Poligami Yang Menyusahkan Anak-Anak

“Umi tahu gak si Rena anak kelas 1 Smp yang baru itu, dia punya ayah dua..” demikian cerocos anakku, ketika aku menjemputnya pulang sekolah di hari yang dingin karena hujan yang tak kunjung berhenti sejak 3 hari yang lalu. Dalam seretan kecil dan langkah bergegas, serta payung yang mengembang aku menjawab sekenanya saja : “haah! mana ada perempuan muslimah yang boleh punya suami dua..? “ lalu dengan cemberut dan wajah masih berteteskan air hujan, Saskia anak gadis kecilku yang baru 3 bulan lalu haid pertama mencoba menegaskan lagi : “iyaa mi, ayahnya dua, karena ayahnya yang pertama itu berpoligami dan kemudian ibunya minta cerai dan bercerailah mereka, dan kemudian akhirnya setelah itu bla..bla.. ya mii.. yaa, terus yaa mi yaa…” matanya mulai jelalatan mencari roti di dalam kantung plastik belanjaanku, dan tangan mungilnya menggerayangi bungkusan-bungkusan belanjaanku mencari sesuatu yang dia inginkan bila hujan lebat seperti ini, biasanya yang dia cari adalah roti coklat atau roti keju manis, minimal sebatang kecil coklat beng beng, dan ketika menemui apa yang dicari, sambil mengunyah, dia berkata lirih, ”ibunya Rena lalu menikah lagi, setelah bercerai dengan suami pertamanya, karena ayah kandungnya rena mau berpoligami, ibunya tidak mau dan setelah bercerai dia mencari ayah baru buat Rena, dan kasihan tahu mi ayahnya yang baru galak sekali dan selalu memarahi Rena. Kayaknya mau ngapain aja gak boleh, belajar terus, bahkan terakhir ayah keduanya Rena mangancam, kalau rena tidak dapat ranking maka Rena akan dimasukkan pesantren di luarkota biar tidak menyusahkan ayah dan ibunya, kok tega banget ya mi yaa, kasihan rena deh mi. Itulah kalau ayahnya pakai poligami segala, yang kasihan kan anaknya yaa mii yaa, kalau ibunya sih enak aja bisa menikah lagi, dapat suami baru, kalau anak-anak kan gak bisa nyari orangtua baru lagi. Poligami itu bikin susah anak anak ya mi, rasanya Sazkia ngerti banget perasaan Rena, sampai sampai mi…rena bilang kemarin, dia kalau udah tua gak mau menikah.”

“Apakah menikah itu wajib bagi semua orang mi? Rena bilang dia gak mau menikah karena takut keluarganya berantakan, dan anaknya jadi sedih karena ayah kandungnya pergi meninggalkan dia, setelah ibunya tidak mau dipoligami, dan dia dapat ayah tiri baru yang galak banget,” demikian ceritanya bersambung terus tanpa berhenti.

Tak lama anak gadis kecilku yang perasa dan berhati lembut berkata padaku : ”mi, kalau abi poligami, umi gak akan minta cerai dan menikah lagi kan ?” Tatapnya penuh harap dan dari arah belakang, terdengar suara anak lelaki kecil dengan lantangnya menjawab, sementara tangan kirinya menggenggam tangan kananku, dan tangan kanan melepas permen loly yang sedang dihisap dalam dalam, Ical, putra bungsuku berusaia 5 tahun menyahut dengan tidak kalah serunya, ”Iyaa. Kalau abi menikah lagi buang-buang duit, nanti mesti pestalah, masak-masaklah ya kan mi..?” celetuknya lucu, walau jelas apa yang disahutinya itu tidak nyambung dengan topik yang sedang dibicarakan Sazkia anak gadis kecilku yang entah mengapa aku melihat semacam ada pemberontakan (uups, bukan pemberontakan, tapi semacam pembelaan dalam dirinya).

Sebelum anakku marah karena dipikirnya uminya tidak mendengarkan ceritanya yang heboh, aku segera menjawab : ”Yaa sayang, umi tidak akan minta cerai bila abi menikah lagi, asalkan abi menikah untuk menolong janda yang sudah tua, miskin atau sakit dan anak-anaknya banyak (dalam hatiku : kalau sudah tua dan sakit-sakitan sih mana mau lelaki menikahinya, kecuali yang beriman sekali) beneran deh” lanjutku meyakinkan mereka, ”umi tak akan minta cerai, umi hanya minta atm abi saja, he he he…”

Hfphfff…bicara anak-anak sekarang rasanya terlalu jauh dan topiknya pun terlalu dewasa, segera aku mengalihkan pembicaraan mereka agar tidak meluas kemana mana, “oh ya, habis ini kita ke toko buku ya, umi mau tunjukin buku bagus yang dikarang anak kecil seusia kamu Saz, umurnya baru 11 tahun tapi buku karangannya lucu-lucu loh, kalau kamu punya ide macam-macam dan pikiran yang banyak, kamu mulai banyak menulis ya Saz dan coba bikin cerpen.”

“Ok mi, aku boleh menulis cerita mengenai kisahnya rena? judulnya, poligami yang menyusahkan anak-anak.“ Degg…jantungku hampir copot mendengarnya, lalu aku mencoba menjawab dengan sabar, ”Nak, jangan berfikir terlalu jauh mengenai Rena dan keluarganya, itu juga bukan urusan kita, mari kita doakan saja dan mudah-mudahan ayah kandung Rena kembali memperhatikan Rena dan ayah barunya tidak galak lagi, karena Rena sudah bertambah dewasa dan pandai, kapan-kapan ajak Rena kerumah dan kita belajar bersama, umi akan bantu Rena menyelesaikan pelajaran yang dia tidak mengerti” demikian gumamku cepat-cepat, dan Alhamdulillah, teriakan Ical anakku yang ketinggalan bungkusan mobil mainannya di toko permen tadi membuat kami segera berpindah topik pembicaraan, sekarang kami bertiga berlari kembali dibawah rintik hujan yang sudah melemas, dan segera masuk kedalam toko permen sebelah sekolah Sazkia.

Dengan pikiran penuh, aku berfikir, “Subhanalloh sedemikian dasyatnyakah pikiran anak-anak remaja putri kita yang berkecamuk dengan peristiwa poligami, selingkuh dan perceraian yang terjadi pada orangtuanya, naudzubillahimindzalika, semoga itu semua tidak terjadi pada diriku dan diri suamiku tentunya!! Refleks tanganku menjamah handphone dan menekan tombol no 2 (nomer keramat suamiku) : “Assalammualaikum mas, sudah makan, ada dimana sekarang? Dengan siapa? Pulang jam berapa.? semburku terburu-buru…” dan kemudian tuuutt…”nomer yang anda putar tidak dapat dihubungi…” Dalam gelisahku karena sedikit banyak terpengaruh cerita Sazkia (he he), akupun berfikir dengan tegas untuk sekedar menenangkan diriku : “hasbunalloh wani’mal wakiil.. Laa hawla wala quwwata illa billahi..( terjadilah apa yang terjadi).”