Hwang Yu-jin terbaring dalam peti mati di ruangan temaram. Insinyur mesin berusia 29 tahun itu belum mati. Prosesi kematian bohong-bohongan di kantor pusat Korea Life Consulting Co. Di Chungju, Korsel, tersebut merupakan bagian dari tren warga Korsel untuk menikmati suasana “kematian”. Di tengah kemajuan Korsel yang pesat, terapi nyeleneh itu dinilai bisa menentramkan jiwa.
Ya, kalau hidup sehat dalam bahasa inggris disebut “well-being”, di sana trennya “well-dying” alias sakaratul maut yang nyaman.
Untuk beberapa jenak, mata saya tak beralih dari baris-baris kata yang tepat berada di pojok kanan bawah harian Jawa Pos beberapa waktu lalu. Di sana tampak foto Hwang Yu-jin terbaring dengan dandanan khas dalam prosesi kematian mereka yang non muslim: “rapi, cantik, dan wangi” sambil memegang setangkai bunga di atas dadanya. Tidak seperti lazimnya jenazah seorang muslim yang hanya terbungkus beberapa lembar kain kafan putih.
Saya tidak tahu pasti apa definisi “menentramkan jiwa” yang menjadi tujuan dari prosesi kematian bohong-bohongan di atas. Apakah hanya sebatas menikmati suasana “kematian” secara fisik-jasadiyah semata, atau sampai pada hakikat kematian itu sendiri yang hakiki?
Bahwa kematian adalah akhir dari episode perjalanan hidup seorang manusia di dunia yang fana ini dan sekaligus pintu gerbang menuju kehidupan nan abadi di akhirat sana. Kehidupan kedua di mana setiap kebaikan dan maksiat sebesar dzarroh sekalipun yang kita perbuat akan mendapatkan balasannya yang setimpal. Seperti apa yang saya imani sebagai seorang muslim.
Namun, terlepas dari apa motifnya, tidaklah salah jika seorang muslim juga mencoba melakukannya. Tidak harus masuk ke dalam peti mayat sungguhan tentu saja. Atau dengan cara menggali tanah seukuran liang lahat kemudian masuk ke dalamnya seperti yang dilakukan oleh para salafush-shaleh saat jiwa mereka terasa bebal dan tak semangat menjalankan ibadah. Karena intinya adalah dzikrul maut, yaitu membayangkan saat-saat kehidupan terakhir kita sebelum ruh keluar dari raga ini.
Apa yang paling sering menggoda manusia dari kehidupan dunia ini dan membuatnya mudah terlena, salah satunya ialah karena ajalnya juga tidak dia ketahui; karena akhir dari hidup ini tidak pernah didefinisi sebelumnya.
“Dan tiada satu pun jiwa yang mengetahui apa gerangan yang akan ia lakukan esok hari dan di belahan bumi mana kelak ia akan meninggal. ” (Q. S Luqman [31]: 34)
Oleh karena itu, nikmat kesehatan, nikmat kemudahan, seringkali membuat orang tidak menyadari bahwa kelak hidup ini akan berakhir.
Tetapi jika kita melihat berkali-kali al-Qur’an menekankn masalah ajal, menekankan masalah kematian, dan Rasulullah saw. juga berkali-kali menekankan masalah ini, sesungguhnya yang diinginkan oleh al-Qur’an dan juga oleh sunah Rasul saw. ialah agar setiap saat kita menyadari titik terakhir ke mana kita menuju atau kita menyadari visi dan misi kehidupan kita.
Sesungguhnya yang disebut dengan keimanan itu selalu bermula dari titik kesadaran ini. Bermula dari apa yang disebut oleh Ibnul Qoyyim dengan “al-yaqalLah”, saat di mana jiwa kita terhenyak oleh kenyataan-kenyataan tadi, kenyataan bahwa kita akan memiliki second life, kehidupan kedua setelah kehidupan di dunia ini.
Maka bagian yang paling menyentuh dan yang paling menggugah keimanan kita ialah kesadaran yang kuat tentang waktu. Yang membuat kita menjadi intens di dalam menghayati perjalanan kehidupan kita ialah apabila kita mampu merasakan setiap detik dari perjalanan waktu kita, merasakan keberartian pada setiap detik yang kita lalui. Karena kesadaran tentang waktu ini bagian yang paling kuat membentuk gaya hidup seseorang. Oleh karena kesadaran tentang waktu merupakan bagian dari kesadaran tentang hidup itu sendiri.
Dan jika kemudian Allah swt. Seringkali mengetuk hati kita dengan ketukan dan peristiwa kematian, lalu Rasul saw. Menciptakan semua instrument yang membuat kita setiap waktu mudah mengingat kematian, sesungguhnya itu hanya berguna untuk menciptakan kesadaran yang kuat di dalam diri kita tentang waktu, bahwa waktu itu terus berlalu. Bahwa pohon kehidupan kita daun-daunnya setiap hari mulai berguguran.
Lalu Rasulullah saw. Menciptalan variabel lain agar supaya kita mudah mengingat kematian, yaitu dengan cara sering-sering melihat kuburan, sering-sering pergi ke kuburan. Agar supaya ingatan kita tentang titik akhir dari kehidupan ini selalu kuat mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita merasa dan cara kita bertindak.
“Secerdik-cerdik manusia ialah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling gigih membuat persiapan menghadapi kematian itu. ” (H. R Ibnu Majah dan Abi ad-Dunya)
Jadi pertanyaannya sekarang, “Sudahkah kita mengingat tentang saat-saat kematian menjemput kita hari ini?”
Allahu a’lam bish-shawab.
19 Januari 2008 15:02 p. M www. Setta. Blogs.friendster. Com/the_way_to_paradise/