Ketika sang ustad pulang, diapun bertanya dengan heran pada istrinya, “Barusan aku melihat seorang kakek tua melintasi rumah kita dengan memakai sarung biru kotak- kotak mirip seperti punyaku. Lalu, sang istri berkata sambil tersenyum simpul, “Yaa abi, umi telah memberi semua yang terbaik yang kita miliki, termasuk sarung abi yang sangat abi sukai kepada pengemis tua itu, sesaat setelah umi mendengar ceramah abi di radio.”
Ya Allah, ya Robbi, terperanjatlah sang ustad, dan dengan marah ustad berkata,“Umii, mengapa engkau berikan semua punya abi, abi masih sangat suka dengan sarung itu, perlu kamu ketahui, semua yang aku ceramahkan itu, hanyalah nasihat untuk para jamaahku,untuk orang lain, tapi tidak untuk kita…”
Sepuluh tahun lalu, ketika mendengar kisah ini, aku tak begitu memperhatikan, namun ketika aku menjadi guru yang ibu dan ibu yang guru, aku baru mengenal bagaimana uswatun hasanah adalah kita menjadi tauladan bagi orang lain dan kita pun menyuruh orang lain berbuat yang baik setelah kita berbuat baik terlebih dahulu, sangatlah mustahil bagi kita sebagi seorang pendidik, bila kita menyuruh anak murid kita sholat tetapi, kita sendiri diam di dalam kelas dan mengoreksi pekerjaan anak-anak, sedang mereka melakukan sholat sendiri,maka bersamalah dengan anak-anak kita maupun anak didik kita, kita melakukan kebaikan dalam bentuk apapun, entah buang sampah pada tempatnya, datang tepat waktu, sholat berjama’ah di masjid, menyumbang untuk palestina, berkata benar dan berakhlak mulia, maka tidak perlu kita menuntut penghargaan dari anak kita untuk selalu bersikap hormat pada kita, karena diri kita yang telah mampu menjadi uswahtun hasanah (teladan yang baik) telah membuat anak-anak maupun anak didik kita menjadi respect dan hormat pada kita tanpa hormat yang disuruh atau dibuat–buat, dan sesungguhnya Rasululloh saw. adalah sebaik baiknya uswatun hasanah. Dan lihatlah hasilnya semua orang respek padanya sampai beribu ribu tahun setelah kematiannyapun.wallohu alam bishawab.