Mengapa belum siap menikah?
Dewasa ini, jika ada seseorang ditanya apakah sudah siap menikah?
Banyak yang menjawab dengan standar-standar materiel atau kebendaan: Kalau sudah punya pekerjaan, kalau sudah punya tabungan, kalau sudah punya rumah dan lain sebagainya.
Apakah itu semua memang hal-hal terpenting untuk disiapkan oleh yang akan menikah?
Banyak bujangan yang sudah memiliki itu semua bahkan sudah dalam jumlah dan kualitas materiel yang lebih dari cukup, ternyata mengaku masih belum siap menikah.
Jadi apa yang membuat seseorang merasa belum siap menikah?
Kesiapan menikah adalah masalah kesiapan mental.
Menikah merupakan langkah penting yang oleh Nabi SAW dikatakan bernilai ”separuh agama”.
Seorang yang melaksanakan pernikahan akan mengalami berbagai akselerasi dalam kehidupannya sehingga kematangan kepribadiannya-pun dapat lebih cepat terwujud.
Dalam budaya kita bahkan seorang anak yang sudah menikah akan lebih dihargai dalam keluarga besarnya dibanding dengan saudaranya yang belum menikah.
Apakah pemuda memang sebaiknya segera menikah, ataukah sebaiknya menunda hingga ”lebih siap” atau ”lebih matang”?
”Lebih siap” atau ”lebih matang” sangat relatif. Sebagian dari keraguan seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan sebenarnya disebabkan oleh prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Bahkan di perkotaan, usia menikah anak muda semakin lanjut, seolah semakin tinggi pendidikan dan taraf hidup justru semakin ragu untuk menikah.
Mestikah demikian? Mengapa demikian?
Apakah sebenarnya kabut yang menghalangi tersebut?
Mungkin poin-poin di bawah ini perlu direnungi:
Pertama, kepada semua bujang dan gadis. Fahamilah bahwa menikah adalah sunnah Nabi SAW. Dengan pemahaman bahwa menikah adalah sunnah, seharusnya tidak ada lagi yang mengatakan ”tidak suka”, ”tidak mau”, ”gak penting” dan sebagainya. Bahwa jodoh datang dengan waktu yang tak dapat diprediksi, itu hal lain. Mempersiapkan mental untuk menerima pernikahan kadang memang sulit bagi orang-orang tertentu, tapi demi kebaikan dirinya sendiri, sebaiknya tidak usah membenci pernikahan. Umumnya yang menolak pernikahan dengan keras memang pernah punya trauma atas kasus-kasus pernikahan yang pernah dilihatnya. Sebagian lagi menunda-nunda pernikahan karena terkena berbagai prasangka tadi. Ada pemuda yang khawatir tak dapat memberi makan istri dan anak, ada juga pemudi yang enggan melangkah ke jenjang pernikahan karena khawatir pendidikannya terganggu.
Tak mungkin Nabi Saw yang mulia mencontohkan sesuatu yang tidak baik bagi kita.
Kedua, bagi para bujang dan gadis, setelah memahami kedudukan menikah dalam Islam, maka kenalilah diri sendiri. Berada di titik manakah anda? Secara umum menikah adalah sunnah Nabi SAW yang sangat dianjurkan bahkan nyaris wajib. Namun dalam penerapan hukumnya, kadang seseorang pada suatu saat dapat dikatagorikan sudah wajib menikah, sunnah (lebih baik) jika segera menikah, atau kurang baik jika menikah segera atau bahkan mungkin juga seseorang pada saat tertentu dianggap tidak baik atau haram menikah.
Maka kenalilah anda termasuk yang mana.
Jika anda sudah sering merasa terganggu dengan celotehan tentang menikah, jika anda termasuk syahwat tinggi, jika anda sudah cukup matang dan siap dan lain-lain lagi…maka ada kemungkinan anda sudah wajib menikah. Jika anda senang dengan pembicaraan tentang menikah, sudah cukup matang dan tak ada halangan lain selain belum ketemu jodohnya, atau jika anda termasuk penyayang dan lain-lain, maka anda bisa jadi termasuk lebih baik cepat menikah. Namun jika anda berjiwa labil sementara anda pria, dan anda sering emosi tak menentu seperti anak kecil untuk hal kecil, egois, dan lain-lain sebab…mungkin anda sebaiknya memperbaiki diri dulu sebelum mengajak orang lain hidup bersama anda.
Ketiga, kepada para bujang dan gadis, perluaslah wawasan dan informasi YANG BENAR tentang pernikahan. Jangan bertanya tentang pernikahan kepada orang-orang yang mempunyai pengalaman pernikahan yang pahit. Pengalaman seseorang tidak mesti akan dialami oleh semua orang. Bahkan setiap pengalaman buruk sebenarnya dapat dianalisa. Dan yang paling penting, berdoalah agar pengalaman buruk orang lain tak terjadi pada diri kita.
Mencari informasi juga dapat dilakukan dengan membaca berbagai buku terkait. Jika dalam buku-buku tersebut ditemukan berbagai pengalaman indah atau berbagai harapan indah tentang pernikahan, maka yakinilah hal ini: Hidup tak selalu ”taman bunga”, ada masa indah, tapi ada masa sulit. Sikap positif dan realistik Insya Allah akan bermanfaat dalam menghadapi ujian maupun nikmat hidup ini. Sebaliknya jika mendapatkan informasi yang men-ciutkan hati, hendaknya selalu memasang sikap optimis dan tawakkal pada Allah SWT, Insya Allah selamat.
Keempat: bagi para bujang dan gadis: Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang tugas dan kewajiban masing-masing pihak dalam pernikahan. Semakin banyak yang kita ketahui semestinya membuat kita semakin siap melangkah. Namun harus difahami juga bahwa selalu ada proses adaptasi atau peralihan. Proses adalah sunnatullah, segala sesuatu ada prosesnya, dan adaptasi juga merupakan sunnatullah dalam hidup.
Kelima: bagi para orangtua bujang dan gadis: Permudahlah pernikahan putra-putri anda. Sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al Qur’an yang berbunyi: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS 24:32).
Dengan adanya perintah yang demikian jelas, tak ada alasan bagi para orangtua ketika jodoh sudah datang bagi anak-anaknya ia masih saja menunda-nunda pelaksanaan pernikahan mereka.
Setelah merenungi poin-poin tersebut, coba tanyakan lagi pada diri anda: sudah siapkah?
(SAN 11042009)