Kegiatan pelatihan yang diadakan oleh Indonesian Islamic Society of Brisbane (IISB) di salah satu kawasan suburban Brisbane ini telah memasuki akhir sesi kedua. Para peserta silih-berganti keluar untuk mengambil wudhu guna menunaikan shalat Ashar. Di luar ruangan acara, saya melihat pemuda itu. Dari wajahnya, saya belum bisa memastikan apakah ia keturunan Australia atau Melayu, semacam ada kombinasi antara keduanya. Berhubung saya masih baru di sini, saya tidak langsung menyapanya, mungkin saja ia sudah biasa mengikuti acara IISB.
Ia sedikit canggung ketika bergabung dengan kami menikmati snack sore. Akhirnya ia menyapa saya terlebih dulu. Kami pun berkenalan. Sebut saja namanya Hashim, tentu bukan nama sebenarnya. Ia sudah lama tinggal dan bekerja di Brisbane, berayah orang Australia dan beribu orang Malaysia; dan sedikit mengerti bahasa Melayu. Yang jelas, saya menangkap ekspresi murung dari pemuda blasteran itu. Ia terlihat pendiam, lesu, dan berbicara dengan suara pelan. Kemudian, ia lebih banyak mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari ibu-ibu IISB, karena mereka mengenal ibunda Hashim. Ternyata Hashim belum pernah mengikuti kegiatan IISB sebelumnya. Ketika sesi selanjutnya dimulai, saya mengajaknya bergabung, “Why don’t you come in and join us?”
Ia pun mengikuti acara yang dibawakan dalam bahasa Indonesia itu. Kehadirannya tentu saja menarik perhatian rekan-rekan IISB. Banyak yang kemudian mengajaknya berbincang, terutama ketika jeda acara untuk makan malam. Ketika acara yang berkesan itu berakhir sekitar pukul 21.30, saya membantu rekan-rekan panitia membereskan ruangan. Sebagai peserta, tidak masalah jika Hashim memilih berpamitan. Tetapi tidak. Ia menunggui kami, lalu menemui Ketua IISB untuk menanyakan kegiatan IISB dan pengajian di mushalla University of Queensland.
Saya dan tiga orang rekan berencana pulang dengan bus, yang berarti harus menempuh jarak cukup jauh menuju tempat tinggal kami. Hashim menawari kami untuk mengantar kami hingga Brisbane Central Business District (CBD), yang kami terima dengan senang hati. Di jok belakang mobilnya, kami mendapati kursi balita di bagian tengah.
“You have babies, Hashim?” tanya saya.
Ia menjawab dengan pelan, tetapi lancar, “Yeah … my wife left me to marry someone.”
“Oh, I’m sorry …” saya dan rekan yang mendengarnya serentak mengungkapkan penyesalan. Astaghfirullah al-‘Azhim. Tentu kami tidak perlu menanyakan detailnya, apalagi menanyakan siapa yang bersalah. Yang kami tahu, ia baru saja mengungkapkan sebuah kejadian yang mungkin menjadi memori paling menyakitkan dalam hidupnya.
Mobil mulai melaju memasuki kawasan CBD yang gemerlap di akhir pekan. Kami berbincang santai. Tetapi berbagai pertanyaan berkecamuk di benak saya. Hashim sedang mengalami masalah yang demikian berat. Apakah ia merasa sendirian? Apakah alasan yang membuatnya datang ke Masjid Buranda? Apakah ia merasa memerlukan asupan spiritualitas setelah mengalami cobaan itu? Wallahu a’lam.
Kami berhenti di dekat sebuah perhentian bus di CBD. Sebelum turun, saya menyempatkan diri menyampaikan pesan, “Hashim, we’ll be very happy to welcome you anytime. All of us are your brothers and sisters …”
“Okay. See you insha Allah …”
Kembali mobil itu melaju membelah keramaian malam Brisbane CBD. Semoga Allah senantiasa melimpahi petunjuk dan melapangkan jalanmu, Brother.
Sunshine State, Juni 2008
Salim Darmadi salimdarmadi.multiply.com