”Bunda, Bunda, sekarang aku gak punya Papa lagi ya?”
Bagaikan tersengat listrik sang nenek yang sedang duduk di dekat ibu dan anak tersebut melirik ke arah mereka.
Putri cantik berusia 4 tahun itupun kemudian ditanya oleh ibunya: ”Kenapa kak? Kan Papa ada, kemaren baru ke sini, kakak kan main sama Papa?”
Si Putri pun berkata dengan gaya agak seperti orang dewasa: ”Iya, tapi kan Papa ke sini….ke sana….(kemudian ia kehabisan kata-kata)”.
Maka nenek dan Bundanya-pun mengerti mengapa ia bertanya demikian.
Bunda pun berusaha menjawab dengan bahasa yang sederhana: ”Papa ada, tapi sekarang gak tinggal di sini lagi, papa di rumah nenek satu lagi”
Beberapa bulan sebelumnya Papa Putri telah menjatuhkan thalaq pada ibunya, kemudian si Papa-pun pindah ke rumah ”nenek satu lagi” (nenek dari papanya Putri). Maka sejak saat itupun ketiga anak dari pasangan tersebut tak lagi dapat melihat Papa mereka ”pulang” ke rumah yang selama ini juga rumah Papa bersama mereka. Putri punya dua orang adik perempuan, Cinta usia 3 tahun dan Sholihat 1 ½ th.
Si Cinta lain lagi; ketika sedang bermain bersama kakaknya, Cinta sibuk memerankan boneka kura-kura lucu warisan tante mereka. Cinta-pun berkata kepada si kucing (yang sedang dimainkan oleh Putri): ”Eh kamu, yuk kita jalan-jalan! Kita pergi yuk cari Papa lain! Di sini gak ada Papa, nanti kita cari Papa baru, rumah baru, teman baru…ya…kita pindah ke taman yuk……!”
Rupanya suasana kehilangan figur Papanya diekspresikan mereka dengan cara mereka sendiri. Sebenarnya sudah berbulan-bulan sebelum thalaq-pun Papa mereka sudah sering pulang larut malam dan mereka sudah tidur. Kemudian setelah esoknya bangun pun sang Papa segera bergegas pergi tanpa terlalu banyak berinteraksi dengan putri-putrinya. Tetapi kehilangan yang total rupanya sangat membekas hingga tampil dalam bentuk role-play mereka.
Suatu hari ketika ”nenek satu lagi” menjemput Putri untuk diajak main ke rumahnya, di perjalanan si Putri dengan serius bertanya pada sang nenek: ”Nenek, di sana ada Papa gak?” Kata nenek:”Ada, Papa nungguin kamu di rumah nenek”
Putri kemudian bertanya lagi: ”Nenek, kenapa Papa gak pulang-pulang, kenapa Papa gak disuruh pulang ke rumah aku??” Tidak siap dengan pertanyaan seperti itu-pun si nenek malah curhat: ”Iya sayang, nenek juga sudah nasehati papa supaya pulang ke rumah kamu, tapi papa belum mau, doain papa ya?” Putri masih kurang puas malah melanjutkan:”Kenapa?”
Karena terus menerus diberondong dengan pertanyaan yang ia tak siap menjawabnya, sang nenek-pun bercucuran airmata sambil menuntun cucu kesayangannya.
Pada masa sedang ”panas-panas-nya” silang pendapat antara keluarga pihak ibu mereka dengan papa mereka, ketiga juwita tersebut sangat mudah tersinggung. Jika melihat bunda mereka menangis maka siapapun yang berada di dekatnya akan ditatap dengan galak oleh mereka, seolah ingin berkata: ”Apakah kamu ynag menyebabkan bundaku sedih?!”. Maklumlah, pada masa-masa seperti itu, pembicaraan silang pendapat kadang berlangsung di hadapan mereka yang sering dianggap ”belum mengerti”.
Benar mereka belum mengerti seluruh persoalan, namun mereka cukup mengerti bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Pada masa-masa itu mereka sangat sensitif jika ada yang sedikit saja berkata agak keras di dekat mereka, kadang mereka langsung menangis.
