Dalam sebuah seminar keluarga sakinah, seorang peserta pria bertanya pada nara sumber yang juga pria: “Ustadz, menurut Ustadz untuk apa wanita sekolah tinggi-tinggi?”. Entah karena apa, Ustadz tersebut memberi jawaban yang bahkan seperti tidak mendukung pendidikan tinggi bagi wanita. Di hari yang sama, seseorang berdiskusi dengan penulis seputar tulisan terdahulu tentang karir muslimah. Singkat kata, ia gamang apakah ia perlu terus bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi yang jauh dari rumah sementara ia masih punya anak balita, ataukah lebih baik berhenti saja.
Untuk apa pendidikan? Sama saja dengan pertanyaan untuk apakah mencari ilmu? Apa saja manfaat ilmu? Pertanyaan yang tak perlu ditanyakan.
Sudah sangat banyak dibahas tentang besarnya pahala mencari ilmu dan mulianya pencari dan pengajar ilmu. Islam tidak diskriminatif dalam hal ini. Adalah Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra yang dikenal sebagai ahli Thibbun Nabawi (Pengobatan Cara Nabi saw) dan beliau pula yang menguasai sangat banyak Hadits Nabi SAW dan sering menjadi rujukan bagi para sahabat mulia yang lain.
Kembali kepada pertanyaan pertama: Untuk apa wanita mencari ilmu?
Wanita punya tugas khusus nan mulia: mengandung, melahirkan, menyusui dan menjadi pendidik pertama setiap anak manusia. Oleh karena itu muslimah mempunyai tugas yang lebih mulia lagi yaitu menjadi pencetak generasi penerus Ummat.
Pernah ingat celotehan buah hati kita sehari-hari: “Ma, ini apa?” “Kenapa begitu, Ma?” dan seterusnya. Bayi-bayi kita, dari sejak mereka mulai belajar bicara, kitalah, para ibu, yang menjadi rujukan mereka. Bahkan sampai ke usia tertentu, anak belum bisa percaya pada orang lain.
Kemudian kita lupa kapan tepatnya mereka berhenti menjadikan kita sebagai rujukan. Kita bahkan mungkin tidak merasa kehilangan atas kebisuan mereka yang tidak lagi bertanya kepada kita. Tidakkah kita memikirkan dengan mendalam, apakah tempat rujukan anak-anak kita (setelah beralih dari kita) merupakan pihak yang bertanggung-jawab dalam memberikan jawaban? Apakah pihak-pihak tersebut tidak menyelewengkan jawaban yang berakibat rusaknya pola berpikir anak kita? Atau malah membohongi mereka demi kepentingan pihak-pihak tertentu?
Pertanyaan sederhana yang sering memusingkan banyak orangtua misalnya: “dari mana datangnya adik bayi?”. Jika tidak dijawab dengan bijaksana, pertanyaan seperti ini dapat menyebabkan seorang anak minimal bingung, maksimal tersesat dalam mensikapi masalah seks. Padahal di dalam khazanah ilmu-ilmu Islam ada Tarbiyatul Aulad (Pendidikan Anak) dengan sub bab khusus pembahasan Tarbiyah Jinsiyah (Pendidikan Gender/ Jenis Kelamin/ Sex Education). Beda lho, dengan pendidikan seks versi barat! Sebagian pemerhati pendidikan kini menengarai kebanyakan pendidikan seks bukan untuk mencegah perilaku seks bebas, tetapi malah mempromosikan seks bebas. Tentu Tarbiyah Jinsiyah bukan seperti itu.
Oleh karena itu seorang ibu muslimah harus faham Tarbiyatul Aulad.
Dari sisi lain, di dalam zaman ini, ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan teknologi lain juga berkembang dengan sangat cepat. Penguasaan alat-alat pencarian informasi menjadi ketrampilan wajib mahasiswa masa kini. Di tengah dunia yang seperti ini, tidaklah memadai jika seorang ibu di kota metropolitan tidak mengerti bagaimana mengoperasikan komputer dan berselancar di dunia maya. Mengapa perlu?
