Marah, kesal, jengkel atau sedih…Entahlah…. Aku tidak bisa menyatakan perasaanku saat ini. Menunggu memang sangat sangat tidak menyenangkan. Hampir tiga bulan kami menunggu selesainya visa student Muja. Tapi sampai saat ini masih belum selesai.
Tanggal 21 Nov 09, suamiku sudah memasukkan berkas-berkas untuk mengurus visa kami sekeluarga. Jauh-jauh hari aku memang meminta supaya visa student Muja diurus cepat. Tujuannya supaya ia bisa masuk sekolah tepat dihari pertama masa persekolahan. Pengalaman teman-teman sebelumnya, perlu menunggu satu bulan untuk bisa sekolah.
Aku kasian aja… coz sebelumnya Muja terputus sekolah tadikanya. Satu setengah tahun ia gak sekolah tadika. Jadi menurutku ia perlu waktu penyesuaian di awal sekolah. Kalau sekolah sudah berjalan sebulan lebih, tentu berbeda suasananya dengan awal sekolah.
Apa yang aku khawatirkan ternyata memang terjadi…..
Seminggu sebelum sekolah dimulai, suamiku selalu mencek setiap hari ke SPS bagian imigresen. Petugas menjanjikan hari Senin (hari pertama sekolah) visa selesai. Muja sudah tak sabar menunggu. Ketika ayahnya akan berangkat pagi itu ke SPS ia sangat antusias melepas kepergian ayahnya.
“Nanti langsung telfon ya yah, kalau visa Muja sudah selesai…”. Menunggu berita dari ayahnya, ia seperti orang sibuk. Mondar-mandir…mondar-mandir gak tentu arah. Kadang ke ruang tamu, ke kamar, atau ke dapur. Sambil sesekali ngomong sendiri.. “kok lama ya…ayah ngasih kabar…”. Tiap sebentar ia memintaku untuk menelfon ayahnya. Tapi selalu kusabarkan.. “sabar ya Muja… ayah lagi ngurus visa Muja… sebentar lagi Insya Allah ayah nelfon… “. Hatikupun berkata, kalau visanya tak selesai hari ini. Pukul sebelas siang Muja tak tahan lagi. Diapun meminta HPku. “Muja mau nelfon ayah, ummi…”. Sebelum HP kuserahkan, kubujuk ia. “Nanti kalau visa Muja belum selesai, Muja sabar ya sayang, kita tunggu sampai visanya selesai…ya…”. Walau sepertinya berat, tapi ia tetap mengangguk.
Ada sedikit raut kecewa diwajahnya, ketika ayahnya mengatakan kalau visa belum selesai. “Yaaa…. Muja tak bisa pergi sekolah hari ini… jadi kapan visa Muja selesai yah ???”. Ayahnya menjawab dalam tiga hari ini. “Kalau gitu hari Rabu visa Muja selesai dan Muja bisa pergi sekolah…”. Tampak kegembiraan terpancar diwajahnya.
Hari Rabu pagi kembali Muja ‘bernyanyi’. Tiap sebentar ia berkata “jangan lupa nanti urus visa Muja ya yah…”. Ketika ayahnya sudah berangkat pagi itu ke SPS, ia langsung mandi. Malah sudah tak sabar untuk segera memakai seragamnya. Aku langsung mengantisipasi kalau-kalau hal seperti hari Senin lalu terjadi lagi. “Nanti saja pake seragamnya sayang… kita tunggu dulu telfon dari ayah…sabar ya…”. Alhamdulillah, ia menurut. Waktu berlalu, dengan sabar ia menunggu telfon dari ayahnya. Karena telfon dari ayahnya tak kunjung datang, kembali ia meminta HP ku. “Lama sekali ayah nelfon, Muja udah gak sabar mau sekolah….”. Akhirnya kutekan nomor ayahnya.
