Warung Jujur

Salah satu kampus tempat saya mengajar mempunyai suatu sudut yang cukup unik dan menggelitik. Sudut tersebut adalah sebuah warung. Namun bukan warung sembarang warung. Karena tidak sebagaimana lazimnya warung, tempat tersebut tidak memiliki penjaga, pelayan atau satu manusia pun yang bertugas mengawasi warung tersebut.

Para pembeli dipersilakan mengambil sendiri barang yang diinginkan, yang terdiri dari beraneka makanan ringan, minuman ringan, dan hal-hal lainnya yang ringan di kantong (maklum, untuk konsumsi mahasiswa). Sementara itu uang pembelian diletakkan di kotak kardus bekas salah satu makanan ringan. Kalau perlu uang kembalian juga tinggal hitung sendiri, dan ambil sendiri. Praktis sekali bukan?

Secara periodik, si pemilik warung yang tak lain adalah Office Boy (Anda tentu tahu jenis profesi yang satu ini) akan mengupdate stok barangnya. Mencatat yang sudah habis, dan mengisinya kembali. Daftar harga terpampang di salah satu dinding, dengan tulisan tangan yang tidak bagus namun cukup jelas terbaca.

Cara ini sudah berjalan berbulan-bulan, yang menandakan bahwa bisnis ini mampu bertahan. Artinya, keuntungan dari bisnis cukup memadai untuk membuatnya tetap layak dilanjutkan.

Warung ini diberi nama “Warung Jujur”. Nama yang mengindikasikan bahwa transaksi yang terjadi di sini haruslah berlandaskan kejujuran. Kejujuran juga menyiratkan kesalingpercayaan. Ini juga mengindikasikan bahwa civitas academica di kampus tersebut adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Bahkan, lolosnya ide untuk membuat Warung Jujur tersebut tentu berangkat dari budaya saling mempercayai yang kuat di lingkungan tersebut.

Tidak ada kamera tersembunyi yang dibuat demi “keamanan Anda” sebagaimana di Mall-mall besar dan modern. Tidak ada satpam bertubuh gagah yang diam-diam mengawasi Anda. Juga tidak ada alarm yang akan meraung-raung jika Anda membawa barang tanpa melewati mesin dan petugas kasir. Sungguh efisien! Berapa banyak biaya investasi dan operasional yang dapat dipangkas dengan adanya kejujuran.

Namun, lain di dalam gedung, berbeda pula di luarnya. Di halaman parkir kampus tersebut, bertebaran tulisan peringatan di beberapa tempat: “Harap Gunakan Kunci Pengaman Ganda untuk Kendaraan Anda!” Rupanya sudah beberapa kali terjadi pencurian kendaraan bermotor di pelataran parkir tadi.

(Ngomong-ngomong, berapa banyak tulisan seperti itu Anda temui di pelataran-pelataran parkir?)

Saya jadi teringat artikel Rhenald Kasali di majalah Swa beberapa tahun yang lalu. Berikut petikannya,

Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka. Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor, "Biar tidak mudah ditiru orang lain. " Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak jawabnya.

Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar tidak mudah percaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru agar jangan sampai dipalsukan orang lain. " Kita menurutinya, dan tanpa kita sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita.

"Trust, " kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and the creation of prosperity. " Rasa percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis. Bagaimana mungkin kita berbisnis dengan orang yang tidak Kita percaya?

Sekian kutipannya.

Salahkah jika kita tidak mudah percaya? Ketidakpercayaan adalah buah dari budaya tidak dapat dipercaya. Jika kita membuat janji bertemu seseorang pada pukul tiga sore, yakinkah Anda bahwa orang itu akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan? Tergantung dengan siapa Anda berjanji. Jika Anda mengenal orang itu sebagai orang yang terbiasa tepat waktu, maka Anda akan merasa yakin bahwa orang itu akan datang tepat waktu. Namun jika Anda tahu orang itu terbiasa ngaret, Anda akan memprediksi ‘ah paling-paling dia ngaret lagi’. Lebih parah dari itu, Anda pun akan berlalai-lalai. Santai aja, telat juga enggak apa-apa. Demikian pikir Anda.

Sebab itu, jangan heran kalau kita terkadang menerapkan standard ganda, jika berjanji dengan Si-A kita bisa santai, tapi janji dengan si-B kita akan ekstra hati-hati. Janji dengan anak untuk pulang cepat mungkin tidak terlalu kita ambil pusing, namun janji bertemu manajer anu pada jam sekian bisa membuat kita pontang panting mengejar waktu.
Begitulah kalau kita masih menjadi produk dari budaya atau lingkungan kita. Di budaya yang sangat menghargai kejujuran dan ketepatan waktu, kita bisa melecut diri untuk menjadi jujur, disiplin dan sikap-sikap mulia lainnya. Kita akan merasa malu jika berbuat tidak jujur. Rasa malu itu mungkin sangat subyektif sifatnya. Tidak ada hukuman riil di dunia yang menanti kita. Contohnya adalah di Warung Jujur tadi. Kita merasa malu, sudah diberi kepercayaan untuk berbuat jujur, kok malah nyolong. Lebih jauh lagi, kita merasa yakin bahwa Allah beserta staff-Nya mengawasi kita dengan seksama. Tak satu rupiah pun yang lolos dari auditing. Setiap penipuan akan terdeteksi. Setiap kecurangan akan terungkap.

Namun di budaya dengan tingkat kejujuran yang rendah, kita mencuri-curi kesempatan untuk berlalai-lalai, tidak amanah, dan menipu. Kita melupakan asas utama dalam kejujuran, bahwa ada Allah yang senantiasa mengawasi. Kita tidak lagi peduli walau Allah menjadi tidak suka atau bahkan marah. Ah, itu urusan belakangan. Lebih konyol lagi kita berdalih dengan dalil: “yang lain juga berbuat curang. Kalau enggak ikut curang, yaa enggak kebagian!”

Namun mengingat kejujuran pada hakikatnya adalah urusan kita dengan Allah, seharusnya ia tidaklah mengenal musim dan tempat. Jujur seharusnya menjadi pakaian segala musim, dan mata uang di segala tempat. Biarkan orang lain mengenal kita sebagai orang yang kata-katanya bisa dipegang, janjinya bisa ditepati, dan menunaikan amanah dengan optimal.

Biarkan orang-orang terdekat kita mengenal kita sebagai sosok yang bisa dipercaya. Jika kita berjanji pulang cepat pada anak kita, maka penuhi janji itu. Anak akan belajar bahwa kita senantiasa menepati kata-kata kita. Anak pun akan belajar untuk menepati janjinya. Memiliki anak berakhlaq utama adalah rizki tak ternilai harganya.
Kita tak perlu menjadi korban budaya. Di tengah derasnya arus ketidakpercayaan di negeri ini, menjadi orang jujur bisa lebih repot ketimbang berselancar arung jeram. Apalagi kalau tim satu perahu sudah tidak saling percaya.