Yang Selalu Muda

Namanya Pak Saefudin. Lelaki berputra tujuh. Pertama kali melihat wajahnya ketika sama-sama mengikuti acara malam bina iman dan taqwa (mabit). Sekira, enam bulan yang lalu. Waktu itu belum kenal baik. Saya ingat betul, beliau menjadi pembedah salah satu buku bertema dakwah. Sepintas saya perhatikan, pembawaannya tenang, membedah isi buku pelan-pelan, tidak tergesa-gesa, mengesankan seorang yang mempunyai pemikiran tertata dan sistemik

Lama sekali saya tak bertemu dengannya. Kemudian, Allah SWT memperjumpakanya kembali dengan saya dalam sebuah forum. Beberapa hari yang lalu saya berinteraksi inten dengannya ketika beliau menjadi ketua panitia acara yang digelar IKADI (Ikatan Da’i Indonesia) Cabang Banyumas. Sementara, saya mendapat amanah untuk mengawal acara dari awal sampai akhir (menjadi MC). Dari forum itulah sedikit saya mengenali aktivitas beliau yang ternyata pejabat penting sebuah Bank besar di Purwokerto.

Beliau bergabung dan membantu IKADI karena menyadari bahwa pemahaman keIslaman di Banyumas masih rendah. Maklum, daerah ini memang kental nuansa “merahnya” daripada nuansa “hijaunya”. Atas dasar itulah beliau bergabung. Ketika diadakan taaruf (perkenalan) dalam acara IKADI yang berlangsung di bukit Baturraden tersebut, dari sanalah saya mengetahui salah satu penyebab kegelisahaannya akan pemahaman keIslaman dalam masyarakat.

Beliau bercerita, suatu ketika bertemu dengan seorang dokter spesialis penyakit jantung, dia seorang muslim. Saat menangani seorang pasien, dia sudah angkat tangan, tidak mampu mengobatinya. Nah, karena ketidakmampuanya itu, anehnya malah menyarankan kepada sang pasien untuk berobat saja ke dukun, bukan merekomendasitan misalnya ke dokter yang lebih pintar atau rumahsakit yang memungkinkan sembuhnya penyakit. Atas pengalaman nyata itu, Pak Saefudin tergerak untuk bergabung dalam dunia dakwah, khususnya menanamkan Islam yang benar di lingkungan tempat kerja dan relasinya.

Satu hal yang membuat saya salut, dilihat dari segi usia, dia lebih tua dan lebih sibuk dari saya. Tapi semangatnya selalu muda.

Semakin mengenalnya, diam-diam saya jadi malu sendiri. Usia saya menginjak seperempat abad. Seusia ini, tentu saja masih tergolong darah muda. Seharusnya, mampu memainkan peran yang lebih besar di kancah dunia dakwah karena setiap muslim mempunyai kewajiban untuk itu. Energi masih besar, tenaga masih kuat, urusan kehidupan juga belum terlalu disibukkan dengan pekerjaan maupun keluarga. Sayangnya, saya masih belum juga mampu mengemban beban dakwah yang lebih besar. Membina kader dakwah juga masih tertatih-tatih, bahkan satu persatu jarang muncul dalam acara pertemuan pekanan.

Saya kadang juga merasa tua. Ketika ada sebuah tantangan dakwah, saya kadang masih malas untuk mengambilnya. “ Ah biar yang muda-muda saja lah”, ini alasan yang sering muncul dalam benak saya, padahal sebenarnya saya masih bisa mengemban amanah itu. Alasan merasa sudah tua inilah yang sering menghinggapi saya, padahal kalau dipikir-pikir, semuanya hanya perasaaan saja, justru perasaan ini bisa melemahkan. Usia mungkin boleh tua, tapi semangat tepat muda. Mungkin, inilah yang perlu dipegang sampai kapanpun, sampai kita mati, selalu muda. Usia boleh tua, tapi semangat tetap muda. Ruh dan darah muda ini yang sebenarnya menjadi energi untuk senantiasa bergerak dengan semangat dalam aktivitas apapun.

Ah, sepertinya memang beginilah seharusnya, saya kok baru menyadarinya sekarang. Sering sudah merasa tua sehingga malas untuk bergerak. Hem kejayaan Islam tidak sekedar mimpi, tapi pelan-pelan ada titik yang jelas untuk terwujudkan. Dengan semangat muda, ya, dengan gairah yang selalu muda.

Forum Lingkar Pena Purwokerto
Freelance_corp @yahoo. Com