Allaahu Akbar Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Laa ilaa ha illAllaahuallahu akbar. Allaahu Akbar Walillaahilhamd.
Gema takbir seolah sudah hadir di sini. Kemeriahan Lebaran sudah terasa. Anak-anak kecil sibuk memajang baju lebaran mereka agar tak lupa nanti memakainya.
Muslimin layak bergembira kelak sebab bulan penuh ujian kesabaran dari Allah (mudah-mudahan) telah dilalui dengan sukses. Orang beriman yang telah sebulan berpuasa di siang hari, berdiri menegakkan sholat tambahan di malam hari, dan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an sepanjang hari, maka mereka ini layak disebut sebagai orang-orang yang menang.
Menurut sunnah Nabi Saw memang di kedua hari Raya (Iedl Fitri dan Iedl Adha) dianjurkan untuk memperlihatkan kegembiraan, bahkan diperbolehkan menonton permainan untuk memeriahkan hari Raya. Itu sebabnya pula pada hari raya dilarang berpuasa. Berpuasa adalah wujud keprihatinan, sedangkan di hari raya harus memperlihatkan kegembiraan.
Namun dalam ajaran Islam yang mulia ini, sebenar apapun kita bergembira, tetap kita tak boleh berlebihan hingga melupakan ajaran Islam itu sendiri.
Banyak di antara perilaku hasil budaya umat Islam dalam merayakan hari raya kini telah tercampur dengan berbagai penyimpangan yang malah mencederai ajaran Islam.
Coba kita lihat budaya makan berlebihan di hari Raya. Seolah membalas dendam kelaparan selama sebulan, kaum ibu mempersiapkan hidangan hari raya sepenuh ruang makan. Berbagai jenis makanan kecil maupun besar dipaksakan agar para tamu menyantap sepuas-puasnya. Setelah itu, jika kemudian ternyata berlebih, maka makanan penuh gizi tersebut menjadi penghuni tempat sampah. Mubazir. Padahal di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa para pelaku mubazir adalah saudaranya syetan!
Sungguh heran, jika sebulan berpuasa adalah untuk menumbuhkan rasa kebersamaan kita dengan kaum miskin papa yang senantiasa kelaparan, maka satu hari sesudahnya kita segera menghapus rasa tersebut dengan makan dan menyediakan makan secara berlebihan. Bagaikan panas setahun dihapus oleh hujan sehari! Tidak heran jika di negeri yang mayoritas muslim ini, yang juga memiliki banyak jutawan dan orang berada, namun senantiasa setiap tahun jumlah orang miskin bertambah dan jurang pemisah semakin dalam. Rupanya ajaran Ramadhan yang begitu dalam dan mulia segera dihapus secara sitematis oleh budaya rakus, mubazir dan saudaranya syetan.
Masih ada lagi perilaku budaya yang ternyata telah merusak hari fitri kita. Silaturahim, saling berkunjung adalah ajaran Islam. Namun apakah silaturahim dengan kaum kerabat boleh menampilkan perilaku jahiliyah? Memamerkan kemewahan, berjabat tangan dengan yang bukan mahrom, bahkan sampai cium pipi antara pria dan wanita?
Demi tampil prima di hari raya, seluruh anggota keluarga mengenakan baju-baju terbaik. Kalaulah cukup sampai di sini, tak masalah. Tampil ceria di hari raya memang sunnah dalam ajaran Islam. Tapi jika anggaran baju satu orang anak sampai melebihi gaji sebulan sopir kita, maka di sini sudah berlebihan. Baju yang baik tak mesti mewah dan mahal apalagi bermerek. Bahkan baju terbaik konon berwarna putih, sebagaimana kafan yang kita bawa ke liang lahat! Sama sekali bukan yang berlebihan.
Sesudah berbaju mewah, model baju kaum ibu di hari raya-pun kadang bermasalah. Model baju muslimah memang sedang tren, namun modifikasinya sungguh menyesakkan dada. Sesak dada orang beriman yang berusaha menghindar dari aurat bertebaran yang dipertontonkan, dan sesak dada pria bermata jalang yang tak pernah mengerti makna puasa mata! Baju kebaya dengan sulaman berenda membuat kulit mulus pemakainya mengintip dari balik motif yang indah, membuat yang melihatnya ingin melihat sekali lagi dan sekali lagi.
