Eramuslim.com – Suatu sore, 17 Agustus. Seorang ibu tua duduk terpekur di atas angkot. Kedua matanya basah menatap lekat panci besar terlilit kain lusuh yang berada di atas pangkuannya. Tutup panci yang sudah penyok di sana-sini sesekali ikut berguncang mengikut irama angkot yang berguncang menggilas aspal yang tak rata. Bubur sumsum putih masih banyak di dalam panci itu.
Dengan ujung kain yang dipilin ibu itu mengusap kedua matanya. Ditariknya nafas panjang-panjang, seakan ingin membuang segala beban yang ada. Dia kemudian berkata lirih, “Pemerintah mau bunuh kita pelan-pelan…”
Karena di angkot hanya ada ibu itu, saya, dan supir, maka saya pun mengangguk. Ibu itu kembali bicara, “Sekarang jualan makin susah. Dapat 20 (ribu) saja seharian sudah bagus. Mau beli gas gak ada uang, minyak tanah gak ada.”
Supir angkot yang duduk di depan menimpali. “Nyupir juga sepi Bu. Saya 15 (ribu) saja seharian sudah bagus. Malah sering nombok. ”
Saya yang duduk di pojok hanya terdiam. Betapa pedih kemerdekaan ini. Entah mengapa saya terbayang bocah-bocah kecil yang sering saya jumpai mengamen di buskota saat pulang kerja. Dengan bertelanjang kaki berbekal kecrekan dari tutup botol, bocah-bocah yang masih cedal mengucap kata susah payah bernyanyi. Ada juga yang bermain-main di tengah jalan saat lampu merah menyala.
Saya juga ingat di satu malam saat melewati persimpangan jalan, bocah-bocah yang masih sangat kecil itu tertidur nyenyak di atas trotoar beratapkan langit kelam. Wajah-wajahnya sangat damai. Mereka saling berpelukan seakan membagi kehangatan. Mudah-mudahan Allah memberinya mimpi indah. Mimpi tidur di kasur empuk dengan belaian dan dekapan mama papanya.