Negara ini (Indonesia) dalam peringkat negara-negara di dunia saat ini masih dikatagorikan sebagai ’negara yang sedang berkembang’. Indonesia belum dianggap sebagai negara maju karena dianggap belum dapat menerapkan seluruh sistem jahiliyah secara 100%. Di dunia sekarang ini, kasta negara-negara ditentukan oleh sederet angka sebagai tolok ukur. Angka-angka tersebut sebenarnya merupakan angka-angka mati yang bisa saja berarti baik atau buruk tergantung bagaimana mengartikannya. Namun angka-angka tersebut kemudian dimunculkan untuk menciptakan pencitraan tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh pemakainya. Angka kematian penduduk (salah satu tolok ukur) masih tinggi, angka korupsi masih termasuk ranking sepuluh besar, income per-kapita masih rendah dan perolehan pajak masih kecil dan sejumlah tolok ukur jahiliyah lainnya, baik yang dapat dikatagorikan termasuk ma’ruf atau mungkar secara Islam maupun jelek atau bagus menurut nilai jahiliyah sendiri.
Di negeri ini, dalam masalah pendidikan, kasus kisruh UAN merupakan contoh yang menarik untuk kita analisa baik dengan kacamata Islam maupun tolok ukur jahiliyah. Sebagaimana diketahui, UAN diadakan dengan maksud melakukan standardisasi mutu pendidikan. Karena dilakukan dengan semangat ”terburu-buru karena takut di cap sebagai negera terbelakang”, maka UAN diberlakukan sebelum pembenahan seluruh sekolah di seluruh Indonesia di lakukan. Standardisasi dulu, benahi kemudian Kisruh-pun terjadi. Tidak meratanya kesempatan pendidikan di berbagai daerah dan kota menjadi mencolok pada tahun awal UAN. Ada banyak daerah dan sekolah yang angka gagalnya sangat tinggi seolah guru-guru mereka sama sekali tidak mengajarkan apa-apa selama anak didik bersekolah. Para kanwil pendidikan merasa malu karena wilayahnya di cibiri Pusat dan kemudian balik menekan pihak sekolah dan menyalahkan mereka tidak serius mendidik. Pihak sekolah meradang karena selama ini fasilitas amat minim dan problema gaji merupakan masalah kronis. Input dan output sebenarnya sesuai dengan rumus, namun tidak sesuai ”pesanan’ dan ”keinginan” Pusat. Tahun berikutnya sudah dapat dipastikan yang muncul adalah fenomena bocor UAN merebak. Semua pihak, baik itu anak murid, guru, sekolah, kanwil diknas dst ingin mendapatkan atau melihat hasil yang bagus. Oleh karena realitanya belum dapat dicapai dengan jujur, maka bermain curang merupakan keharusan.
Penulis pernah menyekolahkan anak di wilayah luar Jakarta (pesantren). Pada akhir tahun ajaran, setelah pengumuman UAN, pak guru terpaksa ”buka kartu” dihadapan para orangtua bahwa sebelum UAN sekolah mereka diajak oleh diknas setempat untuk gotong royong bersama para guru sekolah lain untuk mendongkrak peringkat wilayah dengan cara para gurulah yang melakukan koreksi (sebelum dikumpulkan ke panitia UAN) kertas UAN anak didik. Para guru memperbaiki jawaban-jawaban yang salah dari para murid berdasarkan kunci jawaban dan berdasarkan pengetahuan si guru. Sekolah pesantren ini menolak, sebagai akibatnya, selain dikucilkan, sejumlah muridpun jatuh di nilai UAN dan bahkan peringkat sekolah mereka jatuh di bawah sekolah lain se-wilayah tsb padahal selama ini pesantren tersebut dikenal sebagai sekolah terbaik di sana. Tragis, ketika ada guru yang berusaha berpegang pada nilai-nilai kejujuran, anak murid dan sekolahnya malah menjadi korban. Ini sangat sesuai dengan hadis yang memperediksi keadaan di akhir zaman dimana orang baik dijatuhkan dan orang jahat dianggap baik. Sampai saat ini sinetron UAN masih berlangsung. Tahun ini bahkan percetakan soal UAN sudah terdeteksi ada yang menjual soal UAN, keuntungan tambahan di luar dari tender mencetak soal UAN. Siapa lagi yang peduli bagaimana mutu pendidikan anak-anak kita?
Intisari telah disampaikan pada Talk Show pendidikan anak, Masjid Darussalam Kota Wisata Cibubur 29 Mei 2010. Tarbiyah a-la Sahabat vs Pendidikan Jahiliyah Modern.