Oooh, sungguh tidak enak mendengar istilah ini. Ca(lon) Leg(islatif) stress…..
Berita di sebuah koran 20 april membahas tentang caleg stress sampai satu halaman, 21 april ada lagi berita yang lebih mengerikan: Tanggal 9 Mei akan terjadi booming caleg stress karena tanggal itu adalah setelah pengumuman definit hasil perolehan suara legislatif.
Sampai sekarang, sebelum tanggal 9 Mei, ada yang stress sampai harus dirawat, ada yang kemudian mengambil kembali segala santunan dan sumbangan yang sudah diberikan kepada masyarakat, bahkan sudah ada yang bunuh diri. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Apa sebab?
Salah seorang psikolog ternama menekankan pada kelemahan mental si caleg yang kemudian dipicu oleh kekalahannya, jadilah ia stress.
Ada yang men-sinyalir tekanan mental para caleg tersebut disebabkan kombinasi frustrasi banyak hutang dan tidak terpilih, ada juga yang karena merasa dibohongi.
Setiap orang seharusnya bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri sesuai pilihan masing-masing. Apa yang dipilihnya dan dilakukannya seharusnya ia pertimbangkan dulu kemungkinan dampak yang akan terjadi. Mungkin saja sang caleg sudah “buta mata” terhadap berbagai janji partai dan sanjungan memabukkan sehingga kurang teliti melihat kenyataan dukungan yang sebenarnya sehingga kemudian ia merasa tertipu dan kemudian kecewa berlebihan.
Tapi ada yang kurang pas dalam pembahasannya. Bahkan dalam pembahasan topik yang sama di media lain sama juga. Ada yang kurang.
Semua pihak membahas dari sisi pribadi si caleg. Tidak salah jika semua berpendapat bahwa mental si caleg adalah masalah penting di sini, tapi apakah hanya itu? Cukupkah jika fenomena yang fenomenal ini hanya ditimpakan kesalahannya pada mereka yang stress itu?
Bukankah masyarakat ini turut andil sedikit ataupun banyak?
Caleg stress konon berasal dari kalangan menengah ke bawah yang berlaga untuk menjadi anggota legislatif dengan modal habis-habisan.
Untuk apa modal habis-habisan? Ini pertanyaan pertama yang perlu dijawab.
Mengapa seorang caleg harus keluar sedemikian banyak uang untuk kampanye, sejak bendera, kaos, atribut lain sampai mungkin berbagai sogokan lain seperti ada yang bagi-bagi hadiah mulai dompet sampai buku tabungan isi 50 ribu rupiah?
Bukankah secara aturan ini sudah termasuk sogokan atau risywah atau money politic? Entahlah, tapi yang pasti bagi-bagi hadiah yang tak ada hubungannya dengan membuka wawasan atau perkenalan isi pikiran, saya rasa bukan produktif malah kontra produktif bagi pendidikan politik yang sehat. Jika seseorang sudah tercerahkan untuk memilih sebuah ide yang disampaikan seseorang, mengapa ia masih harus dibujuk dengan benda hadiah?
Dan jika para pemilih harus dibujuk dengan hadiah, berarti mereka bukan pemilih yang menggunakan otak? Ini pertanyaan kedua, yaitu apa yang sudah dilakukan oleh seluruh elit politik, semua anggota masyarakat yang berpendidikan, pemerintah yang memberikan penyuluhan, KPU yang melaksanakan Pemilu, Partai-partai yang terlibat, lembaga DPR pembuat UU Pemilu; Apakah yang telah kita semua masing-masing lakukan untuk mencegah masyarakat dari keterjebakan mereka sebagai obyek politik caleg tak bertanggung-jawab?
Ada yang luput dari pengamatan: Apakah caleg yang menang/ terpilih ketika kampanye tidak melakukan kampanye seperti yang kalah? Jawabannya bisa ditebak: Ya, sama saja.
Itu trend aktifitas caleg, baik yang akhirnya terpilih maupun kalah. Sebagian menganalisa bahwa yang terpilih itu menang karena menggunakan lebih banyak uang, wallahua’lam.
