eropa khususnya Inggris karena Australia masih termasuk sebagai negara Persemakmuran Inggris.
Ditinjau dari iklim dan geografinya, negeri yang sekaligus dianggap sebagai benua ini lebih mirip tanah Arab daripada kawasan Eropa; bergurun pasir dan iklim subtropis dua musim. Tak ada salju dimusim dingin tapi angin dingin sangat menusuk dan kering. Panas dimusim panas dapat mencapai 40 derajat atau lebih. Dengan musim yang terbalik dari belahan bumi utara, maka saat perayaan Natal mereka justru sedang musim panas menyengat.
Dibanding negeri Arab, tanah Australia tidak terlalu tandus, di tengah benua terbentang padang savana dan gurun berselang seling, di sanalah kehidupan liar faunanya yang terkenal: Kanguru. Bagian tengah Australia nyaris tidak berpenghuni. Kita akan melihat itu saat melintas di atas pesawat dari Sydney menuju Jakarta di siang hari. Tumbuh-tumbuhan di Australia tidak mengalami gugur daun di musim gugur sebagaimana di Eropa, sebab tidak ada salju dimusim dingin yang berarti suhu musim dingin-pun tidak di bawah nol derajat kecuali di wilayah pegunungan yang tinggi.
Di Australia, terdapat lebih dari 300 ribu orang penganut Islam dari sekitar 21 juta jiwa penduduk. Mereka umumnya adalah para migran dari kawasan Timur Tengah, Asia dan Afrika. Bandingkan dengan 200an juta penduduk Indonesia dengan 80an% muslim.
Tidak heran jika selama di Australia penulis merasa suasana di sana ”sepi”, karena terbiasa dengan hiruk pikuk kota-kota di Indonesia.
Penduduk asli benua ini adalah suku Aborigin yang diduga sudah berada di benua tersebut sejak puluhan ribu tahun yang lalu, mereka mempunyai ciri ras yang sama dengan saudara-saudara kita di Papua, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Kulit putih mulai menginjakkan kaki ke benua ini sejak abad 18, dan sejak 1901 Australia dikukuhkan sebagai koloni Inggris yang kemudian menjadi bagian dari British Commonwealth. Sebelum itu Australia digunakan sebagai tempat buangan untuk menghukum para narapidana Inggris. Para Narapidana inilah yang merupakan koloni kulit putih pertama, termasuk mereka yang berdarah Yahudi. Yang menarik, selama di sana kami sempat diceritakan bahwa Aborigin yang sekarang terpinggirkan oleh kulit putih, dahulu sudah berinter-aksi dengan Islam melalui pendatang Bugis, bahkan sebelum mereka berjumpa dengan seorang-pun kulit-putih yang mendarat di benua tersebut. Konon ada yang masih dapat menemukan sebuah bangunan di tengah daerah terpencil yang masih menyisakan benda-benda peninggalan ummat Islam seperti tulisan Arab dan potongan ayat-ayat Al Qur’an.
Kini sebagian Aborigin berusaha untuk kembali ke Islam karena bahkan jejak nama-nama mereka-pun masih ada yang bercirikan nama muslim. Suatu analisa yang beralasan kuat, sebab sebagaimana kita ketahui pelaut-pelaut Bugis merupakan orang-orang tangguh yang melaut sejak abad ke 16 sampai ke ujung-ujung dunia dengan perahu phinisi-nya. Sayang sepanjang 10 hari di sana kami tidak berkesempatan berjumpa dengan seorang Aborigin-pun (karena mereka hidup di penampungan khusus) dan juga tidak dengan Kanguru. Yang tersisa dari kebudayaan Aborigin hanyalah sebagian dari nama-nama jalan dan wilayah yang sengaja dilestarikan dengan bahasa Aborigin misalnya "Woolloomooloo" yang konon artinya kanguru hitam.
Di lihat sepintas ketika anda mendarat di Bandara Sydney dan mulai menjelajahi kota maka yang anda lihat adalah khas negeri Barat, serba otomatis (termasuk bayar parkir) dan serba dipenuhi peraturan. Kamera pengintai di mana-mana. Jika anda tidak bayar parkir, jika anda melaju lebih dari kecepatan yang dibolehkan dan banyak aturan lain, maka tunggulah ”ticket” denda yang dikirim ke rumah.
