“Biarkan aku cemburu mas, karena aku mencintaimu." Hal itu tidak mudah untuk diabaikan. Tentu saja aku cemburu dan perih melihat dirimu melirik perempuan lain. Kau memuji masakan wanita lain sementara tidak ada sedikitpun kata pujian darimu untukku, bahkan melihatku dengan kagum saja hampir tak pernah, padahal aku pulang cepat-cepat agar mampu memberikan yang terbaik untukmu. Rumah telah ku tata dengan baik, makanan telah kusiapkan dengan teratur, kamar pun telah ku bersihkan, kuletakaan bunga diatas meja dan tak kubiarkan anak-anak meletakkan mainan sembarangan sampai kau datang. Namun kau datang tanpa senyum sedikitpun, hanya mengatakan kau lelah dan kau letakan semua dompet, pulpen, dasi kecuali handphone yang kau bawa masuk sampai kedalam kamar mandi, dan lagi-lagi tanpa senyum dan tanpa banyak tanya kau katakan bahwa kau lelah dan ingin cepat-cepat tidur saja.
Kau tak sanggup berkata-kata dan tak sanggup makan apapun walaupun aku menawarkan diri untuk menyuapimu mas, seperti dulu ketika kita baru menikah dimana kau dengan manjanya meletakan wajahmu dilenganku dan meminta aku menyuapimu sampai anak kita lahir satu persatu. Kemesraan itu tidak ada lagi sekarang namun aku tetap setia. Aku memandang lembut padamu namun kau balas tanpa lambaian, bahkan dengan desahan yang menunjukkan kalau kau lelah yang amat sangat. Perlahan-lahan ku tutup pintu dan kembali ke dapur agar air mata meleleh. Ku bereskan satu persatu semua perabot masak yang sengaja kubiarkan tanpa ku cuci agar aku siap bila kau memerlukan diriku setelah kembali dari perjalanan dinasmu yang memakan waktu 2 minggu.
Aku rindu padamu mas, juga anak-anak dan dalam diam hanya terdengar gemericik air dan denting piring kotor, aku mendengarkan ketiga anakku yang perlahan menghampiriku dan membantuku membersihkan dapur yang sudah hampir bersih. Perlahan aku menangis dan rasa sesal mulai timbul, mengapa aku menyingkirkan anak-anak hanya untuk mendapatkan cinta suamiku yang tak kunjung ku dapat, padahal cinta anak-anak kulihat lebih tulus dan mereka selalu menemaniku tanpa pernah selingkuh dan ketika kami, aku dan anak-anakku menunggu suami dan ayah kami terbangun dari tidurnya yang lelap, maka semua yang kami lakukan nampak tak berarti karena esok hari subuh. Setelah bangun dan shalat subuh dengan cepat, suamiku yang merupakan ayah dari anak-anakku harus pergi meninggalkan kami setelah menyerahkan amplop berisi uang belanja bulanan dengan tanpa sempat berkata apapun, hanya melambaikan tangan dari balik mobilnya. Kami kembali termangu serta air mata kami kembali meleleh dan menembus tirai sutra penutup jendela.
Dalam pilu dan sedihku ada rasa perih yang menyayat lambung hatiku dan kurasakan perih itu sepertinya kusimpulkan itu ada rasa cemburu, ya aku menyimpan cemburu pada pekerjaan dan kesibukan suamiku. Dengan tegar aku hanya mampu berbisik, “Biarkan aku cemburu dan tetap cemburu padamu mas, agar aku masih punya rasa bahwa aku adalah istrimu”, agar tidak ada kata cerai dari mulutku karena kesibukanmu pada pekerjaanmu menimbulkan ketidakpedulianmu pada istri dan anak-anakmu. Demi anak-anak, biarlah mereka tetap menyimpan rindu dan hormat serta kagumnya padamu dan biarlah aku terus cemburu agar aku mampu untuk menjagamu dalam hatiku dan tetap menyimpan sisa cintaku padamu agar sekali lagi tak terbesit keinginan cerai dihatiku karena ketidakpedulianmu pada aku dan anak-anakmu.”