“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al-Azhab. 35)
Ayat di atas bisa jadi telah menjadi inspirasi banyak perempuan akan persamaan hak dan kewajiban sebagai hamba Allah. Jika laki-laki bebas menuntut ilmu, perempuanpun demikian. Jika laki-laki bisa bekerja mencari rezeki, perempuanpun bisa bekerja mencari rezeki. Hari ini kita melihat banyak perempuan-perempuan yang melanjutkan pendidikannya hingga S2 dan S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak juga pos-pos penting dalam sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh seorang perempuan. Hampir tidak kita temui lagi sekat antara laki-laki dan perempuan dalam segala urusan, keduanya memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk maju dan berkembang.
Diantara perbedaan yang semakin tipis itu, ada sebuah kenyataan yang tidak bisa dinafikkan oleh apapun bahwa perempuan memiliki peran ganda yang menyebabkan langkahnya dibatasi oleh fitrahnya yaitu hamil, melahirkan, menyusui dan menjadi madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknnya.
Saya sedang menyelesaikan program doktor ketika saya menikah beberapa tahun lalu. Saat itu boleh dikatakan saya adalah seorang workercholic. Sambil menyusun disertasi saya bekerja kadang sampai malam, bahkan sabtu minggu kalau ada proyek pasti saya “sikat”. Waktu itu saya sendiri, tidak ada suami yang harus saya tunggu untuk disiapkan secangkir teh hangat kala dia pulang bekerja. Tidak ada bayi yang harus disusui dan membutuhkan belaian serta kasih sayang.
Rumusan tentang keluarga dan karir telah saya petakan sedemikian rupa sebelum menikah. Saya berharap rumah tangga saya adalah inspirasi dan cahaya buat masyarakat, sakinah, mawadah dan rahmah. Saya ingin anak-anak saya hari ini adalah pemimpin kelak di zamannya. Untuk cita-cita besar ini ada suatu sikap besar yang harus saya pilih yaitu mendahulukan kepentingan keluarga di atas karier yang terbentang luas. Harganya tentu tidak murah, perlu keikhlasan dan pengorbanan agar harapan saya hari ini menjadi kenyataan hari esok.
Saya memutuskan berhenti bekerja, pilihan yang tidak populis bagi sebagian orang. Diantara kesibukkan menyelesaikan disertasi suatu tugas penting berhasil saya tunaikan yaitu memberi ASI ekslusif untuk kedua bayi saya. Alhamdulillah kedua anak saya tumbuh dan berkembang di atas anak rata-rata seusia mereka, jarang sekali sakit bahkan si kecil hingga 19 bulan usianya kini belum pernah ke dokter. Sungguh saya bersyukur pada Allah atas karunia ini.
Saya bangga melihat perkembangan perempuan hari ini, bisa sekolah tinggi dan bekerja di tempat yang baik. Tapi ada satu hal yang membuat saya sedih, tingginya pendidikan perempuan dan pekerjaan yang mapan menghalanginya menjalankan fitrahnya memberi ASI hingga anak-anaknya berusia 2 tahun. Saya saksikan teman-teman yang juga sedang mengambil doktor dengan berbagai alasan tidak menyusui anaknya. Sering juga saya temui karena alasan pekerjaan seorang ibu tidak menyusui anaknya, bahkan diantaranya ada dokter dan perawat.
Pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang mapan apakah kemajuan atau sebuah kemunduran? Jika seorang ibu menganti ASI-nya dengan susu formula karena alasan sedang melanjutkan pendidikan atau karena bekerja berarti ia telah mengingkari fitrah keperempuanannya, ia telah mengabaikan amanah Allah. Maka tidak heran hari ini kita sering mendengar ada anak yang membangkang kepada orang tuanya, ada anak yang tidak nurut kepada ibu bapaknya, ada anak yang nakal dan prilaku negatif anak lainnya bisa jadi disebabkan karena ibu melawan fitrahnya, ibu tidak menyusui anaknya malah mengantinya dengan susu sapi. Sering juga kita saksikan di rumah sakit, puskesmas penuh dengan anak-anak dengan berbagai macam penyakit. Bisa jadi rentannya mereka terhadap penyakit karena anak-anak kita tidak memiliki daya tahan tubuh yang baik disebabkan sejak bayi sang ibu tidak memberi ASI dengan sempurna.
Ya Allah zaman apakah yang sedang berlaku hari ini? Berilah kesadaran kepada perempuan (setinggi apapun pendidikan dan kariernya) bahwa memberi ASI adalah kewajibannya bagaimanapun kondisinya.
Yuuuu beri anak-anak kita ASI ekslusif hingga 6 bulan dan lanjutkan hingga 2 tahun.
Walahualam bishowab.
Yesi Elsandra
Candidate Doktok Political Marketing