Pada hari raya kaum ibu memastikan memakai semua perhiasannya, termasuk mempertontonkan perhiasannya yang paling berharga yaitu auratnya! La haula walaa quwwata illa biLLah. Syetan tertawa melihat si pemakai dan si penonton dicatat malaikat Atid atas kelakuan mereka.
Kemanakah bekas-bekas wudhu dan tarawih yang setiap malam dilakukan di masjid-masjid? Kemanakah bekas-bekas ’ittikaf dengan tumpahan airmata di atas sejadah? Bukankah saat-saat syahdu tersebut telah membuat kita haru biru memohon petunjuk Allah berkali-kali agar tak tersesat? Namun mengapa ketika sajadah dan Ramadhan sudah jauh kita menjadi lupa menahan diri dari godaan syetan?
Adalah syetan yang menjadi tertuduh di sini. Syetan yang merupakan pengikut Iblis dan turunannya adalah makhluk-makhluk Allah SWT yang memang sudah bertekad bulat menyesatkan kita. Syetan membuat seribu satu tipu daya untuk menyesatkan dan menipu kita. Keburukan dibungkus label seolah kebaikan, sehingga sunnah untuk bergembira di hari raya berubah menjadi pesta pora berlebihan dan penuh kemewahan serta kemubaziran di hari raya. Anjuran memakai baju terbaik di hari raya untuk menunjukkan kegembiraan berubah menjadi ajang jor-joran, pamer perhiasan dan aurat yang sudah jauh dari ajaran Islam.
Syetan tidak langsung mencegah kita dari kebaikan, salah satu tipuannya yang paling efektif adalah membuat orang yang melakukan kebaikan dengan niat baik dibuat berlebih-lebihan sedikit demi sedikit. Jika setiap yang sedikit berubah kita mulai perturutkan, maka lama kelamaan kita terseret jauh dari kebenaran.
Jika saja semua pelajaran Ramadhan tetap terbawa di hati, tak mungkin perilaku berlebihan ini menjadi kebiasaan yang semakin mengikat hati kita. Jika saja pada setiap hari di luar Ramadhan kita selalu teringat pelajaran-pelajaran Ramadhan, maka niscaya di Ramadhan tahun berikutnya kita menjadi semakin mengerti makna ajaran Allah Yang Maha Mulia ini.
Jika saja semua doa dan harapan yang diucapkan di malam-malam Ramadhan menjadi warna harapan dan motivasi kita di luar Ramadhan, maka niscaya kita tak akan lupa diri sama sekali.
Pertanyaannya, apakah kita sudah jujur dengan doa-doa yang kita ucapkan? Apakah benar kita memang memohon petunjuk Allah ketika kita membaca surah Al Fatihah? Lantas mengapa kita lupa aturan Allah justru di hari yang seharusnya kita sudah dinyatakan menang?
Ataukan kita ini hanya boneka hidup yang menjadi obyek permainan syetan yang mana selama sebulan Ramadhan mereka terikat sehingga kita seolah sholeh, kemudian ketika mereka sudah ”terlepas” di hari pertama Syawal maka otomatis kita kembali menjadi pengikut mereka?
Bukankah kita adalah makhluk dengan kemampuan berpikir dan memilih? Kita sama sekali bukan boneka syetan. Maka seharusnya kita tetap menghidupkan Ramadhan di sepanjang tahun-tahun hidup kita setiap harinya.
Renungkanlah ucapan yang disunnahkan di hari Fitri:
”Taqobbalallaahu minna wa minkum, kullu aamnin wa antum bi khoir” (Semoga Allah Menerima amal kami dan kalian, semoga sepanjang tahun Anda selalu dalam kebaikan).
Ramadhan adalah perbekalan kita setahun ke depan, jangan menangkan syetan justru di hari Fitri. Allahumma ja’alna minal aa idiin wal faidzin. (Ya Allah jadikanlah kami orang yang kembali dan orang yang menang). Amin. (SAN)