Kebahagiaan menyelimuti keluargaku ketika putri ke tiga kami ‘Widad’ hadir melengkapi kehidupan ini. Bukan hanya kami sebagai orang tua yang merasakannya, tapi juga kedua jagoan khususnya si sulung ‘Jundullah’. Ya, Jundi memang sangat merindukan hadirnya seorang adik perempuan. Ketika mengetahui bahwa ia akan segera mempunyai seorang adik lagi, sering ia berkata, “Jundi maunya adik perempuan ummi, tapi kalau Allah kasih adik laki-laki lagi juga gak apa-apa…” Atau di lain waktu ia akan berucap, “Ummi, tadi waktu shalat Jundi berdo’a supaya Allah memberi adik perempuan…” Alhamdulillah, aku senantiasa tersenyum mendengar ucapan-ucapan yang cukup bijak untuk anak seusianya.
Silih berganti teman-teman datang menjenguk Widad. Baik teman sesama dari Indonesia atau orang Malaysia. Jundi senantiasa antusias menyambut mereka. Kedatangan mereka yang selalu disertai ‘kado’ seperti hiburan tersendiri baginya. Begitu teman-temanku pulang ia akan berebut dengan adiknya membuka bungkus kado. Isi kado yang sebagian besar adalah baju bayi perempuan akan dipandangnya untuk beberapa saat, sambil berucap “Waaahhh… Cantik-cantik ya ummi, baju anak perempuan itu. Lucu-lucu. Warnanya juga pink. Nanti kalau Widad pakai baju ini pasti tambah cantik…” Ia pun akan membantu menyimpannya dengan rapi dalam lemari.
Suatu siang empat orang temanku, yang merupakan student UTM, datang menjenguk si cantik kami. Begitu mereka pulang, kado yang dibawanya kuletakkan diatas meja tamu tanpa sempat kubuka karena keburu dipanggil Widad. Sore hari menjelang magrib, Jundi pulang dari sekolahnya. Begitu melihat kado yang berukuran cukup besar ia langsung meminta izin untuk membukanya. Duh… Begitu semangat Jundi, sampai-sampai kertas kado dikoyakkan dan kotaknya pun nyaris dirusak, kalau saja tidak kutegur. Ternyata isi kado itu adalah sebuah gendongan bayi model ransel berwarna biru tua. Tak henti ia berucap, “Cantik ya, ummi…bagus…” Berulang kali kata itu terucap. Tak hanya itu, ia pun mencoba memakai gendongan bayi tersebut. Ketika ayahnya pulang dari makmal pada malam hari, ia pun tak lupa melapor kalau adiknya sudah punya gendongan bayi yang cantik. “Ah…, seperti mendapat emas permata aja anakku ini,” pikirku.
Sore itu aku sedang mengangkat jemuran ketika kudengar langkah kakinya memasuki rumah sepulang dari sekolah. Masih dengan pakaian seragamnya, ia mendekatiku dan mengajukan pertanyaan, “Ummi, nanti kalau Widad sudah besar dan Ummi tak perlu lagi gendongan bayi itu, gendongan bayinya ummi apain?” “Ya… belum tau… kita liat aja nanti…” jawabku sambil lalu. Aku begitu disibukkan dengan pekerjaanku. “Ummi kasihkan ke orang ya?” Masih belum puas ternyata, ia tetap bertanya. “Ya, mungkin… kita liat aja nanti… kenapa memangnya Jundi? Itu kan masih lama. Gendongan bayi itu bisa dipakai sampai Widad pandai berjalan sendiri. Mungkin umur setahun…” jawabku. Aku merasa heran, sejak kemarin ia begitu ‘disibukkan’ oleh gendongan bayi itu. Keherananku bertambah ketika ia berkata “Ummi gak kasihkan ke Jundi gendongan bayinya?” Ekspresi wajahnya tampak penuh harap. “Lho… untuk apa sama Jundi? Masak gendongan bayi mau dijadikan mainan?” Dan… Jawabannya nyaris membuat tawaku meledak. “Untuk anak Jundi, Ummi… nanti kalau Jundi sudah menikah dan punya anak, Jundi mau menggendong anak Jundi pakai gendongan bayi itu…” Kusimpan tawaku dihadapan buah hati yang waktu itu baru berumur sembilan tahun. Aku memang selalu berusaha menghargai setiap ucapannya. “O… gitu ya, ya boleh. Nanti kalau Widad sudah tak perlu lagi, gendongan bayinya boleh untuk Jundi. Jundi simpan baik-baik ya…” Begitu sumringah wajahnya mendengar ucapanku. Dan aku masih mengulum senyumku.
Tawaku tak dapat lagi kutahan ketika bercerita pada ayahnya. “Waduh… anak ayah, jauh-jauh hari sudah menyiapkan gendongan bayi untuk anaknya…” Sambil terkekeh-kekeh kuceritakan peristiwa sore tadi. Namun, aku langsung terpana ketika suamiku mengomentari kisah tadi dengan agak serius. “Alhamdulillah, Jundi romantis sekali ya… Itu berarti dalam pandangannya mempunyai anak adalah sesuatu yang sangat membahagiakan, sampai-sampai dia sudah berfikir kearah itu. Dan itu juga berarti baginya hidup berkeluarga itu adalah sangat menyenangkan.”
Subhanallah, aku tidak pernah berfikir sampai kesana. Terkadang Jundi memang suka mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pernikahan dan keluarga. Misalnya ia pernah bertanya, “Ummi, nanti kalau Jundi mau menikah, ummi yang carikan Jundi istri ya?” Atau “Jundi nanti maunya punya istri seperti ummi, pintar masak, menjahit, mengurus rumah dan bisa mengajar matematika…”
Kepolosannya menggambarkan pandangannya terhadap sebuah keluarga. Jundi memang suka sekali memperhatikan kami (kedua orang tuanya). Ketika kami ngobrol ia suka mencuri dengar, kadang suka menimpali perbincangan kami dengan berbagai pertanyaan. Pernah pada suatu hari obrolan kami terhenti ketika suamiku memberi isyarat bahwa Jundi ‘nguping’. Ternyata ia asyik mendengar, dengan menyembunyikan kepala di balik gorden kamarnya. Ketika ketahuan, ia senyum-senyum sendiri. Esok harinya ia akan ‘menyelidiki’ perbincangan kami dengan bermacam tanya.
Ya Allah, semoga anak-anakku dapat terus tumbuh dalam keluarga kami yang sakinah mawaddah dan rahmah. Terus tumbuh dan membesar dalam keluarga yang menyayangi dan mengasihinya dengan penuh cinta. Terus tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendidiknya untuk menjadi hamba yang selalu mencintaiMu. Tumbuh dan berkembang untuk menjadi pembela agamaMu… Aamiin.