Kerewelan mereka bertiga-pun luar biasa, ada-ada saja yang dapat menjadi alasan salah satu dari mereka ngambek, merajuk atau menangis keras-keras.
Mereka-pun sangat tidak mau ditinggal oleh bunda mereka. Kadang sekedar ke kamar mandi saja minta ditemani.
Pada masa itu pula kedua juwita yang lebih besar lagi-lagi bermain peran, begini:
Putri berkata kepada adiknya: ”Cinta, Cinta, Cinta yang jadi papanya ya! Kakak jadi mamanya.” Kemudian Putri melanjutkan: ”Papaaaa, papa kamu minta maap dong!”
Cinta menyambung: ”Maap mama, ampun Allah”. Sebagai catatan: cara meminta maaf seperti ini merupakan cara yang diajarkan bunda mereka jika mereka melakukan kesalahan kepada seseorang.
Kadang seisi rumah miris mendengar celotehan gaya kedua bocah yang sangat jujur tersebut. Namun apa hendak dikata, itulah kehidupan yang mereka hadapi dan itulah yang mereka potret kemudian perankan sesuai pemahaman mereka.
Penggambaran di atas masih termasuk ”lebih baik” daripada sebagian besar kasus dampak perceraian orangtua terhadap anaknya. Pernah seorang kawan bercerita tentang masa kecilnya di mana sang ayah meninggalkan ia, ibunya dan saudara-saudaranya ketika ia masih kecil. Kemudian berpuluh tahun setelah itu kawan tersebut mengungkapkan rasa marahnya yang belum habis terhadap ayahandanya tersebut. Meskipun ibunda selalu berusaha memberi pengertian yang baik pada anak-anaknya, namun mereka (bersaudara) tetap tidak dapat memaafkan, betapapun ibunya menyuruh. Di akhir hayat sang ayah meninggal tanpa ada yang mau menemani selama sakit berbulan-bulan.
Ada lagi kasus di mana seorang anak mengalami kegoncangan sedemikian rupa ketika kedua orangtua-nya berpisah, sementara sang anak yang masih belum baligh tersebut merasa atau menduga bahwa dirinya-lah yang telah menyebabkan kedua orangtuanya berpisah.
Berpisah atau bercerai adalah perbuatan yang tidak diharamkan total oleh Allah SWT. Syari’at Islam memberi ruang penyelesaian masalah perbedaan pendapat pasangan suami istri secara permanen yaitu bercerai. Perbedaan-perbedaan tersebut kadang memang sangat mendasar sehingga tak mungkin diselesaikan selain dengan berpisah. Misalnya kasus murtad-nya salah satu pasangan, berpindah ke agama lain. Dalam Istilahnya ini bukan bercerai, namun ”fasakh” atau pembatalan ikatan nikah karena salah satu pilar pendukungnya berubah yaitu kesamaan aqidah. Namun di mata anak-anak yang belum cukup umur ini tetaplah sama dengan perceraian.
Anak yang belum mengerti apa-apa, terutama yang balita, seringkali pendapat mereka sama sekali diabaikan. Dalam kisah si Putri di atas, secara terus terang ia mengungkapkan kepada bundanya bahwa:”Aku maunya papa ke sini lagi, gak pergi-pergi lagi” . Kejujuran seperti ini patut dihargai sebab berarti si Putri tak menyimpan perasaannya terlalu jauh di dalam sanubari. Meskipun kata-kata tersebut terasa sangat menohok sang papa ketika mendengarnya sendiri.
Putri masih boleh dikatakan bersyukur bahwa papa dan bundanya berpisah tapi tidak bermusuhan. Meskipun perpisahan tersebut tetap tak dapat dimengerti, namun Putri tak perlu khawatir bahwa bunda akan menjelek-jelekkan papanya atau papa akan menjelek-jelekkan bundanya. Jika itu terjadi, pastilah Putri manis akan sangat bingung dengan silang pendapat yang kontradiktif ini. Kedua tokoh pelindungnya selama ini tiba-tiba bermusuhan dan berbeda pendapat tentang siapa yang jelek. Yang mana yang benar? Pendapat mana yang akan ia ambil? Entah yang mana, namun yang pasti ini akan menciptakan tingkat ke-gamang-an tersendiri dalam perkembangan jiwanya.
