“Sungguh pak, saya tidak sengaja membunuh dia, saya hanya memukul mukanya dan tiba-tiba dia terjatuh menumbuk meja marmer itu.” Demikianlah seorang pemuda yang dicurigai sebagai seorang gay kepada polisi dalam sebuah kasus pembunuhan seorang fotomodel di jakarta.
Adalagi penemuan terhadap mutilasi seorang lelaki bertubuh besar yang ditengarai dilakukan oleh pacarnya seorang gay, dimana ternyata korban mutilasi tersebut adalah korban yang ke 10. Dan hal ini merupakan sebuah fenomena tersendiri dari sebuah cerita-cerita kriminal dalam harian ibukota. Apa dan mengapa seseorang menjadi begitu kejam, bahkan terhadap orang yang terdekat dengan dirinya ?!
Kembali pada kisah dialinea pertama, sang lelaki yang diinterogasi polisi, akhirnya mengakui bahwa meninggalnya sang fotomodel yang baru naik daun itu, disebabkan oleh emosinya yang sangat terpancing ketika kawannya sang fotomodel berteriak melengking ketika mengatakan bahwa dia tidak punya uang untuk dipinjamkan pada sang lelaki yang kemudian memukulnya dan mengakibatkan tewasnya sang fotomodel muda itu.
Semua itu dilakukan di kamar pribadi, tanpa seorangpun mengetahui dan latar belakang dari terjadinya kasus itu sangat sederhana sekali hanya karena selisih paham yang diiringi bentakan dan teriakan yang melengking tinggi.
Begitupula dengan cerita berikut dialinea kedua yang menggambarkan korban mutilasi yang ternyata merupakan korban ke 10, yang akhirnya diakui sebagai ex pacar Ryan, yang sekarang terdampar di sebuah penjara.
Dari kedua kisah diatas, ternyata ibu mereka adalah seorang ibu yang keras, dan otoriter dan terkenal galak pada anak serta suka membuat anak menjadi tertekan, takut padahal sebagaimana layaknya seorang anak kecil, apalagi anak lelaki tentunya membutuhkan dekapan dan kasih sayang lembut dari soerang ibu. Dan motif terkuat dari kebencian pembunuh si fotomodel adalah rangsangan emosi yang memuncak ketika si fotomodel yang terbunuh itu melengking kuat dan marah-marah pada sang pembunuh, yang mengingatkan kebenciannya yang terpendam pada ibunya.
“Oh ibu, dapatkah kau bersikap lembut padaku..?” Mungkin demikian jerit hati anak-anak lelaki kecil itu, pada masanya dulu, ketika sang ibu bersikap keras, otoriter dan menjerit-jerit tak keruan pada anak lelaki manisnya.