Saya, Hari Kartini dan Emansipasi Wanita

Seorang kerabat kerap bertanya pada saya, mengapa saya seperti tidak ingin mengembangkan karier saya. Bekerja di perusahaan yang sama selama lebih dari 12 tahun, dan saat ini “hanya” menjadi seorang Supervisor :)

“Semua orang itu harus berkembang, Yeni… Ngapain loe di sana terus dan menjadi nothing, sedangkan dengan kemampuan dan pendidikan S2 loe, di tempat lain loe bisa menjadi something? Loe udah terlajur terjebak comfort zone soalnya sih….” kecam kerabat saya.

Well… harus saya jawab bagaimana ya? hehehehe… Mungkin sulit untuk manusia masa kini – seperti kerabat saya tersebut – mengerti, bahwa saya berusaha tetap setia dengan komitmen dan tujuan utama saya bekerja : untuk membantu suami, sebagai tambahan nafkah keluarga, disamping untuk kemandirian financial. Jadi, meskipun saya bekerja, tujuan utamanya adalah untuk keluarga, bukan untuk ambisi pribadi saya.

Alhamdulillah dalam hal karier, saya memiliki panutan yang sangat dekat. Saya dibesarkan oleh seorang Ibu yang juga bekerja, menjadi seorang Guru. Berulangkali Ibu ditawari menjabat menjadi Kepala Sekolah, Ibu menolak, hanya bersedia sampai ke jenjang Wakil Kepala Sekolah saja. Bukan karena Ibu tidak mampu – saya sangat yakin beliau memiliki kemampuan untuk itu – tapi beliau menolak karena tidak sanggup memenuhi konsekuensi jabatan tersebut, karena dengan menerima jabatan Kepala Sekolah, berarti Ibu tidak bisa bebas pindah mengikuti Papa jika Papa dipindahtugaskan ke kota lain. Masa kecil saya berpindah-pindah, dari Padang, Bogor, Pontianak, Palembang dan kemudian Jakarta. Meskipun bekerja, tapi Ibu bekerja untuk membantu keluarga, sehingga prioritas beliau pun tetaplah keluarga, termasuk dalam hal karier.

Hari ini, pada tanggal 21 April yang diperingati semua Wanita Indonesia sebagai Hari Kartini, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri, tentang makna Emansipasi, yang sering didengungkan sebagai persamaan derajat, persamaan hak antara pria dan wanita…

Dulu, saat masih belum menikah, saya termasuk pendukung emansipasi yang berapi-api heheheh…. sampai suatu saat seorang teman yang sudah saya anggap kakak mengeluarkan pertanyaan yang menggelitik, “Mengapa hanya menuntut persamaan derajat dan hak? Mengapa tidak persamaan kewajiban juga? Bukankah sejak SD kita selalu belajar mendahulukan kewajiban baru menuntu hak?”
“Bukankah saat kamu tidak mendapat tempat duduk di bis, dan melihat seorang pria sedang enak duduk dalam hati kecilmu terlintas, ‘dasar pria, bukannya memberi tempat duduk kepada wanita dulu’?”

Saya tertegun. Dan berpikir.

Ya, sejak kecil di Indonesia kita selalu diminta untuk belajar mendahulukan kewajiban. Mengapa?

Saat itu saya menyadari alasan kita diminta mendahulukan kewajiban daripada hak, yaitu karena kewajiban kita merupakan hak bagi orang lain. Jika semua orang melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka tidak akan perlu ada hak yang dituntut karena secara otomatis sudah terpenuhi :)

Akhirnya saat sejak itu pandangan saya tentang emansipasi jauh bergeser.

Bagi saya, Emansipasi berarti meletakkan wanita pada tempatnya, memenuhi haknya secara wajar, namun dengan tidak meninggalkan kewajibannya.
Bagi saya, Emansipasi berarti perlunya pendidikan yang tinggi bagi wanita agar wanita memiliki ilmu dan rasa percaya diri, karena wanita akan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya, menjadi teman berdiskusi bagi suaminya dan memiliki peran sebagai anggota masyarakat pula.
Bagi saya, Emansipasi berarti perlunya wanita dihargai, karena dengan dihargai wanita akan tenang hatinya, dan ketenangan hati seorang wanita menjadi sumber ketenangan bagi seluruh anggota keluarganya.

