Di Jepang, Valentine Day juga merebak di negeri ini. Uniknya kaum wanita lah yang akan menyerbu toko coklat, boneka Teddy Bear coklat atau permen coklat, pokoknya yang ada coklatnya. Terutama bagi kaum muda, begitu takutnya dibilang tidak punya kekasih, mereka juga bersedia membuat kue coklat sendiri. Sampai berusaha mencari katalog bentuk aneka ‘heart’ si lambang cinta, jauh-jauh hari. Aih, repotnya wanita Jepang ini.
Tahukah untuk siapa mereka membeli atau membuat coklat? Mudah menebaknya; jelas untuk pria! Katanya: “Untuk ungkapan rasa sayang kepada kekasih pujaan hati.” Kadang juga diberikan kepada banyak pria, dengan harapan salah satu bersedia melirik dirinya. Jadi ujung-ujungnya soal cinta-cintaan. Entah apa isi ajaran itu, jadi mudah menyebar, peminatnya tinggi. Biasanya tepuk sorai setan sangat membahana di areal maksiat bukan?
Ada coklat bernama ‘giri choco’ alias coklat bukan berdasarkan cinta. Wanita, baik sudah menjadi ibu atau usia belia, Menjadi mangsa empuk, tetap ‘dipaksa’ membeli coklat. Walau sudah mengaku berkeluarga atau tidak punya kekasih hati, wanita ‘harus beli’ coklat. Yang pintar dan untung yah bos coklat. “Ayo beli produk kami!” kira-kira begitu inti marketing penjualannya. Pokoknya toko coklat mengeruk kocek penuh di hari itu.
Di Jepang apa saja laku! Bazar mie goreng Indonesia alakadarnya saja laris manis. Sepertinya orang Jepang suka makanan dan budaya unik. Bagaimana dengan tanah air? Ternyata sama saja, mudah sekali men-copy paste budaya luar negeri untuk dikonsumsi, seperti hari valentine begini. Anggap orang Jepang tak urusan dengan agama. Tapi kita? Naif sekali kalau sebagai muslim ikut berpesta. Padahal di berbagai media, juga Era Muslim, sudah sering mengusung berita pencerahan ini, tiap tahun!
*
Saya dan satu gadis kecil di rumah, tidak repot beli coklat. Teman sekolah anak sering bertanya (tiap tahun) “Coklat apa yang akan kamu beli atau buat besok?” Anak-anak hanya menjawab: “Kami muslim”. Kebetulan guru wali kelas tak sengaja ikut mendengar jawaban sederhana si adik. Dan jawaban tersebut dikonfirmasi ke rumah kami. Saya menjawab mudah; bahwa setiap hari di rumah kami berlaku kasih sayang. Memberi hadiah yang diajarkan agama Islam, jauh lebih hakiki, bukan sebentuk coklat yang mudah lumer itu.
“Tuntunan yang dibawa oleh Rosululullah Muhammad SAW, satu-satunya tauladan umat muslim. Kami tidak mengikuti ajaran St.Valentine yang bukan muslim. Dan untuk merayakan dalam bentuk materi (hadiah) tiap tahun juga ada dalam Islam. Pada saat kita mengeluarkan zakat fitrah dan berkorban. Memberikan materi kepada orang yang sungguh memerlukan, tanpa mengharap sesuatu, kecuali ridho Ilahi.”
*
Sebagai muslim kita melimpahkan dan menunjukan kasih sayang sepanjang tahun. Satu hari lima kali. Betapa tidak, bacaan sholat adalah puja-puji kita kepada Tuhan yang telah mencintai kita sepanjang waktu. Hadiah do’a yang kita panjatkan pun, satu hari lima kali untuk orang-orang terkasih dan kita sayangi. Tak terbatas kepada keluarga inti sebagai kekasih saja. Tapi kepada semua muslim dan umat manusia agar memperoleh hidayah-Nya.
Jum’at 13 Februari kemarin, ketika di kelas anak bungsu kami, banyak murid meminta izin pesta Valentin. Dan guru wali kelas itu mengatakan: “Kita bangsa Jepang pemeluk Budha, bukan Kristiani. Valentin dirayakan oleh pemeluknya.” Kelas riuh rendah kecewa. Tapi senyum mengembang di bibir anak kecil perempuan itu. Karena ia tak pusing ditanya kenapa tidak membeli coklat. Pulang sekolah tadi, ia berucap dengan sumringah; “Yokatta, tak ada hari coklat ma!” (end)
**
Note: Yokatta: untung, syukur.