Yang Ketiga Adalah Setan

Dasar rejeki, demikian pikir saya. Seorang teman, dengan sedan barunya, meminta saya menemaninya ke pameran buku. Alasan dia mengajak saya juga membuat saya ber-ge’er-ria, “Mas kan pakar per-buku-an, jadi kalau ngajak Mas, saya bisa minta saran-saran, buku apa saja yang layak dibeli.” Walaupun kalau dilihat dari sisi lain, bisa jadi ini adalah sindiran bahwa saya adalah kutu buku. Tapi enggak lah, saya lebih senang ber-positif-thinking. Ini cuma soal memilih cara pandang. Betul enggak?

Lagi pula, dibandingkan harus berangkat sendirian dengan kendaraan resmi saya, Honda Legenda tahun 2000, tentu jauh lebih nyaman naik Baleno, walaupun second.

Di perjalanan yang lumayan panjang, banyak hal kami bicarakan. Tapi sebagai sesama pekerja, kami lebih banyak bicara tentang pekerjaan. Dan entah bagaimana mulanya, sampailah ia pada cerita yang unik menarik, tentang ‘kasus’nya dengan seorang sekretaris.

“Ini pengalaman berharga, saya ceritakan ke Mas, supaya Mas bisa lebih hati-hati, ” katanya membuka cerita. Sungguh pembukaan yang misterius dan mengundang rasa penasaran. Saya pun menyimak dengan tekun, seperti anak TPA mendengar cerita dari gurunya.

Teman saya ini menuturkan, suatu ketika ia diminta oleh perusahaannya untuk melakukan studi kelayakan di suatu kantor, yang bakal menjadi client kantornya. Studi kelayakan ini dilakukan beberapa minggu. Untuk itu ia mendapatkan jatah ruang kecil, dengan posisi meja tak jauh dari meja sekretaris direktur.

Suatu ketika, sang sekretaris direktur yang telah berusia kepala lima berhalangan masuk. Sebagai penggantinya, di tempatkanlah seorang sekretaris dari bagian lain.

“Tampangnya mirip artis sinetron,” kata teman saya ini menggarisbawahi. Soal tampang memang perlu penekanan, karena ini memang point penting dari cerita ini.

Saya mendengarkan sambil sesekali mengamati ekspresi teman saya tersebut. Saya mengamati, jika diberi peci, dan dipasangkan baju koko, dari jarak sekian meter ia bisa disangka Ustadz Jefri. Anda tentu tahu Ustadz Jefri, da’i beken yang sering melantunkan al-Quran dengan suara merdu itu.

Sang sekretaris bertampang artis sinetron itu, kabarnya, sering menjadi bahan perbincangan kaum Adam di kantor tersebut. Statusnya yang single, dan wajahnya yang ngartis sering membuatnya digoda rekan-rekan sekerjanya, baik yang masih single maupun yang sudah beranak-pinak. Dengan bekal reputasi seperti itu, rupanya si sekretaris ini memiliki kepercayaan diri yang maksimal. Dia yakin, pesonanya juga akan berpengaruh kepada teman saya yang bertampang ustadz Jefri ini.

“Mulanya kami cuma ngobrol basa-basi. Kami memang sudah saling mengenal, tapi yaa.. cuma sebatas formal. Tahu nama dan jabatan, enggak lebih. Nah, kesempatan berdua di ruangan itu membuat kami ngobrol lebih intensif.”

“Mulanya ia bertanya apakah saya sudah berkeluarga. Saya jawab apa adanya, bahwa saya sudah beranak dua. Ia terkejut atau pura-pura terkejut, entahlah. Arsip saya kan ada di bagian SDM.”

“Ia mulai bertanya tentang internet, yang memang online di PC saya. Di kantor itu memang tak sembarang PC bisa online. Dia cerita kalau rada gaptek, dan minta diajarin cara berinternet ria. Saya jawab, Insya Allah, kapan-kapan akan saya ajarkan. Waktu itu memang saya sedang sibuk berat. Banyak laporan yang harus saya susun dan laporkan secepatnya via email.”

Mobil terus melaju. Saya semakin asyik menyimak. Seru juga ceritanya.

“Tiba-tiba, si sekretaris ini minta saya menunjukkan situs-situs dewasa,” ujar teman saya ini tersendat.

“O ya?” cuma itu kalimat yang keluar dari mulut saya. Anda tahu, situs dewasa adalah sebutan halus untuk situs semi porno atau porno 100%.

“Yap! Ia bahkan menyebut beberapa situs…”

“O ya?” lagi-lagi cuma itu yang saya ucapkan.

