Ketika akan memasuki Baitul Maqdis, akan disambut oleh pembesar Romawi dan masyarakat banyak, Umar disarankan mengganti pakaianya dengan yang mewah, mengganti ontanya dengan kuda yang gagah, Umar tidak mau bahkan marah seraya mengatakan, “ Kita adalah kaum yang diberikan kemuliaan oleh Allah dengan Islam. Bila kami mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka Allah akan menghinakan kita”.
Suatu kalimat yang mengandung nilai-nilai keimanan yang sempurna, ketakwaan yang tinggi, akhlak yang agung, yang tidak sembarang orang mampu mengucapkan kalimat yang tegas tersebut, apalagi di zaman sekarang, bujukan meterialis dan kapitalis sangat menggoda.
Umar paham dan tahu bahwa kemuliaan seorang muslim disisi Allah bukan terletak pada pakaian yang indah, rumah yang mewah, harta yang melimpah, memiliki banyak sawah, makanan yang berkuah, sekali lagi bukan itu ! Mulianya seorang muslim disisi Allah terletak pada ketakwaannya, sikap rela sepenuh hati dan mengamalkan secara sempurna ajaran yang mulia (Islam) yang bersumber dari Dzat Yang Maha Mulia, Allah Yang Maha Agung.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS: Al
Hujuraat/ 49 : 130)
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (QS: Al Maa’idah/5: 3).
Siapakah Umar yang telah berkata dengan tegas lagi bijaksana tersebut?
Umar yang dimaksud adalah Umar bin Kaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzaa bin Rabah bin Qurth bin Razah bin Ady bin Ka’ab bin Luay. Qiyadah (pemimpin) kaum muslimin yang bergelar Amirul Mu’minin, Abu Hafash Al Qurasyi, Al Adawi, Al Faruq.
Umar adalah sahabat Rasulullah saw yang memiliki kedudukan mulia disisinya bahkan pernah didoakan secara khusus. Imam Tirmidzi dan Al Hakim – dia menyatakan bahwa riwayat ini shahih – meriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir dia berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Andai kata setelahku ada nabi pastilah dia Umar”.
Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw berdoa kepada Allah:
“Ya Allah muliakanlah agama Islam ini dengan Umar ibnu Khaththab”.
(Hadits serupa diriwayatkan oleh Imam Ath- Thabarani dalam kitabnya Al Awsath dari hadits Abu Bakar, sedangkan dalam kitabnya Al Kabir dari hadits riwayat Tsauban).
Umar juga mertuanya Rasulullah saw, karena anaknya yang bernama Hafshah merupakan istri keempat Rasulullah saw setelah Khadijah binti Khuwailid, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar Siddiq.
Dalam rangka mengunjungi Baitul Maqdis di Palestina, tempat yang pernah dikunjungi Rasulullah saw dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj pada tahun ke 10 kenabian, Umar bin Khathathab meninggalkan kota Madinah, ibu kota pemerintahan Islam untuk sementara waktu.
Beliau meyerahkan urusan kota Madinah kepada sahabat seperjuangan dalam menegakkan agama Allah di muka bumi, menantu Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib.
Umar pergi ke Baitul Maqdis, Palestina atas usulan Ali bin Abi Thalib setelah menerima surat permohonan damai dari penduduk setempat yang dipimpin Uskup Agung Severinus.
“Pasukan Muslimin sudah bersusah payah menghadapi udara dingin, perang dan sudah lama meninggalkan kampung halaman… Kalau anda datang menemui mereka, kedatangan anda dan pasukan muslimin akan merasa aman, akan merasa sejuk. Semua ini akan membawa perdamaian dan kemenangan”, kata Ali bin Abi Thalib menyampaikan pendapatnya.
Umar berangkat meninggalkan kota Madinah menuju Baitul Maqdis dengan menggunakan unta kelabu, membawa dua buah karung, masing-masing berisi tepung gandum dan kurma, sebuah kirbat di depannya berisi air penuh dan sebuah bokor tempat makanan di belakangnya.
Beliau mengenakan baju gamis tebal terbuat dari kapas bergaris-garis yang sisinya sudah sobek.
Ketika akan sampai di tempat tujuan, Umar bin Khaththab sebagai seorang khalifah, pemimpin kaum muslimin, qiyadah bagi pengikutnya, melangkahkan kaki, mengayunkan tangan sambil menuntun ontanya, pembantunya yang bernama Maisarah duduk dipunggung onta.
Maisarah merasa tidak enak dan agak rikuh ketika Baitul Maqdis sudah ada di depan mata, para pembesar Nashrani dan masyarakat umum sudah siap menyambut kedatangan Umar bin Khaththab, pemimpin kaum muslimin. Umar tetap melanjutkan perjalanannya dan menyuruh pembantunya tetap diatas punggung onta, karena berdasarkan kesepakatan mereka berdua, mereka akan bergantian untuk naik onta dan menuntun onta, ketika akan sampai di tempat tujuan tibalah giliran Umar, beliau konsisten terhadap janji.
Sebagai pemimpin, Umar telah memberikan keteladanan yang agung kepada kaum muslimin terutama para pemimpin yang telah diberikan amanah mengurus umat nabi Muhammad saw, untuk konsisten terhadap janji, tidak “mentang-mentang”, tidak zalim kepada pengikut, pendukung atau pembantunya.
Umar tidak merasa hina menuntun onta dengan pakaian yang sangat sederhana sedangkan pembantunya tetap duduk dipunggung onta. Padahal beliau seorang penguasa kaum muslimin yang kekuasaannya sudah luas, yang terbentang dari Yaman sampai Syam.
Umar telah membuktikan, dengan takwa yang sebenar-benarnya, sikap hidup yang sederhana, jujur dan amanah, ada kepedulian kepada umat, menghargai pengorbanan prajuritnya yang telah berjuang dengan jiwa dan raga. Sehingga Umar dihormati oleh pengikutnya dan disegani oleh lawannya.
Kisah Umar bin Khaththab ke Baitul Maqdis telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada kita, bagaimana seharusnya menjadi pemimpin umat,
Semoga kita dapat masuk Baitul Maqdis dan membantu rakyat Palestina agar lepas dari belenggu penjajah Zionis Israel.
H. Ferry Nur, S.Si
Emai : [email protected]
Website : www.kispa.org
Salurkan Infaq Peduli Al Aqsha
Ke Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Slipi
No. Rek. 311.01856.22
an Nurdin QQ KISPA