Eko, adalah nama seorang sahabatku yang bekerja sebagai desainer di perusahaan alat-alat berat di kawasan Pulo Gadung, Jakarta.
Eko dan saya (dan beberapa sahabat lain), tergabung dalam sebuah usrah (kelompok kajian Islam terbatas) yang diadakan setiap pekan. Eko adalah ketua usrah kami. Kepercayaan kami untuk memilihnya sebagai ketua usrah rasanya tidak berlebihan. Dalam setiap kegiatan usrah yang kami lakukan, Eko adalah orang yang kritis dan penuh dengan ide cemerlang untuk perbaikan dan produktivitas usrah. Salah satu hal yang pernah digagasnya dan kini menemukan perwujudannya adalah mendirikan sebuah yayasan sebagai sarana pemicu aktivitas sosial dan keummatan, dan sebagai pendorong bagi lahirnya amal-amal kebaikan.
Saya melihat potensi kepemimpinan ada pada dirinya. Kemampuan komunikasinya bagus, baik dalam hubungan personal maupun komunikasi dalam sebuah forum. Setiap saya mendengar dia berbicara, hati saya selalu tergugah dengan apa yang dibicarakan. Kata-katanya begitu menembus di dalam hati, mencerahkan, dan menggerakkan saya untuk segera beramal kebaikan. Ia layaknya seorang trainer atau motivator yang sudah berpengalaman.
Suatu ketika, saya dihadapkan pada sebuah peluang untuk pindah ke suatu daerah. Dia memberi dorongan dan harapan bahwa dengan kepindahan saya ke suatu daerah, Insya Allah akan terbuka berbagai peluang baik peluang dakwah maupun pengembangan kompetensi profesi. Atas dorongannya, saya akhirnya membulatkan tekad, meski pada akhirnya saya harus berpisah dengan sahabat saya itu.
Kesibukan di daerah baru menjadikan komunikasi kami menjadi renggang. Sekali-sekali saya mengirim SMS menanyakan kabar dirinya. Namun agaknya ia bukanlah tipe orang yang suka ber-SMS. Meski ia sanggup berbicara berjam-jam dengan tetap semangat, namun untuk ber-SMS ia hanya sanggup menuliskan beberapa kata singkat dan hanya menjawab pertanyaan yang relevan saja. Kondisi akan lain seandainya saya bertelepon kepadanya, ia akan sanggup bercerita dengan panjang lebar. Itulah salah satu keunikannya.
Lambat laun, baik SMS maupun call, jarang sekali saya lakukan. Meski demikian, dalam hati selalu terbayang sebuah keinginan, manakala saya pulang ke Jakarta, saya ingin bersilaturrahim ke rumahnya. Namun sayangnya, ketika saya berkesempatan pulang ke Jakarta, saya selalu sibuk melepas rindu dengan anak-anak. Akhirnya, keinginan untuk bersilaturrahim itu pun menjadi sekedar keinginan yang belum terwujudkan.
Suatu ketika dalam kesempatan pulang ke Jakarta, saya bertemu dengan Siswo, yaitu salah seorang anggota usrah kami juga. Siswo bercerita bahwa beberapa bulan setelah saya pindah ke luar daerah, Eko tidak mau lagi hadir dalam pengajian usrah. Apa pasal? Dia kecewa karena program-program usrah tidak berjalan dengan efektif akibat tiadanya komitmen beberapa sahabat untuk menyukseskan program-program itu. Ia merasa bahwa usrah itu tidak memberi manfaat dan mendingan dibubarkan saja.
Saya terkejut, seakan tidak percaya kalau Eko berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, Eko mengerti betul apa itu usrah dan urgensinya, baik sebagai sarana pembentukan pribadi Islami maupun sarana membentuk kekuatan ummat. Boleh jadi, Eko sedang mengalami sebuah kekecewaan yang bersifat personal yang kemudian kekecewaan itu digeneralisirnya. Naudzubillah, Syaitan sering kali membisikan hal-hal provokatif seperti itu, dan boleh jadi Eko sedang terhasut dengan provokasi yang demikian.
Mendengar kabar itu, saya merasa bersedih, karena sahabat-sahabat yang tergabung dalam usrah itu, bagi saya adalah sebuah keluarga. Dan jalinan kami dalam satu jamaah usrah itu adalah seperti satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh yang lain pasti merasakannya. Jika ada satu bagian tubuh yang hilang, maka tubuh secara keseluruhan akan merasa timpang dan goyah kestabilannya.
Dalam rangka mengembalikan luka itu, saya berharap kepada Siswo untuk rajin bersilaturrahim kepadanya. Membujuk agar mau kembali bergabung dalam usrah, menunjukkan bahwa kami masih mencintai dan merindukan kehadirannya di tengah-tengah kami. Saya sendiri tidak mampu melakukan “lobi-lobi” itu karena banyak tinggal di luar daerah.