Kedua orangtua, betapapun pasti bukan manusia sempurna, namun haruslah dihormati anak. Jika mereka (ayah dan ibu) justru saling menjelekkan, badai kebingungan anak pasti terjadi. Sebab kedua-duanya seharusnya ia dengarkan dan selama ini memang ia dengarkan! Keadaan ini paling merisaukan justru terjadi pada anak yang lebih kecil, sedangkan yang sudah lebih besar masih mungkin untuk berpikir dan mengerti.
Jika saja diberi kesempatan.
Di dunia yang sudah sangat jahiliyah ini, perpisahan orangtua sangat sering diikuti dengan tingkat permusuhan yang sangat parah, bahkan kemudian di barat berkembang usaha jual jasa ”mengatasi brainwashing terhadap anak dari ayah atau ibunya”. Maksudnya, si ibu dapat menggunakan jasa agar anak-anaknya terhindar dari ”cuci otak” mantan suaminya terhadap anak-anak mereka. Ya, memang begitulah yang amat sering terjadi, kedua pihak berusaha ”menjatuhkan” pihak lawannya (yaitu mantan pasangan hidupnya) di mata anak-anak mereka. Kemudian hukum jahiliyah pun terlibat, pengadilan-demi-pengadilan-pun menjadi pengisi kedua pihak tersebut dalam silang sengketa mereka. Sementara anak menjadi ”pelengkap penderita” (baca: korban) yang hanya dapat menonton ”pertandingan” ini tanpa dapat memahami.
Alasan orangtua untuk bercerai adalah ”hak” mereka. Namun seberapa jauh kedua PIHAK orangtua memahai hak-hak anak-anak yang terlibat? Kami katakan PIHAK sebab seringkali memang persoalan sudah melebar ketingkat keluarga besar ikut terlibat.
”Fakta” apapun yang ada haruslah disajikan kepada anak (terutama yang belum dewasa) dengan hati-hati. Jangan sampai jiwa-jiwa yang ringkih menjadi goncang karena pihak-pihak yang bertikai saling ingin ”memenangkan pertandingan” tanpa peduli bagaimana jiwa kanak-kanak mencernanya. Fakta harus disajikan tanpa bohong tapipun tanpa penanaman nilai-nilai buruk sehingga menjadi semacam ”cuci otak” bagi anak. Jika memang ayah atau ibu nya tidak baik, maka pihak yang membesarkan mereka tak boleh mengatakan : ”Bapakmu/ ibumu sudah meninggal!” Padahal belum. Jikapun sang bapak atau sang ibu yang pergi meninggalkan mereka tetap menolak untuk menemui anak-anak tersebut setelah perceraian, maka hiburlah si anak sedapat mungkin tanpa terlalu berusaha menutup-nutupi keburukan dengan kebohongan.
Jujur tanpa melebih-lebihkan persoalan dengan nuansa emosi marah dan benci yang kental. Kebenaran biarlah dicerna belakangan oleh anak kelak ketika mereka sudah dewasa. Biarlah mereka memutuskan sendiri apa penilaian mereka kelak. Sebaliknya, kebohongan hari ini, betapapun alasannya adalah ”niat baik”, tetap akan berpotensi menjadi boomerang kelak. Semua pihak harus sadar, bahwa meskipun hak untuk menentukan pisah atau tidaknya orangtua tidak berada di tangan anak, namun kisah sejarah rumahtangga orangtuanya adalah bagian dari sejarah diri si anak. Anak berhak tahu yang benar, meskipun demi perkembangan jiwanya mungkin apa yang disampaikan harus diadaptasi dengan kemampuan daya pikir mereka.
Mungkin tidak ada yang dapat benar-benar dapat mengetahui apa isi pikiran seorang anak perempuan kecil usia 4 tahun, ketika ada malam-malam tertentu ia terjaga pukul 1 dinihari, kemudian mendapati sang papa memang tak ada di kamarnya. Kemudian ia melenggang ke kamar nenek kakeknya, berbaring santai di tengah mereka sambil menatap langit-langit kamar tanpa berkata-kata. Hanya mata bening itu menatap polos, menerawang hingga 1 jam kemudian baru terpejam dengan damai sambil memegang tangan neneknya.