Pertanyaan yang belum di tanyakan: Jika yang menang maupun kalah sama-sama menggunakan modal besar? Lalu kira-kira apa yang akan dilakukan oleh yang menang ketika mereka sudah jadi A-leg? Bagaimana dengan modal yang sudah terlanjur keluar? Ini pertanyaan ketiga
Jangan-jangan semua caleg yang berkampanye dengan modal besar berpikiran sama, hanya saja karena nasib mereka berbeda maka sebagian stress sebagian terhindar dari kemungkinan stress karena menang.
Jangan-jangan semua caleg yang berkampanye dengan modal besar punya perhitungan sendiri jika terpilih minimal modal harus kembali?
Beginikah wajah demokrasi yang dikehendaki? Beginikah negeri yang akan kita wariskan kepada generasi muda? Inikah yang kita ajarkan pada anak-anak kita?
Apakah DEMOKRASI namanya jika seseorang memilih dengan kebodohan, memilih sesuatu karena hadiah? Padahal calon birokrat yang minta dipilih dengan meng-iming-iming hadiah bagaikan serigala berbulu domba? Apakah dengan memilih seperti ini berarti kekuasaan sudah ditangan rakyat?
Masih ada pertanyaan yang belum ditanyakan di media dalam perkara ini: Apakah dalam fit and proper test caleg tidak dimasukkan test potensi stress? Seharusnya ada, agar caleg dan kelak Aleg benar-benar memiliki ketahanan mental. Dan masih ada sejumlah test lain yang penting: Test moral misalnya? Jangan biarkan orang yang biasa nyontek ketika sekolah dan membocorkan ujian negara lolos sebagai anggota dewan terpilih. Apalagi yang memalsukan ijazah. Mereka-mereka yang patut disebut sebagai kriminal kecil ini akankah sanggup memimpin orang lain? Sanggupkah? Manakala mereka sendiri kedewasaannya dipertanyakan? Tidak adakah penyaringan yang bermanfaat bagi tercegahnya bencana-bencana politik ini? Ini adalah pertanyaan keempat.
Pertanyaan kelima adalah: Apakah bangsa ini bangsa yang beragama? Mengapa bangsa dengan jumlah penduduk Muslim terbesar harus mengalami fenomena ini? Mengapa mereka yang mendaftar atau mengajukan diri atau diajukan untuk jadi calon pemimpinnya malah ada yang merupakan sekumpulan orang yang mayoritas tidak jelas kesehatan jiwanya? Bukankah ada tuntunan agama yang seharusnya membuat orang sadar akan segala kemungkinan takdir menang kalah? Ataukah agama sudah bukan pembicaraan lagi di negeri ini, sehingga bahkan sudah tak lagi menjadi tuntunan? Masih banyak lagi kebingungan.
Bukankah Islam sudah lengkap memberi tuntunan tentang betapa hinanya dunia sehingga apa guna mati karena tidak kebagian dunia?
Pemilu legislatif berlalu sudah, yang sudah kalah, jatuh dan terpuruk akan segera dilupakan.
Yang menang atau masih bertahan atau bangkit lagi ke medan perebutan dunia, terus berlaga dengan gaya yang berbeda.
Kini partai-partai yang saling menjauh saat kampanye saling mendekat, ke satu titik sentral, yaitu ke partai yang paling banyak suaranya.
Rakyat pemilih apakah ditanya setujukah mereka jika partai pilihannya berkoalisi dengan partai A, B atau C?
Saat ini yang paling mengerti apa yang terjadi mungkin hanyalah para pakar politik. Jumlahnya tidak banyak. Rakyat banyak kembali ke kehidupan keras mereka, dari periuk nasi yang kosong ke sandal jepit yang putus. Bagi sebagian dari mereka pemilu hanyalah berarti dapat kaos baru, atau kain penutup warung yang gratis karena mengambil dari spanduk bekas. Apakah lima tahun lagi masih begini bagi mereka? Ataukah lima tahun lagi mereka sudah tidak ada lagi? Wallahua’lam, Laa haula wa laa quwwata illa billah. (SAN 23042009)