Saat ini dengan berbagai pertimbangan, memang betul saya belum bisa memenuhi panggilan fitrah menjadi seorang Ibu Rumah Tangga. Tetapi alhamdulillah saya bekerja pada perusahaan yang sungguh memahami dilema ibu bekerja. Pada jam kerja saya masih sempat memantau kondisi anak-anak melalui telepon. Sedangkan pada jam istirahat dan jam kerja saat pekerjaan tidak terlalu padat saya masih bisa menulis dan memantau email milis (Natural Cooking Club : http://www.NCC-Indonesia.com) dimana saya menjadi salah seorang di antara 7 moderatornya, yang berjibun traffic emailnya heheheh….

Di luar jam kerja, saya menjadi milik keluarga sepenuhnya. Perhatian kantor saat keluarga karyawan sedang ditimpa musibah (saat putri saya meninggal dunia di Th 2006, saya dibebaskan mengambil cuti tanpa batas untuk mengatasi duka dengan tetap digaji & diluar cuti tahunan – saya mengambil cuti duka 2 minggu penuh untuk mendampingi putra saya yang merasa sangat kehilangan adiknya) dan kemudahan izin jika ada anggota keluarga yang sakit – tentunya tetap dengan tidak mengabaikan tanggung jawab pekerjaan – menjadi salah satu alasan saya betah bekerja di perusahaan ini, meskipun saya hanya seorang “Supervisor”.

Alasan utama? Karena saya mencintai pekerjaan saya di perusahaan ini :) Bidang kecintaan saya adalah keuangan, dan saya sejak awal bekerja di bidang keuangan.

“Gue nggak mencari jabatan, tapi gue mencari kepuasan kerja. Terus terang gue malah agak sedikit takut dengan jabatan heheheh…” jawab saya dengan nada bercanda kepada kerabat saya tersebut.

Namun jujur, bagi saya, jabatan yang lebih tinggi identik dengan tanggung jawab yang lebih berat.
Comfort Zone? Mungkin benar. Saya terlanjur menikmati mendapat nafkah – meskipun tidak sebesar yang menurut kerabat saya patut saya terima heheheh – namun tetap dapat memfokuskan perhatian pada keluarga, dan tetap bisa mempunyai komunitas dan menjalankan hobby pula :)

Bayangan jika saya menjadi “Wanita Karier” yang sesungguhnya, dengan jabatan yang tinggi, dengan tanggung jawab yang berat pula, yang pergi dari pagi hari dan pulang tengah malam demi karier saya, yang saat liburan keluarga masih juga diganggu masalah kerja, atas nama emansipasi, tapi menyerahkan anak-anak yang seharusnya menjadi tanggung jawab saya selama hampir 24 jam kepada wanita lain, pengasuh mereka. Bagi saya, itu berarti saya mengambil hak saya tapi mengabaikan kewajiban saya, yang pada akhirnya mengabaikan hak anak-anak saya.

Bagi saya, “I’m nothing” bukanlah karena saya tidak memiliki jabatan dengan gaji tinggi yang mengikutinya.

Bagi saya, “I’m nothing” jika saya tidak memiliki cinta anak-anak dan suami saya, “I’m nothing” jika saya mengerjakan pekerjaan yang tidak saya cintai hanya demi uang, “I’m nothing” jika saya tidak menguasai bidang pekerjaan saya, dan “I’m nothing” jika saya tidak memiliki teman sejati melainkan hanya memiliki teman yang bersedia bersama saya untuk berhura-hura :)

Alhamdulillah, saat ini saya masih bisa berjalan selaras dengan keduanya, pekerjaan dan keluarga.

Namun, jika suatu saat pun saya harus memilih salah satu antara pekerjaan atau keluarga, saya rasa tanpa keraguan sedikitpun, saya akan berhenti bekerja dan tetap akan memilih keluarga, dimana saya tetap bisa berkarier sebagai Manager Operasional Rumah Tangga, sebagai Guru bagi anak-anak saya, dan sebagai Manager Keuangan Keluarga sesuai bidang kecintaan saya :)

Apakah dengan prinsip saya mengutamakan keluarga meskipun bekerja akan membuat Ibu Kartini kecewa?

Insya Allah tidak, karena saya yakin, jika Ibu Kartini masih hidup, beliau pun akan menganggap betapa mulianya seorang wanita yang mengutamakan keluarga :)

Selamat Hari Kartini, Wanita Indonesia !

Jakarta, 21 April 2011
Yeni Suryasusanti