Sebagai contoh sudah banyak seminar oleh para pakar yang mengkhawatirkan serangan budaya internet ini dalam kaitannya dengan situs-situs mesum yang merusak generasi muda. Ini baru satu judul masalah, sementara masih ada banyak lagi judul lain yang mengkhawairkan dalam budaya dunia maya.
Kita muslimah, sebagai penjaga Benteng Terakhir Ummat, harus punya sejumlah kiat antisipasi, sebagaimana layaknya penjaga benteng yang sedang berperang, kita harus tetap waspada. Ibu muslimah yang punya anak remaja tak boleh “gatek” (gagap teknologi). Jika “gatek”, maka ia tak mungkin menjalankan metode penting dalam Tarbiyatul Aulad yang disebut dengan metode Mulahazhoh (Metode Kontrol/Pengawasan). Ada 5 metode pendidikan yang penting dalam Tariyatul Aulad, kelima-limanya harus dijalankan dengan seksama karena saling melengkapi.
Begitulah. Muslimah amat-sangat-amat sangat perlu menguasai ilmu dan pengetahuan serta ketrampilan. Terlalu sempit ruang yang ada dalam rubrik ini untuk membahas tuntas betapa pentingnya muslimah memiliki pendidikan yang baik. Perlu “tinggi” ‘kah?
Sebelum membahas berapa tingginya yang boleh, bahkan ada batas minimal yang harus dimiliki. Muslimah setidaknya harus memiliki pengetahuan dasar dari dua cabang besar pengetahuan di dunia ini. Yang dimaksudkan dengan pengetahuan dasar (basic knowledge) adalah tingkat pengetahuan yang ia butuhkan untuk menjalankan hajat hidupnya dengan baik. Jika ia seorang ibu, maka basic knowledge-nya harus mencakup pengetahuan dasar sebagai ibu. Jika ia seorang petani pedesaan maka sebagai muslimah petani ia harus punya basic knowledge-nya yang sesuai.Dua cabang besar yang dimaksud di sini adalah cabang ilmu alat/ ketrampilan untuk kehidupan dunia, dan cabang satu lagi adalah cabang ilmu Islam yang mencakup ilmu keimanan, ilmu ibadah, dan ilmu mu’amalah.
Jika sebagai seorang petani mustahil ia sukses tanpa ilmu bercocok tanam, maka sebagai hamba Allah, mustahil masuk Surga kalau tidak tahu bagaimana melakoni hidup dengan keimanan. Keduanya adalah basic knowledge bagi petani muslim yang ingin selamat dunia akhirat. Ilmu mu’amalah juga perlu ia fahami sehingga ia misalnya mampu mengenali perdagangan sistem “ijon” yang haram dalam Islam.
Muslimah harus menguasai basic knowledge dalam dunianya sesuai dengan zamannya. Sejak bagaimana kiat hemat energi dalam rumahtangga hingga mampu mengenali berbagai bentuk perdagangan yang halal maupun haram yang ditawarkan para sales dari rumah ke rumah. Bahkan dengan perkembangan teknologi pangan yang pesat, muslimah harus tahu berbagai kemungkinan produk haram masuk ke dapur dan meja makannya. Minimal tahu bagaimana mencari rujukan.
Itu baru kebutuhan basic knowledge yang semua muslimah harus memilikinya, belum lagi kita bicara tentang pemanfaatan potensi bagi muslimah-muslimah yang dikaruniai berbagai bakat oleh Allah SWT. Sudah barang tentu, setiap potensi harus dimanfaatkan dengan baik untuk kemaslahatan ummat. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara muslimah menjalankan pemanfaatan tadi agar tidak menabrak fitrahnya dan tidak melanggar aturan Islam yang lain.
Ada ungkapan: Ibu adalah sekolah. Maka, jika sekolah yang disediakan tidak bermutu, bagaimana para pelajarnya akan maju? Wallahu’alam (SAN)