Tidak lama setelah pertemuan dengan Siswodi Jakarta, saya pun kembali ke daerah dengan berbagai kesibukan yang siap menyongsong. Saya memantau perkembangan Eko lewat Siswo. Ketika ia mengabarkan bahwa Eko kukuh dengan pendiriannya untuk tidak mau lagi bergabung dalam usrah, saya hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT menghilangkan persangkaan-persangkaan buruk yang meliputi dirinya dan membukakan hatinya terhadap kebenaran.
Saya percaya bahwa sekeras-kerasnya batu, ia bisa dihancurkan oleh seorang pemecah batu, walau ia tidak mengetahui pada pukulan ke berapa batu itu akan pecah. Demikian halnya dengan diri Eko, sekeras apapun hatinya, Insya Allah sentuhan-sentuhan iman bisa melunakkan hatinya, walau kita tidak mengetahui pada sentuhan keberapa hatinya akan luluh.
Hari demi hari, bulan demi bulan, saya tidak mendengar lagi kabar tentang Eko. Hingga datanglah sebuah kabar menggembirakan dari Siswo bahwa Eko memberi isyarat ingin kembali bergabung kembali dalam usrah kami. Semua itu tidak terlepas dari pendekat-pendekatan Siswo selama ini kepadanya. Siswo dan Eko menggagas sebuah pertemuan “temu kangen” yang akan diselenggarakan di sebuah restoran taman di Jakarta Timur. Lokasinya dipilih agar semua anggota usrah bisa mencapainya dengan lancar dan relatif rata jarak tempuhnya. Jadi dipilih yang “di tengah-tengah”. Beberapa anggota usrah selama ini memang jarang yang bertemu satu sama lain, seperti saya yang banyak bertugas di luar daerah, Taufik yang kuliah di Bandung, Agus yang sering bolak-balik ke Subang mengurus sebuah Yayasan, dan Eko sendiri yang sudah tidak mau hadir di usrah. Jadi tema “temu kangen” rasanya cocok untuk acara yang akan kami selenggarakan tersebut. Semua anggota usrah, termasuk saya, diminta komitmennya untuk hadir. Saya berdoa, mudah-mudahan acara itu akan menjadi momentum kembalinya Eko di tengah-tengah kami.
***
Ahad, pada pukul 15.00 WIB di sebuah restoran taman yang telah disepakati, saya dan Siswo sudah hadir di lokasi. Beberapa sahabat datang bergantian satu per satu beberapa menit setelah kami hadir. Sambil menunggu yang lain datang, kami mendiskusikan topik-topik berita terkini. Pada jeda pertama, Siswo menghubungi Eko karena ia belum juga hadir. Eko mengutarakan permohonan maaf karena ketiduran dan baru bangun ketika itu. Lewat Siswo, kami berpesan tidak mempermasalahkan soal keterlambatan itu, yang penting Eko harus segera beranjak menuju restoran karena sahabat-sahabat telah menunggu. Kami akan setia menunggu kedatangannya.
Kemudian kami melanjutkan diskusi kami. Sesuatu yang “aneh” terjadi, pada jeda berikutnya, kami tidak bisa call atau berkirim SMS ke Eko. Kami mulai panik karena tidak bisa memantau posisinya. Beberapa kali masing-masing kami mencoba memanggil lewat handphone, tetapi selalu gagal. Akhirnya kami pasrah menunggu tanpa kepastian kedatangannya.
Tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB, namun Eko belum juga datang. Kami yang sedianya menunggu Eko untuk bersantap bersama, akhirnya kami melakukannya tanpa kehadirannya. Suasana restoran yang asri di tengah rintik air hujan, seharusnya meningatkan kami pada keasrian suasana desa yang membangkitkan selera makan. Namun yang terjadi saat itu, kami makan dengan suasana canggung karena kami merasa tidak bahagia tanpa kehadirannya. Benak kami dipenuhi tanda tanya kenapa Eko belum hadir juga. Padahal acara ini adalah spesial untuk dia.
Hujan yang berguyur ringan tiada henti, boleh jadi menjadi sebab ketidakhadirannya. Dia pernah mengutarakan bahwa ia gampang sekali masuk angin jika naik sepeda motor dengan kostum ala kadarnya. Terlebih jika hari sedang hujan. Mudah-mudahan ia tidak datang bukan karena tiadanya komitmen untuk datang atau perasaan tidak enak atau sebab yang tidak masuk akal lainnya.
Di tengah rintik hujan itu saya tercenung. Jauh di dalam lubuk hati saya, tersimpan sebuah harapan bahwa Eko akan benar-benar kembali. Kembali hadir di tengah-tengah kami, mengisi hari-hari bersama usrah, menjalin ukhuwah dan berupaya mengatasi beberapa serpihan persoalan ummat. Melihat gagasan dia yang menyetujui acara itu, menguatkan harapan kami bahwa Eko akan kembali.
Kami menyerahkan semua urusan kepada Allah karena kami tiada punya kendali atas bolak-baliknya hati manusia. Kami hanya berdoa, Ya Allah tetapkan hati sahabat kami untuk kembali kepada jalan-Mu. Amin.
Waallahua’lam bishshawaab.
(rizqon_ak @ eramuslim.com)