Magrib telah lewat. Isya belum tiba. Kami – aku dan istriku – berencana berangkat menjenguk salah seorang sahabat yang sakit. Kami pun memperhitungkan akan sholat Isya di perjalanan, di salah satu Masjid atau Musholla yang kami temukan di jalan. Walaupun waktu Isya sebenarnya panjang, tapi kami sedang melatih diri untuk biasa sholat di awal waktu.
Benar saja, separuh perjalanan, adzan berkumandang. Perlahan kami telusuri jalan-jalan kecil di perkampungan. Adzan memang terdengar dari mana-mana, menandai bahwa banyak Masjid atau Musholla di sekitar kami.
Musholla pertama yang kami temui hingar bingar. Anak-anak berlari kesana kemari. Rupanya Musholla ini menyelenggarakan TPA. Suara adzan tak mampu membendung antusiasme anak-anak ini untuk bermain. Kami tak jadi mampir.
Hanya berjarak beberapa ratus meter, kami temui Musholla kedua. Musholla kedua ini tertutup rapat. Tak ada aktifitas apapun. Aneh juga, pikir kami. Kami juga tak jadi mampir. Akhirnya kami temukan musholla ketiga. Juga dengan jarak hanya beberapa ratus meter saja. Masih di jalur jalan yang sama. Alhamdulillah, ada seseorang yang sedang sholat di sana. Kami pun memarkirkan kendaraan roda dua di dekat teras Musholla.
Hanya seorang yang sedang sholat, dan sedang tahiyat awal. Aku pun bermasbuk, menjadi satu-satunya makmum di Musholla itu.
Usai sholat, kami – aku dan sang imam – berbincang-bincang singkat.
”Sepi ya Musholla-nya?” tanyaku. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban sebenarnya.
Pak Imam membenarkan, dan meneruskan dengan penuh prihatin terhadap kondisi masyarakat di sekitarnya. Orang-orang malas ke Masjid. Padahal sebagian besar penduduk bukanlah orang kantoran, alias jam sekian sudah seharusnya sudah berada di rumah. Profesi mereka rata-rata tukang ojeg, jualan kecil-kecilan, dan sektor informal lainnya. Mereka lebih tersihir oleh tontonan televisi ketimbang panggilan untuk menghadap Rabb-nya.
Aku membenarkan juga kata-katanya. Sepanjang jalan yang aku lalui, banyak anak remaja yang duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ’sibuk’ membicarakan entah apa. Suara adzan tak berarti apa-apa buat mereka.
Selanjutnya pak Imam menanyakan dari mana kedatanganku, dan tak lupa menanyakan pula bagaimana semangat sholat berjamaah di lingkunganku.
Sejujurnya kusampaikan bahwa tempat tinggalku sebenarnya tak terlalu jauh. Aku tinggal di perkampungan, dekat pinggiran kompleks. Jadi aku lebih sering sholat di Musholla atau Masjid kompleks, yang asri dan terawat. Jamaah sholatnya cukup banyak. Bahkan saat Maghrib bisa hampir memenuhi Masjid. Sedangkan sholat shubuh pun cukup ramai, menandai warga sekitar Masjid cukup semangat memakmurkan Masjid mereka. Warga kompleks dan sekitarnya umumnya dari kalangan berpunya. Rata-rata mereka punya kendaraan roda empat.
Aku pun tergoda untuk menyimpulkan, pada kasus ini, yang kaya justru semakin menunjukkan peningkatan ketaatan. Mereka lebih peduli terhadap ibadah, dan lebih rajin mengikuti kajian-kajian keislaman. Dari arus kas masjid pun dapat disimpulkan bahwa warga sekitar masjid ini gemar berinfaq.
Sebaliknya, setiap kali adzan berkumandang, cukup banyak tukang becak yang sesungguhnya tidak melakukan apa-apa selain hanya duduk-duduk. Mereka tidak bergerak meninggalkan becak mereka. Aku pun kembali miris, seolah kemiskinan berbanding lurus dengan kemalasan beribadah.
* * * * *
Tapi benarkah kekayaanlah yang mendorong seseorang menjadi lebih bertaqwa? Tentu kesimpulan ini terlalu tergesa-gesa. Sebagaimana tak perlu pula kita menyimpulkan bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan seseorang malas beribadah.
Ada pengalaman-pengalaman lain yang setidaknya memberikan perspektif lain kepadaku.
Tengoklah itu, Mas Yono, tetanggaku yang mengontrak rumah petak bersama istri dan lima orang anaknya. Seolah hampir tak peduli dengan pembeli, setiap adzan Magrib ia langsung meninggalkan gerobak baksonya, bergegas memenuhi panggilan Allah. Lihat pula abang-abang tukang roti, tukang es dan tukang entah apa lagi, yang ramai memarkirkan gerobaknya di pelataran masjid. Mereka bergegas memenuhi panggil Rabb-nya di tengah-tengah usaha mereka mencari nafkah.
Mereka, kaum mustadhafin itu, berdiri dan duduk berdampingan dengan orang-orang yang memiliki rumah gedongan dan kendaran mewah. Semua sama di mata Allah. Allah hanya melihat bagaimana mereka menyikapi kemiskinan sebagaimana Allah menilai bagaimana saudara-saudara mereka menyikapi kekayaan.
Sementara itu, boleh jadi di saat yang lain, saudara-saudara mereka yang bekerja di ruang-ruang AC yang sejuk, masih asyik chatting atau melihat-lihat berita gosip di internet, meski waktu sholat telah masuk. Atau boleh jadi dengan alasan pekerjaan belum selesai, mengejar deadline, dan alasan-alasan ’logis’ lainnya, mereka jadi merasa menemukan pembenaran untuk menunda-nunda sholatnya. Apalagi jika diimbuhi dengan argumentasi ”toh masih sholat, dari pada enggak?”
Alasan seperti ini sesungguhnya hanya mencerminkan betapa rapuhnya hubungan seseorang dengan Rabb-nya, yang telah memberinya aneka kemudahan, kelapangan, dan kenikmatan.
Betapa kenyamanan tak selamanya berujung ketaatan.
Akhirnya memang kita bisa menyimpulkan bahwa kaya atau miskin sama-sama bisa menghantar seseorang untuk menjadi dekat dengan Rabb-nya. Bahwa beberapa masjid kompleks yang aku temui terlihat lebih makmur aktifitasnya dibandingkan beberapa masjid/musholla perkampungan, mungkin ini sangatlah subyektif, karena hanya berdasarkan pengalaman pribadiku saja.
Sesungguhnya Islam hadir untuk mencegah adanya kesenjangan kelas dalam masyarakat, bahkan membangun persaudaraan antara si kaya dan si miskin dan menciptakan kesatuan untuk menghadapi berbagai macam kebutuhan. Allah berfirman, “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”(al-Baqarah:273)
Wallahu a’lam