WAFATNYA Rasulullah saw menyisakan banyak hal. Semuanya masih tertegun mengikuti kekosongan itu seakan tak percaya bahwa sang pembimbing telah tiada. Dari keterkejutan yang amat sangat, ketiadaan telah menjadi kenyataan yang tak bisa dicegah oleh siapapun. Umar bin Khattab yang kelihatan paling terpukul atas kejadian itu masih sempat berujar keras, “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati, aku tebas lehernya..!”
Namun waktu menyodorkan bukti bahwa Rasulullah saw adalah manusia biasa juga. Sudah saatnya ia menghadap Sang Pencipta yang dikasihinya. Bahkan ketika Rasulullah saw menyatu dengan bumi, Mekkah masih diselimuti duka.
Tapi itu jelas tak boleh berkepanjangan. Umat ini memerlukan sebuah arahan yang jelas. Bolehlah beberapa saat kaum Muslimin merasakan kegetiran, tapi bukankah kehidupan masih terus berjalan? Maka segenap sahabat segera berkumpul. Harus ada yang meneruskan kepemimpinan. Tapi siapa? Masyarakat dalam kebingungan. Rasulullah saw sampai akhir hayatnya tidak sekalipun menunjuk seseorang untuk menggantikannya. Pun tidak dari golongan Muhajirin dan Anshar. Kedua golongan itu masing-masing berusaha mengajukan tokohnya sebagai penerus Rasul.
Kondisi ini sempat memunculkan kegamangan. Masyarakat Anshar menyelenggarakan musyawarah di gedung pertemuan Bani Saidah untuk mengangkat khalifah dari kalangan mereka sendiri. Mereka telah sepakat memilih Said bin Ubaidillah-seorang pemuka dari suku Khajraj. Mengetahui ini, Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menuju tempat diselenggarakannya musyawarah kaum Anshar tersebut.
“Wahai kaum Anshar,” Abu Bakar berujar setelah sampai di tempat yang dituju. “Sesungguhnya perjuangan kalian dalam Islam tidak ada bandingannya. Sungguhpun demikian, seluruh Arab tahu bahwa tidak ada yang lebih disegani selain daripada kaum Quraisy…”
Kaum Anshar terdiam. Tapi kemudian seorang berujar, “Kalau begitu hai Abu Bakar, pilihlah seseorang untuk kaummu sendiri, dan kami pun memilih seseorang untuk kaum kami…”
Menanggapi usulan itu, Umar berkata dengan tegas. “Ingatlah kamu sekalian, bahwa dua pemimpin tidak dapat berkuasa bersama.”
Abu Bakar segera menyusul apa yang dikatakan oleh Umar, “Kalau begitu, hendaklah kamu sekalian memilih di antara Umar atau Abu Ubaidah sebagai Khalifah!”
Umar dan Ubaidah jelas kaget. Kedua tokoh yang diusulkan Abu Bakar itu menolak. “Tidak, kami tidak mempunyai kelebihan dari kamu semua dalam hal ini.”
Dalam situasi musyawarah yang semakin kritis, Umar mengangkat tangan Abu Bakar seraya menyampaikan sumpah setia kepadanya dan membaiatnya sebagai khalifah. Sikap Umar tersebut diikuti oleh Abu Ubaidah dan tokoh–tokoh Anshar yang hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka semua menyatakan kerelaannya membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, yakni sebagai penerus tampuk kepemimpinan umat Islam yang semula dijabat oleh Rasulallah saw.
Hari-hari pertama Abu Bakar sebagai Khalifah sungguh berat. Entah harus dari mana dahulu memulai. Sebab Rasulullah saw memang tidak pernah mengatakan apa-apa tentang hal ini. Namun ada yang cukup menyita perhatian Abu Bakar. Dari mana kemudian ia harus menghidupi keluarganya? Abu Bakar melihat, dahulupun Rasulullah saw mengusahakan pencahariannya sendiri. Sambil mengatur jalannya pemerintahan, Rasulullah saw juga melakukan sesuatu untuk menopang kehidupannya. Setahunya, tidak pernah sekalipun Rasulullah saw meminta dari siapapun. Rasulullah saw selalu berusaha mandiri.
Maka Abu Bakar pun memulai lagi rencana-rencananya. Ia masih harus pergi ke pasar hari ini untuk berdagang. Karena hanya dengan berdaganglah ia bisa mencari pencaharian untuknya dan keluarganya.
Mekkah sudah kembali normal. Aktivitas sudah mulai berjalan lagi, dan pasar dipenuhi orang-orang. Abu Bakar menggesa langkahnya. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan dilihatnya Umar bin Khattab sahabatnya.
“Hendak kemana engkau?” Umar berujar demi dilihat sahabatnya itu begitu tergesa-gesa.
“Ke pasar…..”
Umar mengernyitkan dahinya. “Ke pasar? Untuk apa?”
“Aku harus berdagang, sahabatku…”
Umar masih terus mengernyitkan dahinya. “Engkau? Untuk apa?”
Abu Bakar menarik napas, “Sahabatku, dengan apa aku harus memberi makan keluargaku?”
Umar tertegun. “Sekarang, engkau ini seorang khalifah, ya Abu Bakar…”
“Ya, memang betul,” Abu Bakar menyahut. “Tapi jika aku tidak berikhtiar, aku tidak akan mendapatkan rezeki. Aku juga mempunyai pertaggungjawaban terhadap keluargaku-istri dan anak-anakku. Ada hak mereka yang harus aku tunaikan.”
Umar semakin tertegun. Akhirnya Ia berkata, “Jika engkau berdagang, bagaimanakah engkau mengatur umat, ya Khalifah? Sesungguhnya harus ada yang menanggung penghidupanmu. Aku akan mengusulkan agar Baitulmall mulai saat ini menggajimu. Aku tahu engkau akan keberatan, tapi ini agar engkau, sahabatku, bisa berkonsentrasi melakukan pekerjaanmu…”
Abu Bakar sangat terharu. Ia tertunduk. Sejak saat itu Abu Bakar benar-benar hanya mengurus kekhalifahan saja. Penerus Rasulullah saw itu tenang menjalankan tugasnya tanpa harus dibebani oleh urusan mencari penghidupan.