“Playboy, misalnya…”

Dug. Mata saya membelalak, dan mulut saya spontan mengatakan, “Masya Allah…!”

Kami terdiam sekian jenak.

“Terus…?” Tanya saya penasaran.

“Yah, saya diam saja. Dia mendesak terus. Saya bilang saya sibuk. Dia masih mendesak. Sebentaar aja, katanya. Akhirnya saya diamkan saja. Eh, ternyata akhirnya dia diam sendiri. Mungkin malu, atau marah. Saya enggak tahu.”

“Kenapa enggak dinasihatin sekalian, bahwa itu dosa, dan bla bla bla…!” Tanya saya heran.

“Saya juga enggak tahu. Mungkin… yah mungkin karena saya terlalu tegang berperang batin, jadi saya malah enggak bisa ngomong banyak. Mungkin… saya memang sempat rada tergoda juga, dan sibuk mengalahkan diri sendiri, sampai enggak tahu harus ngomong apa.”

Hm, sungguh jawaban yang jujur. Padahal dia bisa saja menjawab bahwa dia sama sekali tak tergoda. Biar lebih cool, gitu.

“Kalau saya rekonstruksi kejadian itu, saya jadi berpikir betapa bodohnya saya, tidak langsung keluar ruangan ketika mulai terasa sinyal-sinyal enggak beres.

“Padahal nabi kita sudah mengingatkan, bahwa jika dua orang berlainan jenis yang bukan mahram berduaan saja, maka yang ketiga adalah setan!”

“Dalam kasus kamu, setannya pasti banyak, jadi pihak ketiga, keempat, kelima dan seterusnya,” kata saya yakin, seolah-olah pernah bertatap muka dengan setan.

“Yah, bisa jadi. Seperti Yusuf terhadap Zulaikha, sejujurnya ada ketertarikan juga di hati saya. Untung saya enggak harus seperti nabi Yusuf, yang harus dipenjara gara-gara kasus macam ini.”

“Pada kesempatan-kesempatan berikutnya, di kantor mana pun, saya selalu menolak kalau harus ditempatkan satu ruangan, dan berdua saja, dengan wanita. Itu melanggar pantangan nabi, danger area, dan bisa enggak berkah!

“Saya juga belajar satu hal lagi, yaitu, buat seorang mukmin, yang namanya tertarik dengan lawan jenis bukannya tidak ada. Namun reaksinya terhadap ketertarikan itulah yang membedakannya dengan orang lain. Sebagian orang yang tidak peduli pada rambu-rambu agama, mereka mengikuti saja naluri ketertarikannya.”

“Betul,” kata saya semangat. “Mereka beralasan, enggak usah munafiklah! Padahal, definisi munafik menurut nabi adalah jika bicara ia dusta, jika janji tidak ditepati, dan jika diberi amanah ia khianat.”

“Sedangkan definisi al-Quran,” tambah teman saya, “munafik berarti mengaku beriman secara lisan, tapi hatinya masih kafir. Jadi, kalau ada orang berusaha mengendalikan nafsu dan keinginannya, karena mencari ridho Allah, di mana letak munafiknya?” Teman saya bertanya dengan nada tinggi. Wajar kalau dia sewot gitu. Berusaha memelihara iman kok malah dituduh munafik.

Kami pun terdiam. Saya masih berusaha menyelami pengalaman luar biasa ini. Diajak melihat situs dewasa oleh artis sinetron? Saya menarik nafas dalam, dan menghembuskannya perlahan-lahan.

Naudzubillah!

Perampokan terhadap keimanan memang bisa mengintai siapa saja. Jadi, meski wajah saya tidak seganteng ustadz Jefri, godaan tersebut mungkin saja ada, dalam bentuknya yang lain. Sebab, setiap kali setan putus asa, dia akan datang dari arah wanita.

“Terus, gimana kelanjutan ceritanya?” Saya bertanya, masih penasaran ending dari cerita ini.

“Yaa sudah selesai. Memang cuma sampai situ,” jawab teman saya enteng. Lho?

“Tapi,” lanjutnya, “Setelah itu dia memang tidak pernah menyapa kalau berpapasan. Buat saya sih, enggak masalah.”

“Tapi lagi,” katanya melanjutkan, “beberapa bulan kemudian, ketika saya berkunjung lagi ke kantor itu, saya bertemu lagi dengan dia, dan…, ternyata sekretaris itu sudah memakai jilbab!”

Subhanallah! Saya melongo. Hidayah memang hak siapa saja.

Begitulah, hidup terkadang memang bisa lebih mengejutkan ketimbang sinetronnya Raam Punjhabi.

sabruljamil.multiply.com