Kami teringat Hong-Kong, salah satu kota milik negara Cina yang pernah diadministrasi oleh Inggris selama ratusan tahun, maka jalan-jalan kotanya sangat bersih karena denda buang sampah dapat mencapai nilai 1 juta rupiah kira-kira. Namun jika anda terpaksa harus ke daerah bagian belakang apartemen mana saja dan lewat tangga darurat, maka phuih! Menyesakkan! Jorok dan kotor dengan sampah yang tak diurus oleh penghuni maupun pengelola gedung. Polisi kebersihan rupanya tak pernah memeriksa bagian-bagian ini. Yah, itulah peradaban Barat yang didominasi Judeo-Christian Society (Masyarakat bercirikan Yahudi dan Nasrani). Semua keteraturan yang terlihat mengagumkan merupakan hasil Law-Enforcement a’la Dajjalic System: Surveilance and Punishment/(pengintaian dan hukuman).
Di negeri ini status agama tidak penting. Sebagaimana masyarakat Judeo-Christian lainnya yang sudah sangat sekuler, kolom agama dalam sensus penduduk dapat diisi dengan ”tidak beragama”. Bahkan konon perdana menteri (wanita) yang sekarang juga mengaku tidak beragama sambil diketahui ia hidup bersama tanpa nikah dengan seorang pria secara terang-terangan. Kaum Homo mendapat tempat di sini, setiap tahun mereka merayakan festival gay dan lesbian di area tertentu di Sydney. Festival mereka dijadikan ajang promosi pariwisata resmi oleh negara.
(Keterangan foto: Festival kaum homo dengan warna simbolis mereka; Sumber: http://australia.shopsafe.com.au/new_south_wales_events/sydney_events)
Yang penulis miris mendengarnya adalah beberapa kawan (muslim tentunya) mengaku pernah menonton festival tersebut bersama keluarganya. Innalillahi….
Menyoroti masalah keteraturan karena pengawasan dan hukuman ini tampak sangat berbeda dengan Law-Enforcement menurut konsep Islam.
Masyarakat kota Nabi SAW yaitu Madinah adalah cerminan generasi terbaik umat Islam sepanjang zaman. Pada masa itu, ketika telah turun ayat pengharaman atas khamr atau minuman keras, serta-merta jalan-jalan kota Madinah berubah menjadi sungai-sungai arak sebab setiap rumah yang saat itu masih menyimpan arak segera menumpahkan arak mereka sebagai tanda kepatuhan kepada Allah SWT.
Ini hanya salah satu contoh bahwa kepatuhan dan keteraturan terhadap hukum bukan karena takut akan pengawasan manusia (baca: polisi atau kamera pengintai), namun karena ketaatan kepada Allah Sang Khaliq.
Setiap diri merasa diawasi Allah dan karenanya berakhlaq mulia dan tak mau berbuat zalim terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konsep dosa-pahala telah meng-efisienkan penegakkan hukum di masyarakat. Imbalan bahwa mereka yang mau menjalani Had (hukuman) akan diampuni dosanya telah menyebabkan manusia rela dan ikhlas mengakui perbuatan zinanya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ia rela dihukum rajam sampai mati dan kemudian Nabi SAW pun menjamin bahwa ia mendapat ampunan Allah SWT yang jika dibagikan kepada penduduk Madinah saat itu niscaya cukup untuk mengampuni seluruh penduduk.
Konsep adanya kepercayaan terhadap Hari Keadilan (Negeri Akhirat) menyebabkan seseorang rela melepaskan kenikmatan dunia.
Itu sebabnya di Madinah tak pernah dikenal adanya angkatan kepolisian yang mengawasi masyarakat. Pengadilan ditegakkan berdasarkan pengaduan warga yang keberatan atas warga lain. Tidak dikenal yang namanya jaksa. Tak ada penjara dunia (yang di Indonesia masih seindah apartemen dan boleh cuti pula asal membayar). Hukuman dibayar tuntas sesaat yang bersangkutan menyerahkan dirinya siap dihukum, tidak dihutang dengan ”kurungan seumur hidup”. Hukum yang digunakan adalah hukum Allah SWT yang tak memihak pada partai atau kelompok atau elit kekuasaan mana-pun..Bahkan Nabi Saw mengeluarkan haditsnya yang terkenal: ”Jika Fatimah binti Muhammmad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya.”
Sistem yang sederhana dan tidak boros birokrasi. Hukum dalam negara berdasarkan Islam tidak terlepas dari keiman kepada Allah dan Hari Akhir.
Melihat perbedaan ini, seharusnya seorang mukmin tidak mengagumi sistem barat sekuler, sebab pada hakekatnya sistem barat sekuler merupakan sistem yang mengekang manusia dengan peraturan dan hukuman. Sesuatu yang biasa digunakan para pawang hewan dalam melatih hewan peliharaan mereka. Sistem seperti ini tidak melibatkan atau tidak mengindahkan hati manusia sebagai penentu atau pengambil keputusan. (insya Alloh bersambung, SAN)