Wajahnya tampak sangat murung mendengar kabar dari ayahnya. Hanya sesaat, HPku langsung dikembalikan, kemudian ia menelungkupkan wajahnya ke bantal. Sedikit demi sedikit kudengar isakannya. Kubelai punggungnya… alangkah terlukanya hati Mujahidku ini…..Kubujuk ia, “Muja sabar ya sayang…. Nanti kalau visa Muja sudah selesai, Muja langsung pergi sekolah…waktu shalat nanti jangan lupa berdoa pada Allah supaya visa Muja cepat selesai….”. Walau sudah kehilangan kata, aku tetap berusaha menghiburnya. Air mata menetes satu persatu di pipinya, ia menangis tanpa suara.
Kusembunyikan air mata dan wajah sedihku dihadapannya. Kupeluk jagoanku dalam diam. Aku tak berkata apa-apa lagi. Dulu ia sangat lapang dada ketika aku memintanya untuk belajar di rumah bersamaku pada usia tadikanya. Sempat beberapa kali ia complaint karena tidak bisa sekolah tadika, tapi ia akan menunduk jika kukatakan “Muja kan belajar di rumah sama ummi, karena ummi harus jaga adek Widad…katanya Muja mau bantu ummi…”.
Sekarang, disaat segala keperluan sekolahnya sudah siap, ia pun harus berlapang dada lagi menunggu syarat mutlak untuk bisa bersekolah di Malaysia ini.
Walau suamiku sudah berusaha mencari alternative dengan meminta surat keterangan dari SPS yang menyatakan bahwa visa Muja sedang dalam pengurusan, tapi sang guru besar (kepala sekolah) tetap tidak memberi izin agar Muja bisa ikut belajar dulu. “Maaf, tidak boleh. Karena sekolah sudah pernah ditegur Dinas Pendidikan sebelumnya. Biar dia belajar di rumah saja dulu sampai visanya selesai…”.
Alhamdulillah, karena sudah biasa belajar bersamaku di rumah, Muja akur saja ketika kuajak belajar bersama. Ia pun mengerjakan buku-buku latihan yang sudah kami beli sebelumnya di kedai buku sekolah. Sesekali ia berkata “kenapa lama sekali visa Muja selesai…. Kenapa Muja tak jadi orang Malaysia saja…. Kalau sekolah tak pakai visa…”.
Waktu terus berlalu. Setiap minggu suamiku senantiasa mencek ke SPS. Jawaban dari petugas selalu sama “maaf, belum selesai lagi, mungkin minggu depan..”. Aku hanya bisa mengurut dada mendengar kalimat yang persis sama setiap minggu. Dan seiring berjalannya waktu, Muja tak pernah lagi menanyakan tentang visanya. Ia lebih banyak menghabiskan harinya dengan membaca buku. Sudah dua minggu ini buku ‘Kisah Teladan 25 Nabi’ dilahapnya. Setiap selesai membaca dengan antusias ia akan menceritakan kisah nabi yang sudah dibacanya.
Minggu ini sudah minggu ketujuh masa persekolahan. Ketika kutanyakan apa Muja gak ingat lagi mau pergi sekolah, dengan tenang ia menjawab “Kan visa Muja belum selesai, ummi…..”. Dan ia akan kembali asyik dengan aktivitasnya, membaca atau menggambar. Tanpa bertanya lagi, kapan visa selesai.
Sedikit rasa khawatir terselip dihatiku. Apa jagoanku ini sudah kehilangan semangat untuk sekolah? Ya Allah, semoga bukan karena itu. Harapanku, ini adalah salah satu latihan kesabaran buatnya. Hidup yang begitu banyak halangan dan rintangan ini, akan dapat dihadapinya dengan lapang dada tanpa harus berkeluh kesah…Semoga ya sayang…
Visa…oh…visa… kau cuma selembar kertas…tapi sangat menentukan nasib sekolah buah hatiku di negeri jiran ini.